Mulai Curiga?

1306 Kata
Saraswati, wanita berusia tiga puluh lima tahun ini merupakan istri ke dua Reindra. Wanita yang dikenal Reindra ketika dirinya membeli sebuah televisi layar datar dua tahun yang lalu. Ketika pertemuan itu, Saras melayani Reindra dengan baik dan lemah lembut. Suaranya yang lembut dan parasnya yang cantik, membuat Reindra mengaguminya. Belakangan, ia tahu jika wanita itu adalah seorang janda. Komunikasi diantara mereka pun mulai intens dan hubungan terlarang pun mereka jalani hingga Reindra memutuskan menikahi wanita itu secara diam-diam dua tahun yang lalu. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Wanita cantik yang sudah berusia tiga puluh lima tahun itu masih berada di salah satu toko elektronik terbesar di kota Jakarta. Ia bekerja sebagai sales di sana. Walau usianya tergolong tidak lagi muda, tapi kualitas kerjanya masih saja baik. Penjualannya dari bulan ke bulan selalu bagus dan melampaui target. Beberapa kali atasannya menawarkan pengangkatan jabatan untuk Saras, namun Saras menolak. Ia lebih menikmati dengan karirnya saat ini sebab ia tidak harus dipusingkan dengan anak buah atau tanggung jawab yang berat. Lagi pula, tujuannya bekerja adalah untuk mencari kesibukan. Secara ekonomi, Reindra lebih dari cukup memberikan nafkah lahir kepada wanita itu. Apa lagi Saras belum memiliki anak atau tanggungan apa pun. Ia memang senang bekerja di sana. Banyak yang memuji kecantikan dan kemolekan tubuhnya dan ia suka dengan hal itu. “Mbak Saras, dipanggil sama bos,” ucap salah seorang rekan Saras. “Oiya? Untuk apa?” wanita itu balik bertanya. Sang rekan mengangkat bahu, “Aku juga nggak tahu, Mbak. Tapi sebaiknya mbak temui saja. Oiya, kata si bos, ponsel mak Saras mati ya?” Saras yang baru sadar dengan ponselnya, segera mengambil ponsel itu dari dalam kantong ponsel yang gantungkan di leher. Ternyata tanpa ia sadari ponsel itu memang mati. “Astaga, iya... Pantas saja ponsel ini tidak berdering sedari tadi.” “Makanya, sebaiknya mbak segera temui pak bos.” Saras mengangguk. Wanita itu bangkit dan berjalan menuju meja counter, meminjam charger dan meninggalkan ponselnya di sana. Saras pun kemudian berjalan dengan anggun menuju ruang bos tempatnya bekerja. “Permisi, Pak. Maaf, apa benar bapak memangil saya?” Saras masuk dan kembali menutup pintu itu dengan baik. Sang bos yang berusia sekitar empat puluh tujuh tahun, bertubuh tinggi sedikit gemuk, mengangguk. “Silahkan duduk, Saras,” ucapnya ramah seraya menunjuk ke arah sofa yang memang sudah tersedia di ruangan itu. Saras terlihat bingung. Baru kali ini ketika ia dipanggil oleh bosnya malah disuruh duduk di sofa. Biasanya kalau disuruh ke ruangan bos, ia akan disuruh duduk di kursi tamu yang ada di depan meja bosnya. Tanpa berani bertanya, Saras pun mengangguk dan duduk di salah satu sofa. Rok panjang ketat dengan belahan hingga satu jengkal di atas lutut itu, menampilkan paha mulus Saras yang menggoda. Sang bos pun berjalan mendekati Saras seraya membawa dua kotak minuman dingin. “Bagaimana harimu, menyenangkan?” tanya sang Bos yang biasa mereka panggil dengan sebutan pak Bagus. “Lumayan, Pak. Hari ini seperti biasa, target penjualan tercapai.” “Sudah berapa lama kamu bekerja di sini?” tanya pria yang baru saja menjabat menjadi direktur beberapa bulan lamanya. Ia menggantikan direktur lama yang dipecat karena terlibat kasus penyalah gunaan jabatan dan wewenang. “Lebih dari sepuluh tahun, Pak. Memangnya kenapa?” Saras masih bersikap anggun. “Saya dengar, kinerjamu di sini sangat baik. Tapi mengapa kamu masih betah menjadi SPG? Bukan’kah berkali-kali mendapat tawaran naik jabatan?” Jakun-jakun sang direktur mulai naik turun. Saras bisa merasakan jika tujuannya dipanggil ke sini bukan untuk urusan pekerjaan. Melihat gelagat yang tidak biasa dari atasannya, Saras langsung menurunkan kakinya yang sebelumnya ia silangkan di atas paha. Paha mulus itu pun akhirnya sedikit tertutup oleh posisi duduk Saras yang dibuat sedemikian rupa. “Maaf, Pak. Saya sudah jelaskan alasannya berkali-kali. Saya menikmati pekerjaan saya sebagai SPG. Lagi pula, saya tidak ingin dipusingkan dengan tanggung jawab dan target kerja yang lebih tinggi,” jawab Saras blak-blakan. “Begini, Saras. Saya memang masih baru menjadi direktur di