16

4131 Kata
Pagi setelah berkemas, Faith segera menuju lantai utama dimana Ian tampak sibuk membenahi kemejanya. Lelaki itu hanya mengenakan kemeja dan jeans sementara Faith melengkapi pakaian dengan jaket hitam dan sepatu bot. Ian memandangi Faith, berusaha untuk bersikap sewajarnya dan mengatakan apa yang harus dikatakan. "Aku akan pergi untuk melunasi transaksi. Bisa kau tunggu sebentar?" Faith mengangguk, beralih pada kopernya dan berusaha menyibukkan diri. Beberapa menit kemudian SUV milik Ian pergi meninggalkan halaman rumah. Faith berdiri diam di ambang pintu, tidak melakukan apapun sampai sosok familer muncur di halaman depan rumahnya. Hope masih tampak seperti pertama terlihat. Dengan anting besar, baju berwarna cerah yang dibalut oleh mantel putih serta sepatu hak tinggi dan rambut pirangnya, wanita itu tersenyum ketika menghampiri Faith. Hope berhenti tepat di hadapan Faith, meraih lengan Faith dan berkata, "ini sudah keterlaluan. Aku perlu bicara denganmu." Tidak ada reaksi yang ditunjukkan Faith selain mempersilakan wanita itu masuk ke dalam rumahnya. Mereka duduk berhadapan di meja makan. Faith melipat kedua tangannya di depan sementara Hope berusaha memilin kata yang tepat. "Baik, aku tidak pernah melakukan ini," kata Hope. "Ini nyaris mustahil, tapi aku benar-benar merasa seperti p*****r yang merebut suami orang." Faith mulai memahami alur pembicaraan mereka, tapi bibirnya tetap membisu dengan mata yang mengamati. Melihat Hope membuat Faith merasa semakin kalut. Faith tidak bisa menatap Hope ketika yang sanggup diingatnya hanya kejadian semalam. Karenanya, Faith terus menunduk. "Kit tidak mau bicara masalahnya padaku, dan aku merasa gila dengan semuanya. Kit tidak pernah mau mengakuinya, tapi dia terlihat sangat berbeda dari yang ku kenal. Aku tidak tahu apa yang terjadi di antara kalian tapi aku berharap aku tidak terlibat disini. Itulah mengapa aku ingin meluruskan semuanya." Faith mulai tidak mengerti. Alurnya berbeda dari yang dipikirkan Faith. Namun, Faith tetap diam dan menunggu Hope menyelesaikan penjelasannya. "Kau.. salah paham denganku. Dan apa yang kau lihat, itu murni di luar rencana kami." Pernyataan Hope barusan membuat Faith memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya, dahinya berkerut dan alisnya bertaut. Apa yang disebut Hope sebagai 'rencana'? Apa Ian telah menyusun kebohongan lain di hadapannya selama ini? Pertanyaan-pertanyaan itu seakan bergelung dalam pikiran Faith. "Ya. Pada intinya, kau salah paham. Demi Tuhan, Kit tidak pernah terlihat seputus asa itu. Semalam aku melihatnya seakan dia baru saja melepas hidupnya. Tidak ada yang bisa membuatnya begitu kecuali hal yang sangat berharga baginya. Aku mengenal Kit sejak dulu. Kami pernah berada dalam satu organisasi yang sama. Aku teman baik Kit. Di antara kami, tidak pernah ada hubungan apapun. Aku bekerja sebagai seorang pelayan toko dan hubungan kami sebatas teman biasa. Tapi aku tidak tahu apa yang menyebabkan Kit menghubungiku dan menyeretku dalam sandiwara konyol yang dia buat. Dia menawarkan aku sejumlah uang, dan sial, aku memang butuh uang. Tawaran Kit tidak bisa aku tolak. Tapi aku sadar sepenuhnya bahwa aku juga bisa gila jika selamanya bermain peran. Kau mungkin tidak akan senang mendengar ini tapi ku katakan padamu, Kit tidak seperti apa yang kau pikirkan. Namaku Hope. Carly Hope. Aku seorang pegawai toko biasa yang berusaha mendapatkan uang. Aku tidak pernah menjadi p*****r kecil yang disebut Kit. Monna, Mosiana atau siapapun Kit menyebutnya. Semua itu konyol. Dia hanya menginginkan jasaku, aku akan membantu dan dia akan membayar mahal. Itu saja. Sekarang, aku sudah mengatakan semuanya. Aku harap itu membantu." Faith membatu di tempat, merasa sulit untuk menemukan kata-kata yang tepat. Terhadap semua yang telah terjadi, semua yang dikatakan oleh Ian, semuanya dusta. Fakta itu membuat Faith tercengang. Ian mungkin berharap membuat Faith merasa lebih baik dengan sandiwara soal Monica. Tapi Faith benar-benar tidak mengerti, mengapa lelaki itu harus berbohong padanya? Mengapa Ian repot-repot berbohong dan menyusun sandiwara sementara Ian punya pilihan yang lebih baik untuk meninggalkan Faith dihari pertunangan mereka. Rasanya memang pilu. Sejauh ini Ian telah membohonginya, lelaki itu membuat dirinya sendiri tersiksa. Faith mungkin bisa memaafkan kebohongan Ian, tetapi pengakuan itu terucap bukan di bibir Ian dan itu berarti, Ian tidak pernah berniat untuk bersikap terbuka padanya. Fakta yang ada telah menekan Faith pada titik kelemahannya. Ketika Faith merasa tidak sanggup untuk berkata-kata lagi, ia menutupi wajahnya, berusaha mengatur nafasnya sekali lagi. "Maafkan aku jika aku baru mengatakannya, tapi Faith, aku bicara terus terang. Kit menginginkanmu. Hanya menginginkanmu. Aku tidak berbohong soal itu." Hope mungkin benar, tapi wanita mana yang berharap dibohongi? Wanita mana yang bersedia hidup dalam sandiwara cinta? Permainan Ian benar-benar bodoh dan tidak masuk akal. Apa yang diinginkan lelaki itu dari pernikahan mereka? Ian tahu bahwa Faith mencintai Mike, lantas mengapa Ian menyetujui rencana pernikahan itu? Faith telah mengatakan fakta tentang hubungannya dengan Mike secara gamblang dan Ian masih bertahan? Bahkan, lelaki itu dengan nekat menyusun kebohongan soal p*****r kecilnya? Benar-benar tidak masuk akal. Apa yang diinginkan Ian dari dirinya? Melucuti pakaiannya? Itu hanya kemungkinan paling bodoh yang sanggup dipikirkan Faith. Ian bisa mencari wanita lain yang jauh lebih sempurna. Mencari seorang istri yang mencintainya dan bersedia melucuti pakaiannya secara sukarela. Tapi Faith? Ian pasti sudah gila. Faith menatap Hope sejenak, memutuskan bahwa dalam kasus ini wanita itu tidak bersalah. Ia justru menyesal karena harus menarik Hope dalam sandiwara gila mereka. "Aku mengerti," ujar Faith kemudian. Hope terseyum lebar padanya, wanita itu meletakkan satu tangannya di atas punggung tangan Faith. "Sebagai teman, aku merasa khawatir melihat Kit bersikap seperti itu. Apa yang ku katakan padanya tidak pernah dia dengar. Aku yakin dia tidak begitu jika kau yang mengatakannya." Mata almond milik Faith sudah berkaca-kaca ketika menatap kedua mata Hope. Kemudian Faith mengangguk sebelum suara gemuruh mesin dari SUV milik Ian terdengar memasuki halaman rumah. Hope meminta Faith untuk segera bergegas dan begitu mereka tiba di halaman rumah, perhatian Ian beralih pada dua wanita itu secara bergiliran. Ian tidak bisa menghentikan prasangka yang muncul dalam otaknya namun ia juga tidak membiarkan semua lepas begitu saja. Kehadiran Hope sedikit menganggunya dan untuk alasan yang sama Ian segera menghampiri wanita itu, menyerahkan tiket dan kartu p********n yang dibutuhkan Hope sebelum Hope mengangguk dan memahami isyaratnya. Mobil lain datang, seorang pria mengemudikannya dari dalam. Faith merasakan jemari Hope meremas lembut lengannya dan wanita itu mengangguk sebelum pergi menuju mobil yang menjemputnya dan berlalu begitu saja. Faith menolak untuk bicara pada Ian. Ia hanya berusaha mengangkat kopernya, membawanya masuk ke dalam bagasi sementara Ian memastikan seluruh ruangan dan pintu depan rumah telah terkunci rapat. Faith duduk di kursi penumpang kemudian Ian menyusul satu menit berikutnya. Begitu dihadapi oleh Ian, Faith merasa enggan menatap langsung ke mata Ian dan memilih untuk menatap lurus ke depan. Dari sudut matanya, Faith tahu bahwa Ian tengah berusaha mendapat perhatiannya, dan ketika Faith tidak kunjung mengalihkan diri pada Ian, lelaki itu menghela nafas. "Ini mungkin akan menjadi perjalanan yang panjang." Faith hanya mengangguk, berpaling untuk melihat halaman rumah dari kaca mobil sebelum Ian mulai menstarter mobilnya dan SUV bergerak menjauhi bangunan tua yang mungkin akan dirindukan Faith suatu saat nanti. Tentu saja, Faith akan merindukannya. Bangunan itu bukan hanya berarti tapi terasa seperti tempat dimana seharusnya ia kembali. Mengabaikan pemikirannya, Faith mencoba fokus pada jalanan, tapi usahanya terasa sia-sia ketika yang sanggup ia pikirkan hanya kebohongan Ian. Faith berharap Ian akan mengatakan kebenarannya dan ia akan menunggu ketika saatnya tiba. Perjalanan terasa panjang dan melelahkan tanpa ada perbincangan. Kedua bersikap layaknya dua pasangan yang asing yang melakukan satu perjalanan dengan tujuan yang sama. Pesawat lepas landas dan dalam beberapa jam, kehadirannya di New York terasa aneh. Faith masih merindukan Memphis. Merindukan danau, tebing dan pantai. Persetan dengan semuanya, Faith hanya merindukan Ian! Segalanya tidak akan jadi lebih sulit jika mereka tidak bersi tegang. Tiba di bandara, Ian membimbing Faith menuju sebuah sedan hitam yang terparkir di kawasan terbuka. Sedan itu tampak asing. Lampunya menyorot ke arah jalanan dan tak jauh di sampingnya berdiri sosok pria tinggi dengan setelan jas berwarna hitam. Wajah dan rambut pirangnya tampak familier. Pria itu berperawakan lembut dengan senyum yang memesona. Wajahnya tampan dan tatapannya intens. Garis rahangnya tajam seperti Ian dan mata birunya hangat. Dengan pakian formal yang dikenakannya Faith segera mengenali lelaki itu dengan mudah. Luke. Ian menatap dan tersenyum ke arah Luke sebelum melambaikam tangannya. Langkah Ian berusaha mengimbangi Faith, dan begitu mereka berhadapan dengan Luke, Ian yang pertama kali memberi pelukan hangat. Luke tidak berlama-lama pada Ian dan memilih untuk beralih pada Faith, menunduk untuk menatap wanita itu, mengangkat salah satu tangan Faith dan mengecup punggung tangannya. Faith sekilas melihat kilau yang melintas di mata biru milik Luke. Kilau yang sama seperti yang pernah dijumpainya saat ia masih menjadi remaja kasmaran. Tentunya, kilau itu terasa menggoda jika Faith melihatnya dulu, tapi entah bagaimana sekarang Faith tidak merasakan apapun. "Halo kakak ipar!" Luke tersenyum lebar ke arah Faith dan Faith tertawa kecil. Luke tumbuh sebagai pria tampan yang memesona. Aksennya memang berbeda jauh dari aksen spanyol milik Ian, suara Luke lebih terdengar santai dan hangat. Kulitnya putih bersih dan tidak seperti Ian, Luke mewarisi sebagian gen milik Landon dengan rambut pirang dan perawakannya. "Aku harap kau tidak melupakan aku," kata Luke kemudian, mencoba menggoda Faith dan wanita itu hanya tertawa rendah. "Bagaimana liburanmu?" tanya Luke pada Faith. Faith tidak menjawab, hanya menatap kosong ke arah Ian dan begitu pula Ian. Kemudian Luke berdecak masam. "Ah, Ian memang payah. Seharusnya kau menikah denganku." Ian menatap Luke dengan skeptis sebelum Luke mengangkat kedua tangannya dan bicara, "oke, oke. Tidak akan ku katakan lagi." Sikap mereka membuat Faith menahan senyum. Luke mempersilakan Faith masuk ke dalam mobil, duduk bersampingan dengan Ian di kursi bekakang sementara Luke sendiri mengambil alih kemudi. Ian dan Faith patut bersyukur karena Luke berhasil mencairkan ketegangan dengan ocehannya sepanjang perjalanan. Setidaknya baik Faith maupun Ian tidak harus terpaksa untuk sekadar bicara tentang basa-basi. "Kakak ipar, kau patut merasa bersyukur karena Ian akan jadi pasangan yang terbaik untukmu. Kau tahu, dia bisa sangat mencintai sesuatu sampai membuatnya gila. Boleh jadi, dia juga tergila-gila padamu, jika kau ragu, mintalah sesuatu, mungkin dia tidak akan mengambil waktu lama untuk mewujudkannya, tetapi hati-hati! Dia bisa menjadi sangat agresif disatu waktu." Ian berdecak masam mendengarnya sementara Faith berpaling untuk menatap Ian. Ketika mereka saling bertemu tatap, tak satupun dari keduanya memutuskan untuk bicara. Dalam beberapa menit ocehan lain menyusul. "Apa kau tahu bagaimana dia menjaga kesehatannya? Astaga, kakak ipar, sesekali kau patut menyesal karena Ian tidak seperti yang bisa kau harapkan. Terkadang dia terlalu bersikap berlebihan dan itu akan membuatmu jengkel. Terakhir melihatku meneguk alkohol, Ian membuang semua persediaan wine yang ku sembunyikan. Dan coba bayangkan, pria macam apa yang tidak suka merokok?" "Bisa kau hentikan ucapanmu?" tanya Ian kemudian, Luke hanya menyeringai sebelum berkomentar lagi. "Cuaca malam ini mungkin akan sangat bersahabat. Aku sangat beruntung karena pulang ke New York tepat waktu. Jika kalian berkenan untuk segelas limun, malam ini aku akan menunggu di pusat kedai. Sudah sejak lama aku tidak mencicipi menu spesial di New York." Faith mengangguk sambil tersenyum sesekali sementara Ian hanya berusaha mendengar semua yang diocehkan oleh Luke. Sudah sejak lama Ian mengenali adiknya dan sikap Luke masih sama seperti dulu: tidak memedulikan tindakan dan seluruh ucapannya dan rela melakukan apapun untuk memperoleh apa yang diinginkannya. Ide untuk makan malam bersama Luke tidak terdengar menyenangkan, namun menolak Luke akan jadi usaha yang sia-sia, jadi Ian hanya diam, membiarkan Faith yang menyetujui ajakannya. Sedan milik Luke menasuki area perumahan kemudian berbelok di pertigaan sebelum masuk ke halaman parkir sebuah bangunan rumah dengan cat berwarna pastel. Pagarnya hitam, di sisinya halaman rumah itu ditanami oleh rumput dan hiasan patung yang dipajang di depan menambah nilai estrtikanya. Rumah itu beratap kokoh dengan dua pilar di tiap sudutnya, dimana sebuah tanaman menghiasi salah satu sudut undakan. Kedua jendela dan pintu kayunya tertutup rapat. Di teras terdapat sebuah pajangan kayu bergaya klasik. Lantainya berupa kayu yang diamplas sedemikian rupa hingga menghasilkan permukaan yang halus dan mengilap. Faith tersenyum memerhatikan bagaimana halaman rumah itu terawat dengan baik. Rumah itu sangat bersih dan nyaman bila dilihat dari luar. Begitu Ian mendorong pintu terbuka, Faith semakin dibuat terpana. Seluruh barang tertata rapi. Warna dinding dan lantai kayunya terasa bersahabat. Rumah itu sepenuhnya bersih dengan aroma khas cendana yang menyenangkan. Faith memerhatikan sederet piagam penghargaan milik Ian yang dipajang sepanjang dinding pembatas, kemudian berhenti pada foto ketika Ian memeroleh medali atas kemenangannya dalam olimpiade. Dalam diam Faith terkagum-kagum. Lelaki itu banyak menoreh prestasi sebagai hasil dari kerja kerasnya. Dan sudah tidak diragukan lagi bahwa Ian adalah seorang dokter yang ahli dalam bidangnya. Pemikiran Faith terhenti sampai disitu ketika tangan Ian menyentuh punggung tangannya dan mengirimkan sensasi aneh yang menjalar hingga ke perut Faith. Ian meraih koper dalam genggaman Faith sembari berkata, "Biar ku letakkan di ruanganmu." Luke menyusul mereka di belakang. Lelaki itu mendesah puas sebelym beranjak untuk sebotol mineral di lemari pendingin. Berbalik, Luke menghadap Faith. "Selamat datang di istanamu, kakak ipar." Faith memerhatikan ketika Ian mulai bergerak masuk ke dalam sebuah ruangan dan meletakkan semua barang bawaan Faith disana. Ian kembali untuk bergabung dengan Luke di konter. "Aku akan keluar sebentar," kata Ian. "Kau temani Faith sampai aku kembali." Luke tersenyum dan Ian segera bergegas kembali ke garasi, mengambil jeep hitamnya sebelum melintas pergi begitu saja. Faith menatap Luke, beranjak mendekat kemudian duduk berhadapan dengan Luke di konter. Dan sepanjang perjalanan tadi, ia baru memberanikan diri untuk bicara. "Kenapa kau tidak datang ke pesta pernikahan kami?" Luke merengut. "Sejujurnya aku sangat ingin, tapi rencana proyekku di California tidak bisa dikendalikan. Aku harus turun tangan untuk membereskan semuanya. Perusahaan kami mengalami kerugian besar akibat proyek itu dan rencana bisnisku terancam gagal untuk dua tahun ke depan seandainya aku tidak menyusun tim kerja bantuan. Semua itu menyita waktuku. Aku pikir aku harus minta maaf pada kakak dan iparku." Faith tertawa rendah. "Baiklah. Itu tidak masalah. Bagaimana usaha yang kau jalani?" Luke melepas jas dan menggelung lengan kemejanya, mengendurkan dasi dan membuka kancing bagian teratas kemeja itu hingga menampakkan aura maskulinnya. Ia menghela nafas sejenak sebelum menjawab, "semuanya berjalan dengan lancar. Sekarang kami sedang berorientasi pada progres." "Kau belum menikah?" Dahi Luke mengerut dan bibirnya membentuk satu garis tipis. Ia mengangkat botol mineralnya, menuangnya pada gelas kosong sembari merespons setiap pertanyaan Faith. "Belum. Aku tidak terpikir untuk itu." "Dan kau masih bermain dengan wanitamu?" Luke menatap Faith, matanya terasa hangat dan senyumnya memesona. "Ah, kakak ipar, kau yang terbaik!" "Panggil saja Faith." "Faith kalau begitu," Luke mengangkat gelas kemudian meneguk air mineralnya. "Aku tidak begitu nyaman dengan hubungan serius.” "Kau mungkin benar. Menurutmu Ian juga begitu?" "Ian?" Faith mengangguk kemudian Luke mendengus masam. "Aku tidak tahu apa yang ada dalam otaknya. Yang bisa dia pikirkan hanyalah pekerjaan dan pasiennya. Bahkan aku sempat ragu kalau pria itu akan menemukan pendampingnya lebih cepat dariku dan Joseph, tapi sepertinya aku salah dugaan. Ayah tidak akan membiarkannya melajang sampai tua. Ian tidak begitu tertarik soal urusan berumah tangga, dan itu membuat kami sebagai keluarganya merasa khawatir." Luke mengatakan kalimat terakhir dengan berbisik hingga Faith harus mencondongkan tubuhnya untuk mendengar lebih jelas. Satu lagi fakta yang mendukung kebohongan Ian: bahwa lelaki itu berdedikasi pada pekerjaannya dan tidak begitu tertarik dengan urusan wanita. Bagaimana mungkin Faith bisa percaya bahwa Ian memiliki p*****r kecilnya sendiri. Sekarang Faith merasa bodoh. "Ian bilang kau tinggal di apartemen?" "Benar. Terkadang aku kembali untuk menemui Jordyn. Wanita itu tidak pernah berhenti merasa khawatir." "Aku mengerti." "Faith, ada apa dengan Ian?" tanya Luke kemudian. Nada suaranya rendah rendah dan tatapannya menuntut penjelasan. Pertanyaan Luke sangat tidak mungkin ia hindari karena dari mata birunya, Faith yakin Luke mampu memahami situasi yang terjadi. Sebagai respons, Faith merunduk lesu sembari menjawab. "Hanya masalah kecil. Kenapa?" "Dia tidak terlihat seperti biasanya. Kau mungkin tidak suka, tapi aku akan sangat menghargai usahamu jika kau menjelaskan masalahnya padaku. Mungkin aku bisa membantu." Rasanya itu mustahil. Siapa yang mampu memahami segala hal konyol yang terjadi pada pernikahan mereka? Apa Faith perlu mengatakan bagian dimana Mike memutus hubungannya? Atau bagian ketika Ian b******u dengan Hope di depan matanya? Siapa yang dapat memaklumi hal itu? Tidak seorangpun! Ketika menatap Luke, Faith mencoba berdalih, "hanya masalah sepele. Kau tahu? Masalah rumah tangga. Aku dan Ian belum begitu saling mengenal satu sama lain dan kami harus beradaptasi. Semuanya butuh proses, kan?" Luke menautkan alisnya, membuat Faith berpikir bahwa pria itu memaklumi masalah mereka. "Begitu?" Faith mengangguk dan Luke meneruskan, "apa ada yang bisa kulakukan untukmu?" "Aku menghargai usahamu, tapi tidak, terima kasih. Semuanya akan baik-baik saja." "Ah, Faith.. Ian mungkin benar tentang kau. Kau bukan hanya cantik tetapi kau sungguh memikat. Katakan berapa banyak pernghargaan yang kau peroleh dari hasil tulisanmu? Ku dengar tulisanmu menembus ke infustri perfilm-an?" Faith tersenyum sejenak, merasa jengah ketika mengangguk setuju. "Hanya sebagian karyaku saja, dan selebihnya tidak. Terkadang aku merasa tertantang untuk memikirkan sebuah konflik yang menarik." "Kau juga suka hortikultura?" Mata Faith membulat sempurna. Seberapa banyak Ian mengatakan tentang dirinya pada Luke. "Apa Ian juga mengatakannya?" "Dia tidak pernah berhenti bicara segala hal tentangmu. Aku tidak pernah melihatnya begitu tergila-gila pada sesuatu selain pekerjaannya. Kau pasti wanita yang memesona. Sayang sekali Ian yang lebih dulu mendapatkanmu. Cobalah untuk berkencan denganku, Faith, kau mungkin akan berubah pikiran." Faith meragu sejenak, menyuarakan satu-satunya yang terbesit dalam pikiran. "Kau berniat merebut istri dari saudaramu?" "Itu sah-sah saja, kan?" Luke menjawabnya dengan enteng. "Ian bukan pendeta dan begitu pula aku." Faith tertawa lagi sebelum menggelengkan kepalanya sebagai respons. "Tidak Luke. Kau harus mencoba pada yang lain." "Kau mencintai Ian kalau begitu?" Pertanyaan tak terduga yang tidak sanggup dijawab Faith secara langsung. "Aku harap begitu. Lagipula, bukankah itu tujuan dari setiap pernikahan?" retoris yang diajukan Faith terasa sulit dicerna secara sehat oleh Luke. Luke berniat untuk mengajukan pertanyaan lain, namun suaranya tertahan di tenggorokan. Faith tampak tidak nyaman dengan pembicaraan mereka, jadi Luke mencoba mencari topik yang jauh lebih sempurna. Luke suka siaran olahraga, lelaki itu punya trauma dengan makanan manis dan Faith segera mengetahui fakta lainnya tentang Luke dengan mudah. Percakapan mereka hangat, diselingi oleh canda tawa dan berakhir dengan mulus ketika mobil jeep milik Ian kembali ke halaman rumah. Ian bergabung di tengah perbincangan mereka dalam hitungan detik, menjalin komunikasi akrab dengan Luke dan diam-diam menjalin kontak mata dengan Faith. Rasanya memang tidak nyaman bersitegang dengan Faith. Ian hanya sanggup berharap hubungan mereka akan segera membaik. Malamnya, sesuai dengan yang direncanakan Luke, mereka mengunjungi sebuah kedai dan menghabiskan waktu satu jam penuh untuk mengobrol sebelum Luke berpamitan lebih dulu, meninggalkan Ian dan Faith di kedai. Luke pergi lebih cepat dari yang diharapkan Faith sementara yang saat itu berusaha Faith hindari adalah situasi dimana hanya ada dirinya dan Ian terlibat disana. Faith tidak berharap mereka menjalin komunikasi aktif untuk saat itu, pikirannya masih kalut dan ia masih merasa kecewa atas kebohongan Ian. Faith hanya khawatir jika ia lepas kendali nantinya. Tapi seharusnya ia tahu bahwa tidak mudah bekerja sama ketika yang sanggup dipikirkan Ian berbanding terbalik dari apa yang diharapkan Faith. Ian menggeser gelas limunnya ke samping, mencoba fokus pada tatapan Faith dan mulai menimbang ucapannya. "Apa semuanya akan baik-baik saja malam ini?" Pertanyaan itu dinilai Faith sebagai isyarat. Namun, rasa kecewa yang disimpan Faith begitu besar hingga egonya mampu mengalahkan akal sehatnya sendiri. "Tergantung pada bagaimana kau akan mengakui kebenarannya." Jangankan Ian, Faith juga heran dengan kalimat yang dihanturkannya barusan. Tapi sepertinya Ian salah mengerti karena lelaki itu segera mengklarifikasi hal lain di luar pemikiran Faith. "Aku tidak tahu kejadian itu akan sangat menyinggung perasaanmu. Seandainya aku tahu semua akan jadi seperti ini, aku berani bertaruh tidak akan menyentuhnya sedikitpun." Kursi sedikit bergeser ketika Faith menegakkan tubuhnya. Langit di luar tampak gelap dan keributan jalan raya menjadi latar suara dalam situasi mencekam itu. "Aku sama sekali tidak tersinggung atas itu," bantah Faith. "Itu bagian dari kesepakatan kita." "Lantas apa? Mengapa kau bersikap beda padaku?" "Coba pikirkan lagi Ian! Fakta apa yang bisa kau tutupi dariku." Ungkapan Faith membuat Ian tidak mengerti, seakan fakta bergerak menjauh dari mereka. "Aku tidak mengerti," aku Ian kemudian. Faith mengerling, tampak tidak puas dengan reaksi itu dan dengan tegas menjelaskan maksudnya. "Tentu saja. Kau tidak mengerti, karena kau yang menyusun semua sandiwara ini. Kau yang menyusun kebohongannya. Kau berdedikasi pada pekerjaanmu dan Luke membuat faktanya semakin jelas dengan mengatakan bahwa tidak seorangpun wanita yang mampu kau jamah di tengah segala kesibukanmu. Aku memang bodoh Ian. Aku memercayaimu dengan mudah, kau mungkin berpikir bahwa aku mudah sekali diperdaya. Aku hanya tidak percaya kau menyembunyikan faktanya." Ian menelan liurnya. Tenggorokannya seakan tercekat dan kata-katanya tertahan di lidah. Matanya yang kosong menatap lurus ke arah Faith sementara wanita itu membuang tatapan untuk memerhatikan keadaan sekitar. Langit gelap menyelubunyi keramaian jalan di kota New York. Bangunan-bangunan yang berdiri, memanjang membentuk satu deret tak beraturan. Suara mesin kendaraan bergemuruh di sekitar mereka sementara ketenangan yang mengelilingi suasana di kedai mampu mencairkan kebisingan di luar. "Hope mengatakannya padamu?" Faith menatap Ian lagi. "Semuanya. Tanpa pengecualian. Tentang sandiwara kalian, kebohonganmu. Semua omong kosongmu tentang wanita simpanan." Bagi Ian itu saja sudah menjelaskan semua penyebab berubahnya sikap Faith. "Kenapa kau melakukannya Ian? Kau bisa saja melepaskan perjodohan itu dan tidak memedulikan bagaimana nasibku. Kau bisa membatalkan semua rencana pernikahan seandainya kau mau. Tetapi mengapa kau bertahan? Bahkan, kau menyusun satu lagi sandiwara konyol tentang p*****r kecil yang tidak pernah kau temui." "Apa itu mengganggumu?" "Kau membuat aku tersinggung!" koreksi Faith. "Kau membuat aku seakan jadi pihak yang egois disini. Kau merugikan dirimu sendiri, Ian." "Aku tidak merasa dirugikan sedikitpun." "Tapi tetap saja. Kau seharusnya mengerti, aku lebih menghargai kejujuranmu dan seharusnya aku tidak perlu mendengar semua faktanya dari orang lain." Ian mengamati Faith dengan tenang. "Itu salahku. Maafkan aku." Faith menggeleng, suaranya terputus-putus dan seandainya ia tidak menggunakan akal sehatnya, ia pasti sudah menangis di tempat. Meski begitu, ekspresi Faith tampak kentara bagi Ian. Ian sanggup membaca sekelebat perasaan kalut disana. "Maafmu saja tidak akan cukup untuk membuat aku mengerti. Aku meminta penjelasanmu Ian! Mengapa kau melakukannya?" "Aku tidak tahu." "Kau.." satu tangan Faith terkepal di atas meja sementara satu yang lain mencoba meremas tulang pahanya dengan harapan Faith akan bertindak secara sehat dalam situasi itu. "Kau seharusnya tahu! Kau membuat aku memercayai tindakanmu dan bagaimana kau bisa berpikir bahwa aku senang dengan fakta yang ada. Kau tidak seharusnya melakukan semua ini untukku Ian. Demi apapun, kau hanya akan mempersulit dirimu!" "Sudah ku katakan aku tidak merasa dibebani." "Lalu mengapa kau berbohong padaku? Kau pasti punya alasan untuk semua itu." "Aku benar-benar tidak tahu." "Baiklah, sekarang semuanya bergantung padamu. Coba kau katakan satu saja fakta yang tidak pernah aku tahu tentang dirimu! Fakta yang kau sembunyikan dari dunia. Aku ingin kau yang mengatakannya dan bukan kutahu dari orang lain." Ada satu fakta yang selalu disembunyikan Ian dari dunia. Bukan hanya dari dunia, namun juga dari dirinya. Karena Ian selalu berharap dapat mengubur semua kenangan itu hingga tidak memberinya celah sedikitpun untuk mengulangnya kembali. Sekarang, Faith meminta Ian mengatakannya secara gamblang. Sementara mengatakannya sama saja seperti menggali lubang kuburnya sendiri. Pemikiran itu membuat Ian menggeleng dengan cepat. Raut wajahnya tak tertebak dan ketika lelaki itu mengatakan penolakan, hati Faith mencelos. "Aku tidak bisa mengatakannya padamu." Dan itu berarti, Ian tidak berniat untuk bersikap terbuka padanya. Itu saja sudah cukup memberi dampratan keras bagi Faith. Lelaki itu tidak memercayainya, lelaki itu tidak berharap Faith masuk lebih dalam di hidupnya. "Kenapa Ian?" Ian menggeleng lagi, kali ini lebih yakin. "Hanya tidak bisa mengatakannya. Kau tidak perlu tahu." "Apa kau tidak percaya padaku?" "Aku percaya padamu.." "Lalu apa yang kau takuti? Kau takut sikapku berubah total padamu?" "Tidak. Bukan itu." "Jadi apa kau akan mengatakannya?" Ian tetap menggeleng dan Faith menganggap semuanya sudah jelas. Setetes air mata yang tak tertahan jatuh di atas wajah Faith namun wanita itu segera menyekanya dengan punggung tangan. Faith menegakkan tubuhnya sembari menghela nafas, di tengah perasaannya yang campur aduk, ia berkata dengan suara mantap, "aku rasa semua sudah jelas. Bisa kita pulang sekarang? Besok pagi-pagi sekali aku harus menemui ibu dan ayahku. Kami sudah membuat janji siang ini. Aku tidak ingin terlambat bangun karena menghabiskan banyak waktu disini." Ian kelihatan menimbang, tidak segera menyetujui Faith namun tidak juga diam tanpa melakukan apapun. Ketika melihat kemantapan dalam mata almond milik Faith, Ian baru menggerakan bibirnya untu bicara. "Apa semuanya akan baik-baik saja?" "Berharap saja begitu. Aku tidak bisa menjamin sikapku sampai kau bersedia mengatakan fakta yang ada." "Kenapa kau begitu ingin aku mengatakannya?" Faith juga tidak tahu mengapa, hanya saja ia perlu tahu segala hal tentang Ian. Tidak mengacuhkan pertanyaan itu, alih-alih Faith menegaskan. "Aku yakin aku sudah mengatakan bagian dimana aku harus segera beristirahat agar bisa bangun lebih pagi." Kemudian Ian berdiri, disusul oleh Faith. Mereka beranjak keluar kedai secara bergiliran. Biasanya Ian akan berjalan di samping wanita itu, tapi sekarang Ian membatasi diri dengan mempersilakan Faith berjalan lebih dulu sementara ia mengekor di belakang. Begitu mereka sampai di dalam mobil, Ian segera mengambil alih kemudi untuk menjauh dari area kedai, menembus keramaian kota New York untuk kembali ke rumah, tempat nyaman milik Ian yang entah bagaimana segera dicintai Faith saat pertama kali ia memijakkan kakinya disana. Sepanjang perjalanan, tak satupun dari mereka ada yang berniat untuk memulai percakapan. Semuanya terjadi secara senyap dan bisu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN