Selama berjam-jam setelah kejadian itu, Faith mengurung dirinya di dalam kamar dan terus berusaha meredakan isak tangisnya. Faith berharap Ian tidak ada disana dan mendengar kesedihannya, tetapi ia salah besar. Sudah tiga kali Ian mengetuk pintunya, mencoba bicara padanya dan meminta ia untuk membuka pintu. Faith tidak ingin Ian melihatnya dan menganggap bahwa semua terjadi atas kesalahannya, jadi Faith memutuskan untuk mengabaikan Ian.
Hingga malam menjelang Faith baru berhasil meredakan kesedihannya. Ia pergi ke kamar kecil dan berkaca disana. Matanya tampak sembap dan rambutnya berantakan. Faith segera membasuh wajahnya, menegakkan tubuh kembali dan mengembuskan nafas. Kemudian ia hanya berdiri disana, diam dan memikirkan segalanya. Betapa rindunya Faith pada Juan. Disaat seperti itu, yang diharapkan Faith hanya dapat merangkul ayahnya dan menangis hingga air matanya kering. Sekarang tidak ada yang bisa dilakukannya selain menatap wajahnya sendiri melalui cermin. Meringis ketika menimbang sebesar apa bengkak yang membentuk setengah lingkaran di bawah matanya.
Kemudian Faith mendengar suara ketukan lagi. Dan itu menjadi kali yang keempat. Faith diam menunggu hingga Ian menyuarakan dirinya.
"Faith? Faith apa kau mendengarku?"
Faith tidak menjawab. Ian tidak menyerah.
"Faith kau harus makan sesuatu."
Bahkan Faith melupakan soal makan siang juga makan malamnya. Ia membuka satu telapak tangannya di atas perutnya yang rata kemudian meringis begitu merasakan dorongan untuk memakan sesuatu. Tapi Faith tidak berharap dapat menemui Ian. Ia tidak ingin berhadapan dengan pria itu, tidak untuk saat ini.
"Biarkan aku mengganti perbanmu, Faith."
Faith tidak menjawab dan Ian menghela nafas. Merasa putus asa dengan kehendaknya kemudian ia bersandar di tepian pintu. Ian meletakkan sepiring pakekuk dan segelas air yang dipegangnya, pada meja yang terletak di samping ruangan. Kemudian ia menyuarakan pertanyaan lain.
"Apa kau sedang tidur?"
Tidak ada jawaban.
"Faith, biarkan aku masuk sebentar saja. Kau harus melakukan sesuatu, kau tidak bisa mengurung diri selamanya disana. Keluarlah dan biarkan aku memeriksa lukamu! Kadar alkohol yang kuberi tidak bertahan lama, kepalamu akan terasa berdenyut lagi."
Tidak ada jawaban dan keputusasaannya sudah ada di depan mata. Ian memijat keningnya, menatap lurus ke arah jarum jam yang menunjukkan pukul sebelas lewat tujuh menit. Merasa lelah dan pasrah. Ian kemudian beranjak untuk duduk di sofa yang tak jauh dari ruangan, berharap Faith akan luluh dan membukakan pintu untuknya. Tapi Ian menunggu hingga jarum jam berada tepat di angka satu. Dan setelah ia merasa tidak sanggup terjaga lebih lama lagi, ia membaringkan tubuhnya di sofa, mencari posisi nyaman dan mencoba untuk memejamkan mata.
***
Faith terbangun dipagi buta dengan kepala berdenyut-denyut. Ia beranjak dari ranjangnya untuk mencari persediaan pil di lemari. Pil-nya mungkin tidak berkhasiat banyak untuk mengurangi rasa sakit itu, tapi hanya itu yang Faith punya. Setelah Faith meneguk pil-nya bulat-bulat, Faith merasakan dorongan kuat untuk mengisi perutnya. Ia ingat terakhir kali yang dimakannya adalah roti kering. Itupun ia makan pada pagi hari. Dorongan yang sama membuat Faith beranjak ke ambang pintu.
Di luar terdengar hening, jadi Faith memberanikan diri untuk membuka kunci pintu dan memutar kenopnya secara perlahan. Faith menatap keluar, melangkahkan kakinya dari kamar dan membatu begitu melihat Ian tengah tertidur di sofa yang tak jauh dari sana.
Lelaki itu tidak mengenakan apapun selain kaus dan jeans usangnya, sementara udara di luar sangat dingin. Ian tertidur nyenyak dengan melipat kedua tangannya di depan d**a. Faith menatap pada jam dinding, tertegun ketika menyadari bahwa jarum jam telah menunjuk pada angka tiga. Kemudian tatapan Faith beralih pada sepiring panekuk dan segelas air yang diletakkan Ian pada meja kayu di samping tempat ia berdiri. Hasrat untuk menghabiskan makanan itu segera sirna, berganti dengan perasaan bersalah yang menghunjamnya.
Faith melangkahkan kakinya lebih dekat dengan Ian. Berdiri selama sesaat di samping lelaki itu sebelum menjatuhkan tubuhnya dan menyentuh lengan Ian yang terekspos. Hawa dingin nyaris menusuk Faith ketika ia menyentuh kulit Ian. Lelaki itu pasti tidur dengan kedinginan. Ian bergerak sedikit dan Faith langsung melarik tangannya. Faith berpikir bahwa Ian mungkin saja terbangun tapi pemikiran itu sirna setelah melihat bagaimana kelopak mata Ian tertutup sempurna.
Faith diam dan memerhatikan Ian selama sesaat. Ia merasakan godaan untuk menyentuh wajah Ian. Ian tampak sangat tampan dengan postur tubuh yang sempurna dan garis wajah yang tegas. Rambut hitamnya jatuh lurus di belakangnya sementara matanya sedikit cekung. Hidungnya sedikit bengkok dan mancung sementara bibirnya tipis. Lelaki itu memiliki segala hal yang membuat dirinya terlihat sempurna, tapi Faith merasa sulit untuk menemukan ketertarikannya pada Ian. Faith berharap ia dapat mencintai Ian, memuja segala hal tentang Ian dan melakukan semua yang dilakukannya pada Mike, tapi Faith tidak bisa demikian.
Ketika bersama Ian, Faith merasa perlu mengunjukkan sisi asli dalam dirinya. Tidak ada yang perlu ditutup-tutupi, ia tampil seperti apa adanya ia. Ketika bersama Ian, Faith selalu merasa gelisah, namun perasaan itu dirasakannya bukan karena sesuatu yang salah melainkan karena satu fakta bahwa Faith takut Ian mampu menyibak topeng dan melihat cerminan asli dirinya.
Sejauh ini Faith selalu membentengi dirinya, selalu menganggap bahwa ia telah mendapat segalanya, tapi bersama Ian, Faith merasa sangat rapuh. Seakan seluruh fakta terpahit dalam hidupnya dibuka secara gamblang tepat di hadapannya. Faith tidak berharap mengenali mimpi-mimpi kecilnya, mimpi yang dibuat oleh sosok Faith yang 'bahagia', tapi Ian justru berusaha untuk mewujudkan semua daftar mimpi itu dan menunjukkan pada Faith segala yang tidak pernah Faith lihat dan rasakan.
Pemikiran itu nyaris membuat Faith merasa sesak. Ketika godaan untuk menyentuh Ian sudah tidak dapat terbendung lagi, Faith segera meletakkan tangannya di atas rambut Ian, mencoba merasakan tekstur lembut dari rambut gelap itu dan tersenyum ketika tahu bahwa teksturnya sama persis seperti yang terlihat. Kemudian Faith menggerakan tangannya turun dan menyentuh wajah Ian. Kulitnya terasa dingin, tapi Faith tidak menghindar, ia memberi kesempatan bagi dirinya untuk menyentuh Ian selagi pria itu tidak menyadari tindakannya. Faith menyentuh hidung dan kelopak mata Ian kemudian berhenti ketika jarinya menelunsuri garis bibir Ian.
Bayangan akan kejadian beberapa hari lalu di tebing kembali terngiang dalam benaknya dan secara spontan, Faith menarik tangan menjauh. Faith tidak bisa mengingatnya tanpa menginginkan Ian. Jadi Faith segera menghentikan segala aksinya dan mulai berdiri untuk beranjak ke dalam kamarnya dan kembali dengan selimut besar. Faith membuka selimut itu, membentangkannya di atas tubuh Ian dan tersenyum kecil sebelum beranjak masuk kembali ke dalam kamar.
Pagi itu Ian pergi sebelum Faith menemuinya. Faith menduga mungkin Ian sedang menghabiskan waktu untuk berlari-lari kecil atau mengunjungi pusat kebugaran, atau melakukan penelitian ilmiahnya tentang kesehatan dan segala hal yang biasa dilakukan pria itu yang mulai terasa akrab dan familer. Faith tidak bisa memungkiri fakta bahwa ia berharap Ian mengajaknya turut serta, tapi lelaki itu pergi begitu saja, tanpa meninggalkan pesan, hanya meningnggalkan sejumlah roti selai di meja makan.
Faith duduk diam disana, bernafsu ketika menghabiskan makanannya dan merasa lebih baik begitu kerinduannya terpuaskan walau hanya dengan dua lapis roti selai. Berdiam diri tidak banyak membantu. Hal itu hanya akan membuat pikirannya semakin kalut, jadi Faith memutuskan untuk mengisi waktu luang dengan siaran televisi. Kegiatan itu hanya berlangsung selama satu jam penuh sebelum Faith menghabiskannya untuk memeriksa kebun hortikultura dan memanen beberapa bibit lagi.
Hingga siang menjelang, Faith belum menemukan keberadaan Ian disana. Faith berpikir untuk mengunjungi Monica di rumah sewaan Ian, tapi ia segera mengurung niatnya. Wanita itu mungkin sedang tidak ingin mendengar keluhannya sekarang. Yang Faith butuhkam adalah ketenangan. Dan ia mendapatkan semua ketenangan itu di suatu tempat yang diyakininya mampu memberi apa yang dibutuhkan.
Begitu segala rencananya telah tersusun rapi, Faith segera mengambil jaket hitam dan topi bisbolnya. Ia mengenakan jeans dan sepatu kets dengan ukuran yang pas di kakinya. Dengan harapan untuk memeroleh ketenangan, Faith mengayuh sepedanya menuju pesisir pantai di dekat perbatasan.
Lima belas menit kemudian Faith tiba di tempat tujuan. Cahaya senja menyelimuti pantai. Matahari setengah terbenam dan sesaat lagi akan terbenam, jadi Faith tidak membuang-buang waktu untuk menarik kapal kecil kemudian menggunakannya untuk berlayar. Faith terus menggerakan kayuhnya, membawa kapalnya menjauh dari pesisir pantai sebelum berhenti di tengah jalan. Ia menggunakan kesempatannya untuk memandangi cahaya jingga ketika matahari perlahan mulai tenggelam di sebelah barat. Senyum Faith mengambang dan ia menghela nafas.
***
Ian tiba di rumah semenit setelah kedatangan Hope. Setelah memarkirkan SUV-nya, Ian segera menghambur keluar. Pandangannya segera tertuju pada Hope yang berdiri di teras rumah dan dengan langkah yang panjang, Ian menghampiri Hope.
"Apa yang kau lakukan?"
"Aku baru saja ingin mengobrol dengan Faith."
Ian mengabaikan Hope dengan mengerahkan tangannya untuk membuka pintu. Mengetahui pintu tidak terkunci, Ian segera menyeruak masuk. Matanya mencari ke segala arah sementara Hope mengekor di belakangnya.
"Dimana Faith?" tanya Hope dan Ian menggeleng. "Aku pikir dia bersamamu?"
"Aku pergi untuk menyelesaikan urusan dengan tangan kananku."
Ian tidak bicara lagi, ia segera beranjak menggeledah seisi ruangan dan tiap sudut rumah dan semakin resah ketika tidak menemukan Faith dimanapun. Ian kembali pada Hope dan meminta wanita itu untuk menunggu selagi ia pergi untuk mencari Faith. Hope hanya mengangguk dan dengan berjalan kaki, Ian pergi ke tempat mana yang bisa ia pikirkan.
Ian pergi melewati rawa dan melintasi danau, berlari ketika tidak menemukan Faith disana. Kemudian Ian beralih menuju tebing dan harapannya pupus seketika. Faith mungkin pergi ke perbatasan atau ke pusat kota. Tentu saja, wanita itu butuh waktu luang untuk menghibur diri, tanpa Ian, tanpa harus memikirkan pernikahannya. Ian tidak bisa menghalangi niat Faith. Wanita itu mungkin berharap bisa pergi dari kenyataan walau hanya sesaat. Dan sekali lagi, Ian tidak berhak menghalangi Faith. Faith memang istrinya, tapi mereka terikat oleh kesepakatan yang tidak bisa dilanggar. Atas pemikiran itu, Ian pulang dengan pikiran yang berkecamuk.
Ian tiba di rumah ketika langit sudah gelap sepenuhnya, setengah berharap kalau Faith sudah menunggu di dalam sana, namun tidak apapun selain suara siara televisi dari ruang utama. Ian segera bergegas, namun terhenti begitu melihat Hope sedang berusaha untuk duduk menyaksikan siaran komedi sembari meneguk sebotol bir. Putung rokok dan asbak tampak berserakan pada meja kayu yang terletak di sebelahnya.
Hope melirik ke arah Ian, berdiri dan segera mematikan siaran televisi. Sembari menggenggam sebotol bir di tangannya, ia bersandar pada tepian sofa.
"Kau mendapatkannya?"
Ian menggeleng, lesu.
"Ada apa denganmu, Kit? Kau kacau."
Ian juga menyadarinya, rekannya juga mengatakan demikian. Ia telah membentuk lingkaran hitam di bawah matanya akibat tidur terlalu larut dan sepanjang hari, Ian merasa sulit untuk menggunakan akal sehatnya. Yang sanggup dipikirkannya hanyalah Faith. Faith dan pernikahan mereka.
"Faith mungkin tidak menginginkan pernikahan ini lagi." Ian menyandarkan tubuhnya pada pilar pembatas di ruangan, matanya terarah pada lantai kayu dan perasaannya kalut, sementara Hope hanya memerhatikan tak jauh dari sana.
"Ini semua salahku. Seharusnya aku tidak membiarkannya dalam pernikahan ini."
Hope mengernyitkan dahinya, kedua matanya menyipit, mencoba mencerna semua yang dikatakan Ian. "Apa maksudmu? Ku pikir dia mencintaimu? Karena itulah dia menikahimu, kan?"
Ian menatap Hope, ragu sesaat sebelum mengatakan, "dia tidak menginginkan aku. Dia tidak menginginkan pernikahan ini."
Hope semakin tidak mengerti. "Apa karena alasan itu kau memintaku menyamar sebagai pelacurmu?"
"Itu salah satunya."
"Ya ampun, apa yang telah kau lakukan, Kit? Kau tidak berniat menyakitinya, kan?"
Ian tidak tahu. Niat awalnya hanya membantu Faith keluar dari masalahnya, tapi seiringan dengan bergilirnya waktu, Ian paham bahwa ada perasaan lain yang mendasari tindakannya untuk menyusun sandiwara konyol dan menikahi Faith. Semua itu karena ketertarikan Ian pada Faith di awal perjodohan mereka. Faith adalah wanita cantik yang menarik, bertubuh ideal dan cerdas, siapa pria yang bisa menolak pesonanya? Tapi Ian tidak hanya melihat semua porsi itu dalam diri Faith. Faith adalah wanita sederhana yang berbicara dan bertindak secara jujur, mendahulukan kepentingan orang sebelum memikirkan dirinya sendiri dan itu yang membuat Ian jatuh cinta pada Faith. Namun, jika pada kenyataannya Ian hanya mampu membuat Faith sedih, maka siapa yang patut disalahkan?
Setelah menimbang pertanyaan Hope, Ian hanya sanggup menggeleng. "Aku tidak tahu."
Hope menghela nafas. "Apa yang salah denganmu?"
"Aku pikir aku sudah gila sekarang."
Hope tertawa miris, tindakannya mendapat perhatian besar dari Ian. "Kau tidak pernah seperti ini sepanjang aku mengenalmu. Kau dokter ahli bedah profesional dan coba lihat apa yang terjadi sekarang! Kau pasti tergila-gila padanya."
"Faith tidak menginginkan aku," ulang Ian, tampak gelisah dengan ucapannya sendiri. Ketika kegelisahannya semakin menjadi-jadi, Hope mulai mendekat. Wanita itu berhenti tepat di hadapan Ian dan mulai meletakkan tangannya untuk menangkup rahang Ian.
Selama sesaat Ian memerhatikan Hope dan baru berujar beberapa detik setelahnya, "apa yang akan terjadi padanya seandainya aku membatalkan pernikahan ini?"
"Dia mungkin tidak akan senang."
"Kenapa begitu?"
"Karena dia suka padamu."
Kali ini Ian tertawa miris, meski begitu matanya terasa menyengat dan rasa pening di kepalanya semakin menjadi-jadi
"Dia tidak akan menangis jika memang begitu."
"Aku mungkin tidak berpengalaman tapi sialan, aku wanita! Kami kaum wanita terlalu lemah dan terkadang perlu untuk menangis. Bukan karena dia menangis, kau bisa segera menyimpulkan bahwa dia tidak menginginkanmu."
Ian menunduk, tatapannya bimbang dan ketika keputusasaan sudah ada di ujung teluk, Ian meraih botol bir dalam genggaman Hope, meneguknya hingga tidak tersisa lagi, sementara Hope hanya memerhatikannya dengan heran.
"Kupikir kau anti alkohol."
"Sekarang tidak lagi. Seseorang mengatakan padaku bahwa cairan ini berkhasiat membuat kegelisahanmu hilang untuk sesaat sebelum kau kembali sadar dan kembali pada kepahitanmu."
Hope memerhatikan dengan serius. "Seseorang? Siapa yang bicara begitu?"
Ian mengangkat wajahnya dari pemandangan lantai kayu dan beralih pada kedua mata Hope. Pikirannya hanyut. Alkohol itu bereaksi dengan cepat dalam tubuhnya. Matanya menatap semakin dalam pada Hope dan Ian mulai merasa tenggelam disana. Di tengah kesunyian, ia menggerakan bibirnya untuk mengatakan, "Faith." Dan secepat kilat, otaknya seakan meleleh di bawah kakinya. Indra-indranya terasa tidak berfungsi. Yang sanggup dilihatnya dalam kedalaman mata emas itu hanyalah Faith, Faith dan Faith.
Ian mengangkat tangannya untuk menarik wajah Hope lebih dekat sebelum menciumnya. Matanya terpejam erat selagi ia merasakan tekstur lembut bibir Hope yang terbuka sepenuhnya untuk Ian. Kesenyapan membunuh suasana, namun dalam otaknya segala pemikiran kian berkecamuk. Semua tentang Faith. Entah bagaimana Ian membodohi dirinya sendiri namun yang mampu dipikirkannya kala itu hanyalah: ia mencium Faith. Dan seterusnya begitu.
Semua itu berlangsung selama semenit penuh sebelum suara benda kecil yang membentur lantai kayu menyadarkan Ian dari semuanya. Ian mengangkat wajah, menemui tatapan Hope yang membara sebelum mengizinkan dirinya untuk beralih ke seberang dan menelan liur ketika melihat Faith berdiri disana.
Hope berbalik, mengikuti pandangan Ian dan selama sejenak segera membatu. Ia menatap Ian dan Faith secara bergiliran, merasa resah ketika tidak menemukan emosi apapun di wajah mereka selain penyesalan dan rasa kecewa.
Faith menjatuhkan gelang kayu yang sengaja dibelinya sebagai hadiah untuk Ian. Merasa sesak ketika melihat bagaimana Ian mencium Hope seakan pria itu berusaha mengunjukkan bahwa Hope milik Ian seutuhnya. Faith seharusnya tidak kecewa, tapi ia sanggup merasakan tangannya yang bergetar dan air matanya yang merebak. Ian hanya berdiri disana, memandangnya dengan putus asa dan selama sesaat Faith merasa bahwa Ian telah menghunjamnya dengan ribuan jarum tajam yang menusuk hingga ke ulu hatinya.
Sebelum isak tangisnya pecah dan Faith hanya akan membuat dirinya terlihat bodoh di hadapan Ian, ia segera berlari meninggalkan mereka. Pergi ke taman hortikulturanya dan berharap ia sanggup meredakan emosinya yang berkecamuk.
Ian mengumpat beberapa detik setelah Faith pergi. Merasa terpukul dan disatu-waktu juga membenci dirinya sendiri. "Sial, apa yang ku lakukan?!"
Ian menatap Hope, menyerahkan kembali botol bir milik wanita itu sebelum berlari menyusul Faith.
Faith tidak mengunci pintu kamarnya sehingga Ian lebih mudah untuk masuk dan menemukan wanita itu sedang berdiri di taman, memunggunginya, menghadap langit gelap sambil bersedekap. Meski tidak menatap wajahnya, Ian sadar sepenuhnya bahwa Faith sedang berusaha menyembunyikan tangisnya dari suara yang bergetar.
"Faith," Ian mendekat, suaranya lembut. Ia berhenti dalam jarak satu meter di belakang Faith. Wanita itu tidak memberi jawaban dan Ian semakin putus asa. "Faith maafkan aku. Semua itu ada di luar kehendakku."
"Bukan kesalahanmu Ian," kata Faith, suaranya bergetar dan disaat yang bersamaan Ian semakin gentar. Mendengar suara Faith bagai mendengar suara hampa dalam masa kelam yang pernah dilewatinya. Masa-masa dimana ia merasa sendiri dan ketakutan. Masa yang membuat Ian tertekan ketika mengingatnya.
Ian membisu seribu bahasa dan Faith masih berdiri disana, tanpa berniat untuk berbalik dan menatap Ian.
"Apa kau membenciku?"
Faith mendengus setelah mendengarnya dan dengan segera mengklarifikasi pertanyaan Ian. "Aku tidak punya alasan untuk itu."
"Faith, kenapa kau tidak menatapku?"
Faith menggeleng, merasakan dadanya semakin sesak dan air mata jatuh membasahi wajahnya. Ia cepat-cepat menyeka genangan air itu dan menghela nafas, berusaha mengendalikan dirinya sendiri.
Faith berharap ia bisa pulang lebih lama sehingga ia tidak perlu merasa sakit hati setelah melihat apa yang baru saja terjadi. Jika ia tidak melihatnya, mungkin semua akan jadi lebih baik. Mungkin, saat ini Faith sedang berbincang dengan Ian, membuat lelaki itu tersenyum dengan hadiah kecil yang dibuat olehnya sepanjang perjalanan ke pesisir, juga Faith berharap dapat menyanyakan pada Ian tentang maksud dari kata yang masih terngiang jelas dalam ingatan 'Te amo. No voy a dejar ir!'
Tapi semua telah terjadi dan siapa yang patut disalahkan? Faith bisa saja merancang waktu yang lebih lama ia habiskan di pantai dan menunda kepulangannya, tapi ia hanya akan menjauhkan dirinya sendiri dari fakta yang ada. Sekarang Faith benar-benar merasakan apa yang dirasakan Ian saat melihatnya b******u dengan Mike. Tetapi Faith semakin heran, Ian tidak pernah mencoba bersikap buruk padanya bahkan dengan mudah lelaki itu memaafkan Faith. Tapi saat ini, yang Faith lakukan justru berbeda. Jangankan menatapnya, berbalik saja Faith merasa enggan.
Bagaimanapun Faith tidak patut menyesali keadaan. Semua yang terjadi adalah bagian dari kesepakatan dalam pernikahan mereka. Ian berhak memperoleh kebebasannya dan demikian juga Faith. Faith harus mengingatkan dirinya, meski rasa kalut sudah tidak bisa dikendalikannya lagi.
"Ian?" Faith menunggu Ian merespons tetapi lelaki itu hanya diam di belakangnya, berharap apapun yang dikatakan Faith adalah hal baik. "Aku harap aku bisa pulang besok," lanjut Faith dan diwaktu yang bersamaan hati Ian mencelos.
Faith benar-benar membencinya. Faith tidak pernah menginginkannya. Fakta itu sudah tidak bisa dihindari lagi.
"Besok. Pagi-pagi sekali. Aku ingin pulang."
Awalnya Ian diam, tapi di menit berikutnya ia angkat bicara, "apa kau benar-benar tersinggung dengan sikapku?"
Faith menggeleng, mempertegas isyaratnya dengan mengatakan. "Sama sekali tidak. Aku ingin pulang, murni karena keinginanku. Aku pikir aku sudah tidak bisa bertahan lebih lama lagi untuk berada jauh dari Dad dan Mom. Mereka segalanya untukku. Aku merindukan mereka."
Selalu alasan yang sama. Ian tidak mungkin menolak dan tidak akan pernah menolak. Ia hanya mengangguk dan mengatakan, "tentu saja. Besok kita akan meninggalkan Memphis."
"Sekarang kau bisa tinggalkan aku sendiri."
Ian berharap dirinya bisa bergegas maju lebih dekat dan merangkul Faith, membisikan kalimat cinta ke telinga wanita itu dan menciumnya. Tapi yang dilakukannya justru melangkah lebih jauh, menghampiri ambang pintu, berbalik untuk menatap Faith sekali lagi sebelum memutar kenop pintu dan pergi dari sana.
Lima detik setelah kepergian Ian, tangis Faith pecah. Kedua tangannya menutupi wajah dan Faith merasa seakan hidupnya baru saja direnggut dari dirinya. Hubungannya dengan Mike telah berakhir dan hubungannya dengan Ian semakin hancur. Tidak ada yang lebih buruk dari kenyataan itu.
***
Ian menuruni undakan kayu dengan tatapan kosong. Ia berhenti pada anak tangga terakhir, tangannya mencengkram erat susuran tangga. Tak jauh disana, Hope berdiri dengan kecemasan yang terlukis jelas di wajahnya. Sekali lagi Ian menatap Hope dan merasa tidak mampu untuk berkata apa-apa.
Menunggu Ian membuat Hope semakin resah dan wanita itu melangkah maju lebih dekat untuk bertanya, "apa semuanya baik-baik saja?"
Terjadi keheningan yang nyaris mencekam dalam beberapa detik terakhir. Ian jengah setelah merasakan bagaimana hatinya remuk atas reaksi Faith. Seakan Faith telah menuruntuhkan segenap dunianya di depan matanya.
Tatapannya yang tak tefokus mulai terarah pada sebuah gelang kayu yang tergeletak tak jauh disana. Ian beranjak hanya untuk meraih gelang tersebut sementara Hope diam memerhatikannya. Setelah merasa semakin resah, Hope berdecak.
"Demi apapun, Kit! Bicaralah!"
Ian meremas gelang itu erat-erat, merasakan segenap perasaan kalut Faith disana dan mendongak pada Hope setelahnya. Ia berusaha menahan emosi ketika bicara, "sudah berakhir... Besok kita akan kembali. Siapkan segalanya."
Pemahaman segera melintas dalam benak Hope seiringan dengan itu.