Seperti biasa, rumah besar milik Reindra terasa sangat sepi. Hanya ada dirinya berdua dengan Nela di sana. Nela yang merupakan sepupu Rudi—mantan suami Ayunda—yang saat ini sudah berusia tiga puluh sembilan tahun. Wanita yang masih belum bisa memberikan keturunan untuk Reindra.
“Mas, aku dengar gosip. Katanya ada lelaki yang sering menemui Ayunda di rumahnya. Kira-kira kamu tahu nggak siapa orangnya?” ucap Nela di sela-sela makan malam.
Reindra yang tadinya begitu menikmati hidangan makan malam, tiba-tiba tersedak. Pria itu segera mengambil gelas air mineral dan menenggak isinya hingga habis.
“Kamu nggak apa-apa, Mas?” tanya Nela segera memberikan beberapa helai tisu kepada suaminya.
Reindra menerima tisu itu, “Nggak apa-apa, aku hanya tersedak. Lagi pula untuk apa kamu mengurusi Ayunda? Seharusnya sebagai saudara, kamu itu bukan mendengar gosip, tapi ikut membantunya. Bukan’kah ia sekarang harus berjuang sendiri demi ke dua anaknya?” Reindra berusaha bersikap biasa. Ia kembali menikmati makan malamnya seolah tidak terjadi apa-apa.
“Harusnya kamu mengatakan itu bukan kepadaku, Mas. Tapi kepada keluarganya Rudi. Keluarga Rudi saja tidak ada yang peduli, kenapa aku harus peduli?”
“Kalau kamu memang tidak peduli, harusnya kamu juga tidak mengurusinya. Mau dia menerima tamu lelaki kek, wanita kek, apa urusannya sama kamu?”
“Bukan gitu, Mas. Tapi si Ayunda itu’kan masih dalam masa iddah, masa sudah menerima tamu laki-laki saja? Apa jangan-jangan dia sudah dapat pengganti Rudi? Kalau benar, cepat sekali. Atau jangan-jangan dia memang sudah punya pacar ketika masih menikah dengan Rudi? Lalu kekasihnya itu mencelakai Rudi agar ia bisa menikah dengan Ayunda?”
“Hush!! Tutup mulutmu, Nela! Siapa yang mengajarimu berpikir buruk seperti itu tentang orang lain? Jika apa yang kamu katakan itu tidak benar, fitnah namanya. Dunia akhirat Tuhan tidak akan mengampunimu.”
Bibir Nela seketika mengerucut, “Aku’kan hanya menduga, Mas. Lagi pula aku membicarakannya hanya padamu saja, bukan pada orang lain. Oiya, kemarin’kan acara ulang tahun Galang. Aku sempat berpikir, Ayunda kok tidak datang. Padahal Galang’kan sepupunya Eril dan Nabila.”
Reindra hanya diam seraya menatap netra istrinya. Walau ia sudah tahu apa alasannya, tapi Reindra masih berpura-pura tidak tahu apa-apa.
“Kamu tahu nggak apa alasannya mereka nggak datang?”
Reindra menggeleng.
“Ternyata Ayunda memang tidak diundang oleh mas Rian. Aku tidak menyangka ternyata mereka masih tidak menyukai Ayunda. Katanya sih, dulu orang tua dan saudara Rudi tidak setuju dengan Ayunda. Mereka sudah punya calon untuk Rudi. Tapi Rudi tetap bersikeras menikahi Ayunda. Jadinya sekarang gitu’kan, ketika Rudi sudah tiada, mereka pun tidak peduli sama sekali dengan Ayunda dan anak-anaknya.”
“Nela, boleh mas minta sesuatu?”
“Apa, Mas?”
“Kalau kamu tidak bisa membantunya atau tidak berkeinginan membantunya, jangan membicarakan hal buruk tentangnya. Kita tidak tahu bagaimana dia, bagaimana kehidupannya, bagaimana keadaan anak-anaknya, jadi jangan mereka-reka kabar yang tidak jelas.”
“Kenapa kamu begitu membelanya, Mas?”
Reindra yang tadinya begitu menikmati makan malam, tiba-tiba melenting sendok dan garpunya ke atas piring.
“Nela, aku tidak membela siapa-siapa. Aku hanya mengingatkan kamu sebagai istriku. Gara-gara kamu, aku jadi kehilangan selera makan.” Reindra langsung bangkit dari kursinya tanpa menghabiskan makanannya.
“Mas, kamu belum menghabiskan makananmu, Mas.”
“Biarkan! aku akan cari makan di luar saja.”
“Mas, Rei. Mas ....”
Reindra tidak menghiraukan panggilan Nela. Pria itu tetap berlalu dan masuk ke dalam kamarnya. Apa yang sudah diucapkan Nela tentang Ayunda cukup menyakiti hati pria itu. Bagaimana tidak, Reindra sudah begitu tergila-gila pada Ayunda. Pria itu bahkan sudah menyatakan cinta dan sudah meminta Ayunda menjadi istrinya, walau Ayunda sendiri masih belum memberikan jawaban apa-apa.
Reindra segera bersiap. Ia benar-benar ingin mencari makan di luar dan berniat menginap di rumah Saras malam ini.
“Mas, kamu mau ke mana?” langkah kaki Reindra dicegat oleh Nela.
“Aku mau cari makan di luar. Malam ini aku tidak akan pulang.”
“Kamu mau ke mana, Mas. Ke rumah Saras? Bukannya kemarin kamu sudah dari rumah Saras, harusnya malam ini kamu temani aku, Mas.”
“Justru karena aku ingin bersamamu makanya aku tadi pulang lebih awal. Tapi apa? Kamu malah merusah mood dan membuat selera makanku hilang.”
“Mas, aku’kan cuma bahas masalah Ayunda. Kenapa kamu jadi semarah ini sama aku?”
“Bukan perkara Ayundanya, tapi perkara hati kamu yang tidak bisa memilah mana yang baik dan buruk. Lagi pula, apa selama ini Ayunda ada salah sama kamu sehingga kamu menggosipkan dirinya sekejam itu?”
“I—iya, aku ngaku aku salah, Mas. Tapi aku mohon, kamu jangan pergi, Mas. Malam ini aku mau sama kamu.” Nela mendekap suaminya dari belakang. Malam ini ia tidak akan membiarkan Reindra pergi ke rumah istri ke duanya yang sudah ia nikahi selama dua tahun. Tapi sayangnya, Nela baru mengetahui pernikahan itu setahun yang lalu.
Ya, Nela baru tahu jika suaminya menikah lagi secara diam-diam setahun yang lalu. Kala itu tanpa sengaja Reindra lupa menghapus foto mesranya bersama Saras—istri ke dua yang ia nikahi secara siri.
Reindra terpikat dengan Saras karena kemolekan tubuh Saras dan kegarangannya ketika melayani Reindra di ranjang. Hal yang tidak pernah ia dapatkan dari Nela.
Tapi sayang, Saras hanya garang dan panas, tapi tetap tidak mampu memberikan Reindra keturunan. Dua tahun sudah pernikahan mereka tapi rahim wanita itu masih belum juga terisi janin.
“Mas, malam ini kamu sama aku ya? Jujur saja, aku masih belum bisa terima pernikahanmu dengan Saras. Tapi karena kamu sudah bersumpah tidak akan pernah menikahinya secara resmi, aku berusaha menerima. Tapi aku mohon, malam ini sama aku.” Nela merajuk dan memeluk suaminya dengan erat.
Reindra pun luluh. Pria itu menepuk lembut tangan Nela dan membelainya dengan lembut.
“Aku akan antar makan malam ke kamar biar kamu bisa menikmati makan malam kamu dengan tenang di dalam kamar. Aku juga berjanji tidak akan merusak suasana hatimu lagi.” Nela melepaskan pelukannya dan melangkah menghadap Reindra. Kali ini ia kembali mendekap suaminya tapi dari depan.
“Bersiaplah, aku akan mengajakmu makan di luar.”
“Apa? Kamu mengajakku makan di luar? Kamu serius, Mas? Sudah lama kamu tidak mengajakku makan di luar berdua seperti itu.” Nela berubah sumringah.
“Iya, pergilah bersiap. Aku akan menunggumu di sini.”
“Okay, tunggu sebentar. Aku akan segera berganti pakaian.” Nela begitu bersemangat. Wanita itu segera melangkah masuk ke dalam kamar dan mengganti pakaiannya. Ia juga berdandan agar terlihat lebih cantik dan segar.