sini, akan tetapi saya memiliki pengaruh penting untuk perusahaan ini. Jadi saya ....” Sang bos mulai duduk mendekat. Saras mulai tidak nyaman. “Ma—maaf, Pak. Sepertinya saya harus segera keluar. Ada pekerjaan yang harus segera saya lakukan.” Saras berusaha menghindar. Ia selama ini memang tidak suka membuat skandal dengan atasannya. Terlalu beresiko menurut Saras. Walau wanita itu tidak pernah membuat skandal dengan atasannya, bukan berarti ia adalah tipe wanita setia. Tidak, Saras bukanlah tipe wanita yang setia begitu saja dengan Reindra walau pria itu sudah mencukupkan segala kebutuhannya. Saras ingin hidupnya bebas tanpa aturan. Diam-diam, wanita itu pun mencari kesenangan di belakang suami yang sudah meikahinya secara siri selama dua tahun lamanya. Saras bangkit dari duduknya, tapi sang bos malah menyambar pergelangan tangannya, membuat wanita itu terjatuh dan terduduk kembali di atas sofa. “Aku tahu kamu itu paling dewasa di sini, jadi aku rasa kamu pasti sudah paham apa maksudnya. Jangan munafik Saras. Aku tahu kamu pasti sudah terbiasa dengan semua ini.” Sang pria yang menjabat sebagai petinggi perusahaan itu mulai bersikap di luar batas. Ia memegangi lengan Saras dengan kuat. “Maaf, Pak. Bukan begini seharusnya anda memperlakukan karyawan anda yang cukup berprestasi di sini. Saya sudah sepuluh tahun lebih di sini dan baru kali ini ada bos yang memperlakukan karyawannya seperti ini,” lirih Saras berusaha melepaskan lengannya dari tangan sang bos baru. “Sombong kamu!” Sang bos semakin memperkeras cengkramannya. “Anda tidak ingin dipecat juga’kan? Jadi tolong lepaskan saya!” gertak Saras. Sang bos melonggarkan cengkramannya, “Aku yang dipecat? Hahaha ... Kamu yang harusnya tidak akan kembali lagi ke sini besok!” “Oiya? Karena apa? Memecat karyawan tanpa sebab, anda bisa kena pasal, Pak. Lagi pula, aku tidak takut dipecat dari sini. Pasti banyak perusahaan lain yang akan menerimaku bekerja lagi.” Seiringan dengan penolakan yang diberikan Saras, pintu ruangan itu diketuk seseorang. Sang bos segera melepaskan pegangannya. Saras meringis merasakan perih di lengan kanannya. Tanpa mengucapkan apa pun, Saras segera pergi meninggalkan ruangan itu. Saras membuka pintu dan ia berpapasan dengan manajer perusahaan, Anto namanya. “Saras, ngapaian di sini?” tanya Anto, lembut. Saras tidak menjawab. Ia berlalu begitu saja dari sana dengan perasaan kesal. Sial! Hampir saja pria itu melecehkan aku. Walau aku hanya SPG biasa, aku juga pilih-pilih kali kalau mau disentuh-sentuh sama siapa. Tampang jelek kayak dia bukan selera aku, gerutu Saras dalam hatinya. Wanita itu kembali ke meja konter dan meminta ponselnya yang baru saja ia isi daya beberapa menit yang lalu. Di tempat berbeda, Reindra benar-benar menjamu Nela. Ia mengajak istrinya makan malam di sebuah restoran mewah di Jakarta. Reindra melakukan semua itu bukan tanpa alasan. Niatnya untuk segera menikahi Ayunda, tentu ada resikonya. Walau untuk sementara pria itu berencana akan menjalani pernikahan rahasia, tapi itu tidak akan lama. Apa lagi jika nanti Ayunda sampai menyimpan benih Reindra dalam rahimnya, tentu Reindra akan mengumumkan pada seluruh dunia mengenai hal itu. Jadi, ia harus mengambil hati Nela yang saat ini menjadi satu-satunya istri sah Reindra. “Mas, kok kamu tumben ngajakin aku makan di sini?” tanya Nela dengan tatapan heran. Entah sudah berapa tahun Reindra tidak pernah lagi mengajaknya makan malam seperti ini. “Mas hanya ingin kamu bahagia agar kamu tidak menggibah orang lain lagi,” seloroh Reindra. “Ah, mas ini bisa saja.” Nela tersipu malu. Wanita itu sesekali melabuhkan pandang ke sekitar, benar-benar suasana yang tenang dan romantis. Reindra pun ikut tersenyum menyaksikan wajah istrinya. Bukan bahagia melihat Nela bahagia, melainkan ia bahagia membayangkan akan menikah dengan wanita pujaannya dan ia membayangkan akan mendapat persetujuan dari Nela seperti Nela akhirnya pasrah dengan pernikahan Reindra bersama Saras. “Mas, kamu kok senyum-senyum begitu? Ada apa? Jangan bilang kalau kamu sedang merencanakan sesuatu lo, Mas.” Reindra tersentak mendengar kalimat yang baru saja keluar dari bibir Nela. Pria itu seketika menyeka dahinya sementara Nela menatapnya dengan curiga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN