Episode 3

1171 Kata
Episode 3 #Cinta_Andira Kemelut "Apa kau masih menyukai Rizam nak?" Ibu menatap lembut, tangannya terulur membelai rambutku yang berantakan. Sepeninggal Rizam, ibu mengajukan beberapa pertanyaan yang sulit untuk di jawab. "Kau masih belum bisa memaafkannya?" Kembali ibu bertanya. Aku tetap memilih bungkam. "Andira, bahagia itu kita yang tentukan. Bagaimana kau bisa menemukan kebahagiaanmu jika kau bahkan belum bisa berdamai dengan masa lalu? Tapi ibu juga tidak bisa memaksamu untuk memandang masa lalu sebagai bagian dari takdir, sayang. Ibu juga tidak bisa memintamu mengerti bahwa Rizam bukanlah orang yang membuat ayah meninggal. Rizam hanya perantara, selebihnya semua itu adalah takdir yang kuasa." Air mata kembali membasahi pipi. Ah andai aku tegar seperti ibu, seluas pemikiran beliau, dan sebaik hatinya, tentulah tidak sulit bagiku berdamai dengan masa lalu. "Begini saja, jika bagimu semua ini sulit, lalu coba kondisikan dirimu sebagai Rizam. Apa menurutmu Rizam tidak sedang berada di posisi sulit? Dia juga terluka Dira. Ibu tidak bermaksud membela Rizam. Dia menikah denganmu, murni karena terpaksa. Bahkan dia tidak punya kuasa untuk menolak seperti yang kami berikan padamu. Ibu tidak berani menyalahkannya, semua ini berawal dari kesalahan kami sebagai orang tua kalian." Ibu ikut menangis dengan mata menerawang. "Jika ada orang yang boleh di salahkan, maka orang itu adalah kami, Dira. Kami, orang tua kalian. Kamilah awal dari kehancuran kalian." Aku menggeleng kuat, air mata tak berhenti mengalir di pipi. "Jangan bicara seperti itu ibu. Aku yang salah, aku yang membohongi kalian. Seandainya dulu aku bisa bersikap tegas dan jujur pada ayah dan ibu, semua ini tidak mungkin terjadi. Rizam sudah bersikap benar dengan tidak menyembunyikan hubungannya dan Airin dariku, akulah yang memilih untuk tetap menutupinya." Ibu memeluk tubuhku tanpa suara. Beberapa kali beliau menepuk punggung untuk menyalurkan ketenangan. "Maafkan aku ibu, maaf. Aku bersalah pada kalian. Selama ini aku terus menyalahkan Rizam untuk membuat hati sendiri lebih nyaman. Nyatanya kesalahan itu terus menghantui, aku bahkan malu meminta ampunan dari ibu." Ibu semakin mempererat pelukan. "Ibu juga minta maaf Andira, kami bersalah padamu dan Rizam." Setelah sekian lama, akhirnya hari ini kami bisa menyampaikan isi hati yang sudah bertahun-tahun di pendam. Mungkin sudah saatnya membuka hati untuk saling memaafkan, termasuk memaafkan Rizam. Ya, bukan hanya Rizam yang bersalah. Aku juga mengambil bagian dari kesalahan itu. *** Hari ini, setelah kemarin bicara panjang lebar bersama ibu, aku pergi bekerja dengan perasaan baru. Ya, beban yang selama ini menghimpit hati, terkikis sudah setelah saling memaafkan. Perasaanku juga jadi lebih tenang saat menghirup wangi yang sangat nyaman memenuhi rongga penciuman. Wangi ini? Tidak mungkin dia kan? "Apa sesuatu yang menyenangkan terjadi padamu?" Aku menoleh saat mendengar suara yang cukup familiar terdengar tepat di telinga. "Astaga." Mataku terbelalak sambil mundur beberapa langkah. Sejak kapan dia ada disini? Bukankah dari tadi yang berdiri menunggu lift cuma aku sendiri? Aleo mengerutkan alisnya. "Kau seperti melihat hantu Bu Andira." "Sorry, eh maksud saya maaf pak." Aku gelagapan. Aleo tersenyum ramah. Di sampingnya berdiri seorang laki-laki yang sejak kemarin mengikutinya. Sepertinya laki-laki itu asisten Aleo. Menyadari lift sudah terbuka, aku mempersilahkan mereka masuk lebih dulu. "Mau menemui pak Rizam kan?" Tidak ada yang menyahut. Aku terpaksa menoleh dan menatap ke arah Aleo. "Bapak mau bertemu pak Rizam kan?" Tanyaku lagi. "Iya." Jawabnya singkat. Dasar orang kaya. Kenapa dia tidak menjawab dari tadi? Apa aku harus bertatap muka dengannya dulu baru dia mau menjawab? Tanpa sadar aku menggerutu dalam hati. Wangi ini lagi. Parfum Aleo benar-benar membuat pikiran tenang dan betah berlama-lama di dekatnya. Sangking betahnya, aku bahkan tidak sadar kalau orang itu sudah berdiri tepat di samping. Padahal tadi aku sengaja berdiri lebih jauh dari jangkauannya. "Aku lebih suka berdiri berdampingan dari pada harus berada di belakang, Bu Andira." Aku mengangguk, kemudian menggeleng. Astaga, kenapa jadi salah tingkah begini sih? "Maaf pak, saya tidak bermaksud membelakangi. Lagi pula saya juga berdiri di pojokan, jadi saya tidak menghalangi pandangan bapak." Aleo tertawa. "Kau unik. Sepertinya kau sengaja berdiri di sana untuk menghindar." Aku kembali mengangguk tapi segera buru-buru menggeleng. Tawa Aleo makin keras terdengar. Saat lift terbuka, aku segera keluar menghindari tatapan usil darinya. "Saya duluan pak. Semoga hari bapak menyenangkan." "Kau juga, semoga harimu menyenangkan." Aleo tersenyum. Pintu lift tertutup meninggalkanku yang masih berdiri mematung di sana. Kenapa aku jadi seperti ini sih? Grogi? Tapi untuk apa? Bukankah selama ini aku juga sering berhadapan dengan orang-orang penting dan kaya seperti dia? Apa karena parfumnya? Astaga, apa yang baru saja ku pikirkan? Bagaimana mungkin parfum seseorang bisa membuat grogi setengah mati? Aku menggeleng-gelengkan kepala, mengusir pikiran konyol yang datang entah dari mana. "Bu Andira, ibu sudah di tunggu seseorang di ruangan." Risa membungkuk hormat. "Siapa?" Tanyaku penasaran. "Pak Gerry, Bu." Mendengar nama Gerry, aku langsung tersenyum senang. "Tolong minta OG untuk menyiapkan teh untuk kami ya." "Baik Bu." Sepeninggal Risa, aku langsung menemui Gerry. Laki-laki itu tengah duduk santai saat aku tiba. "Kau lama sekali, aku sampai bosan menunggu kedatangan mu, Dira" Gerry mengerucut bibir seperti anak kecil. "Kau itu laki-laki dewasa Gerry. Berhentilah bersikap kekanak-kanakan seperti itu." Gerry langsung tertawa. "Padahal banyak sekali wanita yang mengatakan aku manis saat melakukannya." Gerry menarik tanganku untuk duduk di sebelahnya. "Jadi apa yang kau lakukan di Jakarta?" Gerry membenahi posisi duduknya menghadap ke arahku sebelum menjawab. "Kebetulan aku punya proyek baru disini." Mataku langsung berbinar. "Wah bagus dong. Kak Andi dan mbak Mia pasti senang." Kak Andi dan mbak Mia sudah setahun lebih menetap di Jakarta. Setelah ayah meninggal, kak Andi pindah kerja ke Jakarta untuk sekalian menjaga ibu. Oh iya, Gerry ini arsitek yang cukup terkenal. Dia bahkan masuk deretan 10 arsitek muda berbakat Indonesia. "Kali ini aku ke Jakarta tanpa mengatakan apapun pada mereka, Andira. Jadi ku mohon jangan lebai dan membocorkan informasi." Aku ingin tertawa, tapi melihat ekspresi serius Gerry, aku mengurungkan niat. Gerry selalu main kucing-kucingan dengan mbak Mia. Pasalnya orang tua Gerry sudah ngebet ingin punya mantu. Nah kalau mbak Mia tau Gerry ada di Jakarta, dia pasti memaksa Gerry kencan buta dengan beberapa wanita pilihannya. "Kau selalu menganggap apa yang terjadi padaku sebagai lelucon Dira, padahal kita jelas-jelas berada di situasi yang sama." Kali ini aku tergelak. "Setidaknya aku pernah menikah, Gerry." Gerry langsung mendorong kepalaku dengan telunjuknya. "Pernikahan yang kandas saja di banggakan." Aku memasang wajah marah dan pura-pura mengancam akan menghubungi mbak Mia. "Coba saja jika kau berani." Mendapat tantangan dari Gerry, aku benar-benar melakukannya. Gerry serta-merta gelagapan dan berusaha merampas ponsel yang ku pegang. Seketika acara rebutan ponsel pun terjadi. Aku yang sengaja menyembunyikan ponsel ke belakang tubuh, membuat Gerry sedikit mendesak untuk mengambilnya. Alhasil kami berdua malah terguling di atas sofa dengan posisiku yang berada di bawahnya. "Gerry tolong menyingkir, kau berat." Aku tidak bisa mendorongnya karena tanganku tertindih tubuhku sendiri. "Tidak mau." Aku mendelik. "Kau bicara apa? Cepat menyingkir atau akan ku tendang aset berharga milikmu." Gerry tersenyum menggoda. Tak lama dia membenahi posisi untuk mengunci pergerakan kakiku. "Kalau sudah seperti ini, kau bisa apa Andira?" Suaranya serak, tepat berbisik di telinga. Ah sial, kenapa dalam keadaan seperti ini Gerry malah terlihat menggoda? Sedang berada dalam posisi yang pasti membuat semua orang salah paham, tiba-tiba pintu ruang kerja terbuka. Aku melirik takut-takut. Setelah tau siapa yang datang, aku langsung bernafas lega. Hanya OG yang datang untuk mengantarkan teh hangat. Eh tapi, tunggu dulu? Kenapa mereka berdua juga ada di sini? Sial. Secepat kilat ku lepaskan kurungan Gerry yang sudah melonggar. "Pak Riz Rizam, pak Aleo." Suaraku terbata. Kesialan macam apa ini? Kenapa mereka harus datang di saat seperti ini? To be Continue...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN