Episode 2
#Cinta_Andira
Menarik dan Tertarik
Setelah rapat usai, kami semua berjabat tangan dengan Aleo. Dia menjadi sosok yang berbeda saat di lingkungan kerja. Dia yang sekarang terlihat jauh lebih dewasa dibanding pagi tadi. Setelah berjabat tangan, aku buru-buru meninggalkan ruang pertemuan.
Karena buru-buru itulah, aku malah meninggalkan ponsel di atas meja. Mau tidak mau aku harus kembali untuk mengambilnya. Beruntung baik Rizam maupun Aleo sudah tidak ada di ruangan itu lagi.
"Hei."
Saat berjalan menuju lift, suara lantang dari arah belakang, mengusik pendengaran. Bukankah itu suara Aleo? Aku berjalan cepat seraya berdoa bukan aku orang yang sedang di panggilnya.
"Hei Bu Andira."
Seketika aku berhenti. Jika dia menyebut nama, aku tidak bisa mengabaikan panggilannya. Aku berbalik dan memasang senyum ramah pada Aleo.
"Ah pak Aleo, ada apa pak?"
Aleo tersenyum tak kalah ramah. "Apa kau masih ingin tau parfum apa yang ku pakai?"
Aku langsung menggeleng. "Tidak pak. Saya tidak yakin bisa membeli parfum yang bapak pakai meskipun saya tau apa namanya."
"Bagaimana jika ku beri secara cuma-cuma?" Dia bertanya sambil tersenyum menggoda.
Aku kembali menggeleng. "Tidak perlu pak. Saya tidak yakin suami saya akan suka."
"Kau yakin?" Dia kembali bertanya.
"Tentu saja pak. Apa yang saya suka, belum tentu disukai oleh suami saya."
Kali ini Aleo tertawa. "Aku tidak bertanya untuk itu Andira."
"Lalu?" Tanyaku bingung.
"Kau yakin kau punya suami?" Aleo tersenyum usil. Astaga, sejak kapan dia tau?
"Anu, itu..." Aku ingin mengelak tapi tak punya kata yang tepat.
"Kau sengaja mengaku punya suami agar aku tidak menggoda mu kan?"
Aku mengangguk kemudian cepat-cepat menggeleng. Aleo langsung tertawa.
"Kau lucu dan menarik Andira."
Saat tangan Aleo ingin menyentuh pucuk kepalaku, aku langsung menghindar.
"Maaf jika kau tidak suka. Aku tidak sadar saat ingin melakukannya. Kau menggemaskan seperti adikku. Melihatmu, aku seperti melihat Alea versi dewasa."
Saat ingin menanggapi, Rizam muncul dari arah belakang Aleo. Ah kenapa dia harus muncul sekarang sih?
"Pak Aleo saya pergi dulu. Sekali lagi selamat bergabung di perusahaan kami."
Aku menjabat tangan Aleo cepat sebelum akhirnya berjalan pergi menyisakan tanda tanya di wajahnya. Itu lebih baik dari pada harus berhadapan dengan Rizam.
***
"Kita harus bicara."
Rizam menghentikan langkahku yang sudah siap masuk ke gedung apartemen. Dengan malas aku menanggapi ucapannya.
"Sejak kapan kau ada disini? Lagi pula apa lagi yang harus kita bicarakan?" Aku berjalan lebih cepat, sengaja meninggalkan Rizam yang masih setia mengekor di belakang.
"Banyak Andira. Terutama tentang sewa rumah yang waktu itu belum sempat kita bahas."
Aku berhenti dan berbalik ke arahnya. "Sudah ku katakan sejak awal, rumah itu rumahmu Rizam. Kau berhak tinggal di sana. Bahkan jika kau ingin, kau bisa menjualnya."
Rizam menggeleng. "Sesuatu yang sudah ku berikan tidak mungkin ku ambil kembali sayang. Jadi ku mohon kita bicarakan masalah ini baik-baik."
Aku tersenyum sinis. "Tolong berhenti memanggilku dengan sebutan itu Rizam. Kau bisa membuat orang lain salah paham."
Rizam mendengus. "Kenapa? Apa karena kau berharap bisa dekat dengan Aleo?"
Aku memilih tak menjawab dan kembali melanjutkan langkah. Saat sudah tiba di apartemen, Rizam mendorong pintu dengan kasar dan memaksa ikut masuk ke dalam.
"Kau mau apa lagi?" Aku berteriak kesal.
"Kamar mandi di rumah kita sudah rusak, airnya juga kotor. Aku boleh numpang mandi kan?"
Kembali laki-laki itu masuk tanpa permisi, meletakkan barang-barangnya, dan menuju kamar mandi. Entah sejak kapan dia mengetahui seluk-beluk apartemenku. Kalau sudah begini, aku bisa apa?
Setelah Rizam masuk ke kamar mandi, ku letakkan semua barangnya di dekat pintu. Aku juga membiarkan pintu rumah tetap terbuka untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan. Yang pasti, setelah dia selesai mandi, aku akan langsung mengusirnya.
Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Rizam keluar juga. Dia sudah terlihat segar walaupun masih menggunakan baju yang sama.
"Apa sekarang kau bisa keluar dari rumahku?"
Rizam memasukkan tangan di saku celananya sebelum berjalan mendekat.
"Kau mengusirku?"
Aku menatapnya tajam. "Iya."
"Kau kejam sekali Andira. Padahal dulu kau adalah istri yang manis dan penurut."
Aku tersenyum mengejek. "Lalu apa kau bisa mengembalikan waktu yang sudah berlalu? Jika kau bisa mengembalikannya, maka kau akan menemukan Andira yang seperti dulu."
Rizam menatap mataku dalam. Aku memilih menghindar dari tatapanya.
"Apa kau benar-benar masih belum bisa memaafkan kesalahanku Dira?" Suara Rizam yang sendu, terdengar menyedihkan di telinga.
"Sudah berkali-kali ku katakan, mudah memaafkan tapi sulit untuk melupakan, Rizam. Menurutmu, bagaimana kau bisa bahagia jika melihat orang yang sudah membuat ayahmu meninggal terus-terusan berada di dekatmu? Apa kau sanggup? Apa kenangan masa lalu tidak akan menghantui mu?" Suaraku tercekat menahan tangis.
Tangan Rizam yang menyentuh bahuku, ku tepis begitu saja.
"Mudah bagimu, tapi sulit untukku Rizam. Jadi ku mohon tetaplah menghilang seperti dua tahun terakhir ini. Atau, jikapun kau tidak mau menghilang, maka bersikaplah seolah kita tidak pernah saling mengenal sebelumnya."
Rizam menggeleng. "Aku tidak bisa Andira. Apapun yang terjadi, kali ini aku tidak akan pernah meninggalkanmu."
Rizam merengkuhku dalam pelukannya. Aku meronta, tapi dia enggan melepaskan.
"Aku sudah sangat tersiksa dua tahun ini karena merindukanmu Andira, jadi ku mohon jangan siksa aku lagi. Kau boleh membenciku asal jangan paksa aku untuk menjauh."
Akhirnya tangisku pecah. Beberapa kali tanganku memukul d**a Rizam. Selama hidup dengannya, aku tidak pernah bisa mengekspresikan perasaanku dengan baik. Hari ini semua kekecewaan dan rasa marah yang sudah bertahun-tahun di pendam, tertumpah sudah. Melebur menjadi tangis yang tak terbendung.
"Aku membencimu Rizam, aku sungguh membencimu."
Rizam tak bersuara tapi dapat ku rasakan pelukannya yang semakin erat.
Aku masih menangis sesenggukan saat mendengar suara yang begitu akrab di telinga memanggil nama kami berdua.
"Rizam? Andira?"
Mendengar suara ibu, sontak aku mendorong Rizam menjauh dan segera menyeka air mata. Ibu menatap kami bergantian.
Aku hanya menunduk, takut jika ibu berpikir kalau kami sering bertemu tanpa mengatakan apapun padanya.
"Sepertinya ada sesuatu yang harus kalian jelaskan kepada ibu."
Ibu masuk ke dalam rumah, aku langsung mengikuti beliau. Rizam pun melakukan hal yang sama. Setelah ibu duduk, aku dan Rizam juga duduk di hadapannya. Entahlah kondisi seperti apa ini. Ibu tidak tersenyum walaupun jelas terlihat kalau beliau juga tidak marah.
"Siapa yang akan menjelaskan pada ibu tentang apa yang baru saja ibu lihat?"
Aku menatap Rizam singkat sebelum menjawab. "Baru-baru ini kami bertemu lagi Bu. Soal Rizam yang ada di rumah ini, dia beralasan mau numpang mandi karena kamar mandi di rumahnya yang dulu kami tempati rusak." Jawabku jujur.
Ibu beralih menatap Rizam.
"Rusak? Lalu kenapa dia malah numpang mandi di sini?" Ibu kembali bertanya.
"Aku yang memaksa Andira, Bu. Dia tidak bersalah." Kali ini Rizam yang menjawab.
"Ibu tidak menyalahkan siapapun, Rizam. Ibu hanya tidak suka melihat Andira menangis. Kau mengerti kan maksud ibu?"
Rizam tidak menjawab. Aku tau sudut kecil hatinya pasti merasa bersalah.
"Ibu tidak tau apa yang tengah terjadi pada kalian, tapi kali ini, jika kau ingin dekat dengan Andira lagi, ibu minta tolong. Tolong buat Andira bahagia, tolong..."
"Kami tidak punya hubungan apa-apa lagi, ibu. Jadi ibu tidak perlu khawatirkan apapun." Aku segera memotong ucapan ibu.
"Terlepas kalian punya hubungan atau tidak, ibu hanya tidak mau kalian saling menyakiti lagi Andira."
Mata tua beliau berkaca-kaca. Aku tau ibu ingin aku bahagia. Aku juga tau, kesendirianku malah semakin membuat ibu khawatir. Tapi aku bisa apa? Haruskah ku katakan padanya aku belum mampu menemukan laki-laki yang bisa menyingkirkan nama Rizam dari hatiku? Ataukah harus ku katakan kalau aku belum bisa melupakan nama Rizam sepenuhnya?
To be Continue...