Episode 4
#Cinta_Andira
Waktu yang salah
"Pak Riz Rizam, pak Aleo."
Aku berdiri mematung. Gerry malah cengar-cengir sambil merapikan rambutnya yang berantakan. Rizam menatap tidak suka, Aleo menatap dengan pandangan tak terbaca. Aku menoleh ke Gerry dan memberi isyarat agar dia segera pulang.
Siapa sangka Gerry malah membawaku dalam pelukan. Tak lama dia berbisik. "Aku berencana untuk tinggal di apartemen mu selama di Jakarta, jadi ku pikir tidak ada salahnya jika kau memberikan password-nya padaku Dira."
"Apa kau gila?" Aku balas berbisik pelan.
"Baiklah jika kau tidak mau, aku tidak akan pergi dari sini dan membuat posisimu semakin sulit." Gerry bersiap melepaskan pelukan.
Sebelum Gerry benar-benar melepaskan pelukan, ku sebutkan beberapa angka yang jelas mudah sekali untuk di ingatnya. Gerry tersenyum senang seraya mengacak rambutku sebelum pamit pergi pada Rizam dan Aleo.
Baiklah Gerry menang untuk saat ini, tapi tunggu saja, aku pasti membalasnya. Sepeninggal Gerry, aku menatap Rizam dan Aleo bergantian. Kedua laki-laki itu masih berdiri di dekat pintu, aura tidak menyenangkan tampak jelas di muka keduanya.
"Silahkan masuk pak." Aku berusaha bersikap normal. Padahal jujur, aku grogi setengah mati.
Rizam masuk diikuti Aleo di belakangnya. "Lain kali jangan perlihatkan pemandangan seperti itu lagi di kantor ini Bu Andira. Anda jelas tau, kantor adalah tempat kerja bukan tempat untuk pacaran."
"Tolong bicarakan saja masalah pekerjaan pak, soal tadi itu hanya kesalahpahaman yang tidak perlu saya jelaskan pada siapapun." Aku sedikit memberi penekanan pada kata kesalahpahaman. Ku harap mereka mengerti kalau kami tidak sedang bermesraan.
"Kesalahpahaman atau bukan, kau jelas-jelas tengah berada di bawah tubuhnya Bu Andira." Rizam kembali menatap tajam. Sungguh aku merasa terpojok.
"Sepertinya saat ini bukan waktu yang tepat untuk bicara masalah pekerjaan. Lagi pula mood ku sudah rusak pak Rizam." Kali ini Aleo yang bicara.
Aku segera menyangga. "Maaf pak saya tidak bermaksud membuat mood bapak jadi rusak. Sungguh, tadi hanya kesalahpahaman. Jika bapak butuh penjelasan, saya bisa menjelaskannya pada bapak."
Rizam menimpali. "Untuk apa pak Aleo harus mendengarkan penjelasan darimu Andira? Apa kau sadar, kau membuat waktu kami terbuang percuma hanya untuk menunggu mu bermesraan."
Aku menggeleng kuat. Itu tidak seperti yang mereka pikirkan. "Aku tau aku salah, tapi bukankah membahas masalah pribadiku malah semakin membuang waktu?"
"Cukup!" Suara Aleo sedikit membentak. Tak lama dia bangkit berdiri.
"Jika kau serius untuk bekerja, maka temui aku setelah jam makan siang di Hotel Paradise."
Aku tidak mengangguk juga tidak menggeleng. Lebih tepatnya dia tidak memberi kesempatan bagiku untuk menjawab. Setelah mengatakan perintah itu, dia pergi begitu saja meninggalkanku dan Rizam yang kini terlihat semakin marah.
"Ku harap kau bisa bersikap profesional. Setelah jam makan siang, temui Aleo di kantornya dan tolong jangan membuat semua kerja keras kami jadi sia-sia."
Rizam berlalu. Aku termangu. Sial. Sebenarnya aku salah apa? Aku tidak pernah membayangkan bahwa bercanda dengan Gerry ternyata bisa berakhir menyeramkan seperti ini. Gerry benar-benar membuatku berada dalam masalah. Tunggu saja, setelah ini, aku tidak akan melepaskan laki-laki menyebalkan itu.
***
Setelah menghirup nafas panjang, aku melangkah masuk ke hotel Paradise tempat dimana Aleo bekerja. Sungguh, semua ini terlihat semakin menyebalkan. Kenapa harus aku? Apa karena aku manajer pemasaran? Tapi bukankah divisi hubungan internasional lebih masuk akal?
"Apa pak Aleo ada?" Tanyaku pada resepsionis.
"Apa ibu sudah punya janji?" Dia balik bertanya.
"Iya. Katakan saja kalau Andira dari perusahaan Nature Kosmetik sudah datang."
Dia mengangguk dan mulai melakukan panggilan. Tak lama dia meminta seseorang untuk mengantarku ke ruangan Aleo. Entah mengapa, semakin jauh lift membawa kami naik, debaran di d**a semakin menjadi. Apalagi saat wanita yang mengantarku tadi memintaku untuk masuk ke sebuah ruangan yang di bagian atas pintunya tertulis satu kata, CEO. Suka atau tidak, aku tetap harus masuk.
"Oh kau datang lebih awal, duduklah." Dia mempersilakan duduk sebelum akhirnya ikut duduk di sofa yang berhadapan.
Setelah melihat meja yang penuh dengan makanan yang belum di sentuh, aku jadi yakin dia belum makan siang. Sial, sepertinya aku datang di waktu yang tidak tepat.
"Bapak belum makan?" Tanyaku takut-takut.
Dia mengangguk. "Tapi makan bisa menunggu, Bu Andira. Kita bicarakan saja dulu masalah pekerjaan."
Aku langsung menggeleng. "Jangan pak. Saya jadi tidak enak. Bagaimana kalau bapak makan dulu? Selama bapak menikmati makan siang, saya bisa melihat-lihat hotel ini."
"Apa kau tidak keberatan?"
Aku kembali menggeleng. "Tentu saja tidak. Sepertinya semua ini memang salah saya. Saya datang terlalu cepat."
"Tapi aku tidak bertanya untuk itu Andira. Lagi pula jangan bersikap terlalu formal. Aku tidak suka."
Aku ternganga. Bukankah bersikap formal jauh lebih baik?
"Lalu bapak bertanya untuk apa?" Aku tetap mempertahankan sikap formal di depan Aleo.
"Aku bertanya, apa kau tidak keberatan menemaniku makan?"
"Eh itu.." Sial, dia menjebak ku.
"Kau sudah menyanggupinya, Andira. Tadi kau bilang kau tidak keberatan." Aleo tersenyum menang.
"Tapi tadi bapak tidak mengatakan..."
"Kau tidak mau?"
Dia memotong pembelaan ku. Aku mengangguk tapi kemudian segera menggeleng. Untuk sementara aku harus menuruti keinginannya, bukankah pekerjaanku akan semakin sulit jika dia tidak menyukai sikapku?
"Baiklah. Tapi saya sudah makan pak, jadi saya tidak sanggup jika harus makan lagi."
Aleo tersenyum. "Begitu juga tidak apa-apa."
Dia mulai mengambil beberapa makanan dan menaruh di piringnya. Gerakan Aleo terlihat begitu berkelas, kentara sekali kalau dia bukan berasal dari keluarga sembarangan. Dia sama sekali tidak bisa dibandingkan denganku yang sembrono dan asal-asalan.
"Kau yakin tidak mau makan? Tubuhmu itu terlalu kurus Dira."
Aku mengangguk. Bukan karena sudah kenyang, aku bahkan belum makan siang karena stres harus berhadapan dengannya. Aku sengaja berbohong untuk menjaga kesopanan.
"Kau benar-benar yakin?" Dia kembali bertanya.
"Iya pak, saya yakin."
Tiba-tiba Aleo berhenti makan. Dia menumpukan kedua tangannya di bawah dagu sembari menatapku lekat.
"Aku sungguh tidak suka sikap formal yang kau tunjukkan Andira. Aku tau kau sudah punya pacar dan dalam tahap yang sedang mesra-mesranya, tapi bukan berarti kita tidak bisa jadi teman kan?"
"Dia bukan pacarku pak..."
"Aleo, just call me Aleo or Al." Aleo kembali memotong pembelaan ku.
"Ok. Baiklah. Kau yang menginginkannya, jadi mulai sekarang persetan dengan formalitas. Karena ini sepertinya penting untuk di jelaskan, maka akan ku jelaskan padamu. Ingat, aku menjelaskannya bukan untuk meminta perhatianmu."
Dia masih di posisi semula. Menumpu tangan di bawah dagu dengan tatapan ingin tau.
"Dia Gerry, seorang arsitek. Dia adik ipar kakakku."
"Gerry? Gerry Maheswari Putra?"
Aku mengangguk dengan kening mengkerut. "Anda kenal? Tapi tadi kenapa kalian bersikap tidak saling kenal?"
"Aku hanya tau tapi tidak kenal, Andira. Setahu ku, disain hotel yang akan segera di bangun oleh ayah dipercayakan pada arsitek bernama Gerry Maheswari Putra."
Aku manggut-manggut mengerti. Jadi proyek yang dimaksud Gerry adalah proyek milik keluarga Aleo. Wah kebetulan sekali. Tapi sayangnya mahluk tidak tau diri itu malah membuat anak pemilik proyeknya jadi bad mood.
"Tadi kami sedang berebut ponsel. Aku mengancam akan memberitahukan perihal kedatangannya ke Jakarta pada mbak Mia dan kak Andi. Nah gara-gara rebutan ponsel itulah posisi kami jadi saling tindih."
Aleo manggut-manggut. Jujur aku tidak mengerti kenapa aku harus menjelaskan masalah pribadiku padanya. Untuk membela Gerry? Atau untuk membela diri sendiri? Entahlah, tidak penting apapun alasannya.
"Oh jadi dia itu adik ipar kakakmu?"
Aku mengangguk.
"Dia laki-laki dewasa?"
Aku mengangguk meski bingung pertanyaan macam apa itu.
"Dia akan tinggal di rumahmu?"
Aku mengangguk tapi segera buru-buru menggeleng. Bagaimana dia tau?
"Oh kau sedang makan? Ah maaf sepertinya kau punya tamu."
Suara lembut yang berasal dari pintu masuk membuatku dan Aleo menoleh secara berbarengan.
"Mama? Tumben mampir kesini." Aleo berdiri, aku juga berdiri. Aleo menghampiri wanita yang dia sebut mamanya tadi, aku tidak mengikuti. Dia mencium kedua pipi mamanya. Mama Aleo menatap ke arahku dengan senyum menggoda.
Ah jangan bilang akan ada kesalahpahaman ke dua hari ini. Aku sudah cukup kesulitan karena salah paham pagi tadi.
***
To be continue...