Episode 1

1049 Kata
Episode 1 #Cinta_Andira Pertemuan Pertama Setelah meninggalkan Rizam di rumah, aku mencari kafe terdekat untuk menikmati sepotong kue dan secangkir kopi. Sesekali aku menoleh ke belakang untuk memastikan kalau Rizam tidak sedang mengikuti. Bukan apa-apa, dari tadi perasaanku tidak enak. Perasaan seperti sedang di ikuti dan diperhatikan. Karena tidak fokus, aku malah menabrak seseorang di pintu masuk. "Eh sorry." Aku mendongak dan mencoba menjauh dari laki-laki yang baru saja ku tabrak. Tapi sialnya beberapa helai rambut malah tersangkut di kancing kemejanya. "Aw sakit." Aku meringis, menarik paksa rambut yang sudah terbelit di kancing kemeja. "Jangan bergerak. Semakin kau memaksa melepaskannya, rambutmu akan semakin kuat tersangkut di kancing kemejaku." Aku mengangguk. Laki-laki itu memberi kode untuk menjauh dari depan pintu kafe. Mungkin kami butuh waktu cukup lama untuk melepaskannya. "Hei rambutmu harum. Siapa namamu?" Laki-laki itu mencairkan suasana yang sejak tadi diam sembari mencoba melepaskan simpul rambutku di kancing kemejanya. "Ku pikir ini bukan waktu yang tepat untuk berkenalan." Dia terkekeh. "Jadi menurutmu kapan waktu yang tepat untuk saling mengenal?" Aku mengabaikan pertanyaannya. "Apa masih lama?" "Masih cukup lama. Tapi jika kau terburu-buru, bagaimana kalau kita minta bantuan pramusaji untuk membawakan gunting?" Aku mendongak. Untuk pertama kalinya pandangan kami bertemu. "Jadi apa yang akan kau gunting? Jahitan kancing kemejamu atau rambutku?" Dia tersenyum sebelum melemparkan pertanyaan kembali. "Menurutmu?" "Yang pasti aku tidak mau rambutku di potong." Setelah menghela napas panjang aku melanjutkan. "Gunting saja kancing kemejamu, nanti akan ku ganti dengan kemeja yang baru." Laki-laki itu kembali tersenyum. Dia manis, dia juga harum. Cukup lama kami hanya saling pandang, sampai pertanyaan menggelikan itu meluncur begitu saja dari mulutku. "Kau menggunakan parfum apa?" Seketika dia tertawa. Sejujurnya aku serius saat menanyakannya. Wangi parfum laki-laki itu sangat enak untuk di hirup berlama-lama. Wangi yang lembut dan memabukkan, terkesan maskulin tapi menawan. Entahlah aku kurang pandai dalam menggambarkan sesuatu yang seperti itu. "Apa ini waktu yang tepat untuk menanyakan parfum apa yang ku pakai?" Aku segera membuang muka, melihat ke arah manapun agar bisa terhindar dari tatapan menggodanya. Tak lama kemudian dia menunduk, berbisik tepat di telinga. "Sepertinya rambutmu menginginkan kita untuk terikat." Sadar jika dia sedang menggombal, aku segera mencari cara jitu untuk menghentikannya. "Sayangnya aku sudah terikat dengan laki-laki lain, aku juga sudah punya seorang anak." Laki-laki itu langsung menegakkan tubuhnya kembali. Tak lama dia tersenyum dan mendorong bahuku menjauh. "Sudah selesai. Untungnya kita tidak perlu menggunting salah satunya nyonya." Sikapnya tetap hangat walaupun sudah terlihat formal dan menjaga sikap. Mungkin dia seperti itu karena aku mengaku sudah punya suami dan anak. "Syukurlah. Ku pikir hari ini aku harus mengeluarkan uang lebih untuk membeli kemeja baru untukmu yang sepertinya tidak murah." Dia hanya tersenyum. "Kalau begitu aku duluan." Aku mengangguk. Ternyata seperti itu cara jitu menyingkirkan laki-laki yang suka merayu seperti dia. Sepeninggal laki-laki itu, aku kembali ke rencana semula untuk menikmati sepotong kue dan secangkir kopi panas. Saat rambutku tertiup angin, masih dapat ku cium wangi parfumnya yang tertinggal di sana. Dia pakai parfum apa ya? Pasti mahal. Aku menggeleng menyadari pertanyaan konyol yang berkelebat di benak. Senyum geli masih tersungging di bibir mengingat pertemuan tak sengaja dengan laki-laki yang luar biasa menggoda seperti dia. *** "Tumben ibu datang terlambat." Risa menghampiriku yang baru saja duduk dengan sebuah map di tangannya. "Ada kecelakaan kecil." Jawabku santai. "Kecelakaan? Ibu tidak terluka kan?" Risa menatap khawatir. "Bukan kecelakaan seperti yang kau pikirkan Risa. Hanya insiden kecil." Risa langsung tersenyum lega. "Ku pikir ibu kecelakaan lalu lintas atau apalah. Oh iya, ibu sudah di tunggu pak Rizam di ruangnya." Aku mengerutkan kening. "Pak Rizam? Ada apa ya? Apa kau tau sesuatu?" Risa menggeleng. "Aku tidak yakin Bu, tapi sepertinya kita kedatangan tamu penting." Aku mengangguk, mengambil berkas yang Risa sodorkan, membacanya dengan teliti sebelum akhirnya membubuhkan tandatangan di sana. "Risa, aku ke ruang pak Rizam dulu. Jika ada yang mencari, kau bisa meminta mereka untuk menunggu." "Baik Bu." Risa mengangguk sebelum akhirnya kembali ke ruang kerjanya. Aku pun bergegas menemui Rizam sesuai instruksi yang sudah di sampaikan Risa. Sesampainya di depan ruang kerja Rizam, aku menghela nafas panjang sebelum akhirnya mengetuk pintu ruang kerja laki-laki menyebalkan itu. Sejak ganti pimpinan, ruang kerja Rizam adalah tempat yang paling tidak ingin ku kunjungi. "Masuk!" Kembali aku menarik nafas dalam-dalam sebelum akhirnya melangkah masuk. Di dalam ruangan, Rizam tidak sendiri. Di sana sudah berkumpul manajer dari setiap divisi, juga... "Kamu?" Spontan kata itu meluncur saat melihat laki-laki yang bertabrakan denganku di kafe pagi tadi duduk di salah satu kursi. Dia tersenyum ramah, tidak tersinggung dengan sikap tak sopan ku barusan. "Bu Andira silahkan duduk lebih dulu." Rizam menyadarkan keterkejutan ku. Sedikit malu, aku duduk di kursi kosong tepat di hadapan laki-laki pagi tadi. Rizam kembali melanjutkan rapat. "Jadi dia ini adalah bapak Aleo Atta Alexandro pemilik beberapa hotel dan pusat perbelanjaan terbesar di Jakarta. Mungkin sebagian dari kalian sudah mengenal pak Aleo. Dia putra Gustian Alexandro, salah satu pemegang saham terbesar di perusahaan kita." Rizam berhenti sejenak sambil mengedarkan pandangannya. Tenggorokanku mendadak kering. Pantas saja kemeja laki-laki itu terlihat mahal, pantas saja parfumnya sangat wangi, pantas saja wajahnya sangat bersih dan terawat. Susah payah aku menelan ludah sambil mata tak lepas menatap wajah Aleo. "Rencananya pak Aleo akan bekerja bersama kita untuk membawa produk kita ke pasar internasional. Tapi tentu saja dia tidak ngantor di sini." Saat mengatakan kata itu, Rizam sengaja menatap ke arahku. Mungkin dia sadar dengan pandangan mataku yang sejak tadi terus memperhatikan Aleo. Merasa di perhatikan Rizam, aku malah mengeluarkan pertanyaan konyol. "Jadi dia ngantor dimana?" Seketika pandangan penuh tanda tanya mengarah padaku. Apa yang salah? Kenapa mereka semua menatapku seperti itu? "Maaf Bu Andira, apa ibu tidak bisa menggunakan kata yang lebih sopan? Akan lebih baik jika sebutan 'dia' diganti dengan pak Aleo." Pak Gunawan, menejer personalia, berbisik mengingatkan. Seketika mukaku bersemu merah. Sial kenapa aku bisa melupakan formalitas seperti itu di waktu penting seperti ini? "Maaf saya tidak bermaksud seperti itu, maksud saya, jadi pak Aleo ini ngantor dimana?" Rizam mendelik. Apa sebaiknya aku tidak perlu meralat pertanyaan konyol itu? Saat mencuri pandang ke arah Aleo, laki-laki itu hanya tersenyum tipis. "Saya ngantornya di salah satu hotel milik ayah. Tapi sesekali saya akan datang ke sini atau pak Rizam akan datang ke kantor saya untuk membicarakan kerja sama lebih lanjut." "Ohh." Aku mendesah kecewa. Eh kenapa aku harus kecewa? Astaga apa yang baru saja ku pikirkan? Saat mataku tak sengaja menatap ke arah Rizam, laki-laki itu melemparkan tatapan tajam. Aku segera menghindari tatapan tak menyenangkan darinya. Rapat kembali di lanjutkan. Kali ini aku memilih mendengarkan apa yang di sampaikan Rizam dengan sebaik-baiknya tanpa mencuri pandang ke arah Aleo lagi. *** To be continue...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN