Episode 5

1199 Kata
Episode 5 #Cinta_Andira Tidak Nyaman Mama Aleo berjalan mendekat. Aku segera mengulurkan tangan seraya menyebutkan nama. "Saya Andira, Bu." "Jangan terlalu kaku Andira, panggil saja saya tante Nola." Beliau tersenyum ramah sambil menyambut salam perkenalan dariku. "Ayo lanjutkan lagi makannya. Mama boleh gabung kan?" Tante Nola menatap putranya. Aku tidak ikut campur, hanya duduk dan memperhatikan kedekatan ibu anak itu. Tak berapa lama, Tante Nola kembali bersuara. "Ngomong-ngomong kalian punya hubungan apa?" Tiba-tiba Aleo tersedak, reflek aku menyodorkan air minum untuknya. Tante Nola tampak khawatir. Beliau menepuk-nepuk punggung Aleo. "Kau ini kenapa sih? Mama kan cuma tanya hubungan kalian?" Aleo masih terbatuk-batuk. Mukanya tampak memerah. Aku ingin tertawa, tapi takut dia tersinggung. Lagi pula kami kan tidak akrab. "Saya rekan kerjanya pak Aleo, Bu." Akhirnya ku putuskan untuk menjawab. "Oh." Tante Nola mendesah kecewa. Mungkin dia sempat berpikir kalau kami punya hubungan lebih. "Tapi kamu belum punya pacar kan?" Tanya Tante Nola lagi dengan muka penuh harap. Aku jadi tidak enak mau menjawab apa. "Dia sudah punya suami ma." Aku mendelik mendengar jawaban Aleo. Raut wajah Tante Nola terlihat semakin kecewa. Situasi macam apa ini? "Ah mama sempat berpikir kalau kalian itu pacaran. Bukankah kau tidak pernah mengajak seseorang makan bersamamu? Makanya mama jadi salah paham. Maaf ya Andira, Tante sudah ingin punya mantu, jadi ya gitu deh." Beliau tertawa kecil. "Tidak apa-apa Bu, tapi kalau boleh saya ralat, saya belum punya suami, lebih tepatnya sudah tidak lagi." Tante Nola tetap tersenyum walaupun jelas terlihat kalau beliau sedikit kecewa. Ah apa status janda itu begitu menakutkan? Padahal, meski janda, aku ini masih perawan. Belum tentu gadis singel di luar sana masih perawan meskipun dia belum pernah menikah. Tanpa sadar aku malah tersenyum sendiri. "Apa ada sesuatu yang lucu?" Pertanyaan Aleo mengembalikan kesadaran ku. "Tidak pak, maaf kalau saya tidak sengaja tersenyum." "Memangnya apa yang membuatmu begitu senang?" Tante Nola tak kalah penasaran dari anaknya. Aku jadi bingung, mau jawab jujur atau tidak. Tapi kalau jujur, nanti dikira aku pamer agar bisa dekat dengan Aleo. Tante Nola dan Aleo masih menatap penasaran. "Itu, aduh kok aku jadi bingung ya mau ngomong apa?" Aku menggaruk tengkuk yang sebenarnya tidak gatal. "Ya sudahlah, kau tidak perlu menjawab apapun. Pokoknya Tante senang karena Aleo punya teman wanita. Jujur, Tante sedikit khawatir kalau-kalau dia ini jadi spesies yang anti wanita." Beliau kembali tertawa kecil. Disebelahnya, Aleo berdehem untuk menghentikan lelucon yang di buat sang mama. Kami membicarakan banyak hal selagi menunggu Aleo selesai makan. Begitu Aleo selesai, Tante Nola segera pamit pulang. Ah akhirnya aku bisa bernafas lega. Beruntung beliau tidak salah paham. "Apa sekarang kita sudah bisa membicarakan masalah pekerjaan pak?" Aku bertanya takut-takut. Kini Aleo sudah duduk kembali di kursi kerjanya. "Menurutmu?" Dia balik bertanya. Aku jadi salah tingkah, apalagi sejak tadi Aleo sama sekali tak melepaskan pandangannya dariku. "Saya sih terserah bapak." Mendengar jawabanku, Aleo malah tertawa. Aku mengerutkan kening, bingung, sebenarnya apa yang lucu? "Baiklah, kalau begitu kita bisa membicarakan masalah pekerjaan di lain hari saja, bersama pak Rizam juga temanku yang akan memasarkan produk kalian ke luar negeri." Dia menjawab santai, tanpa beban, seolah dia tidak melakukan sesuatu yang salah sama sekali. "Jadi kenapa bapak malah meminta saya datang kesini kalau tidak berniat membahas pekerjaan?" Aku sedikit emosi. "Kau marah? Bukankah tadi kau menyerahkan keputusannya padaku?" Aleo tersenyum kecil. Sial, dia menjebak ku lagi. "Sepertinya aku sedang berhadapan dengan orang yang pandai membolak-balikkan kata." Hilang sudah sikap formalitas ku. Dia salah orang jika mau bermain-main. "Kau semakin cantik saat marah, Andira." Aku mencoba tidak terpengaruh. "Benarkah? Mantan suamiku juga sering bicara seperti itu." Kali ini mimik muka Aleo sedikit berubah. "Kau selalu menyebut kata suami untuk mendorongku menjauh. Bagaimana kalau hal itu malam membuatku jadi semakin tertarik?" Aku bangkit berdiri. Aleo bukan lawan main yang mudah. Lebih baik mengalah dan pergi, jika tidak, bisa saja hari ini aku mengacak-acak rambutnya yang rapi. "Kalau bapak sudah selesai bermain-main, saya permisi pulang. Sepertinya saya bukan wanita yang cocok untuk bapak ajak bermain." Aleo menghentikan langkahku yang mulai menjauh. "Kau benar-benar marah?" Aku menepis tangannya. "Maaf kalau saya sudah tidak sopan pada bapak, lain kali bapak bisa rapat bersama pak Rizam tanpa saya." Kali ini aku benar-benar menjauh. Aleo masih setia mengejar. Bahkan dia ikut masuk saat aku sudah di dalam lift untuk turun ke lantai dasar. Sebelum sempat menekan tombol terbawah, Aleo sudah lebih dulu menekan tombol lantai paling atas. "Maaf." Dia berucap singkat. Aku diam, sedikit menjauh dari tubuhnya. Dia terlalu wangi, bahkan wangi ini ingin membuatku bertanya sekali lagi apa nama parfum yang di pakainya. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Sial, kenapa dalam keadaan seperti ini kepalaku masih bisa berpikir konyol? "Aku tidak bermaksud main-main denganmu Andira. Sungguh. Aku hanya terlalu senang bisa menggoda seseorang yang bisa marah dan tersipu dalam waktu yang bersamaan." Aku menatapnya. Sepertinya Aleo bersungguh-sungguh. Tapi aku tidak boleh luluh. Tetap saja dia sedang mempermainkan ku. "Kita bukan teman pak, kita juga baru kenal, saya bukan tipe orang yang mudah akrab..." "Kalau begitu ayo kita jadi teman. Sepertinya berteman denganmu akan sangat menyenangkan." Aleo memotong ucapan ku sambil mengulurkan tangan. Aku tidak bereaksi, hanya menatap. Karena tak ada reaksi, Aleo meraih telapak tanganku dan menggenggamnya. "Namaku Aleo Ata Alexandro." Aku tetap diam, tetap tidak bereaksi. Aleo tampak mulai frustasi. Raut wajahnya terlihat semakin sedih dan menyesal. Saat itulah aku tertawa terbahak-bahak sambil memegang perut. Kali ini aku sukses membuatnya dalam posisi tidak nyaman. Skor satu sama. Dia yang sadar kalau aku tengah main-main, jadi gemas dan mengacak-acak rambutku. "Kau membuatku cemas Andira. Ku pikir kau benar-benar tersinggung dan marah." Aku masih tertawa. Rasanya menyenangkan sekali bisa melihat ekspresi bersalah dari seseorang yang sangat penting seperti Aleo. Sepertinya kami cocok untuk berteman. Dia seperti Wisnu, tampan, kaya, juga baik. *** Setelah kembali ke kantor dan melaporkan hasil pertemuan dengan Aleo, aku segera pamit pulang. Hal pertama yang ku pikirkan saat pulang adalah Gerry. Sengaja ku beli dua porsi makan malam meski tak yakin Gerry ada di apartemen. Aku sih berharapnya dia sudah pergi. Walaupun sekarang kami sudah jadi kerabat, tetap saja aneh kalau harus tinggal bersama. "Kau pulang terlambat Dira. Aku sudah kelaparan karena menunggumu." Harapanku kandas. Gerry langsung menyambut begitu pintu terbuka. "Ku pikir kau sudah pergi." Gerry merebut makan malam yang ku bawa. "Kau tidak berpikir untuk mengusirku kan?" Aku menggeleng. "Apa tidak aneh jika kita tinggal bersama?" "Menurutmu?" Dia balik bertanya sembari menyiapkan perlengkapan makan. "Ah kenapa hari ini aku harus berhadapan dengan orang-orang yang suka sekali membolak-balikkan pertanyaan sih? Apa susahnya memberi pendapat?" Gerry terkekeh. "Menurutku sih tidak aneh. Kecuali kita melakukan hal yang aneh-aneh. Tapi kalau kau benar-benar keberatan, besok pagi-pagi sekali aku akan pindah ke hotel." Hotel? Kenapa dia harus menginap di hotel? Bukankah rumah kak Andi cukup luas untuk menampungnya? Kalau tinggal di hotel, dia harus menghabiskan uang berapa banyak? "Apa tidak sebaiknya kau tinggal di rumah kak Andi? Mereka pasti senang dengan kedatangan mu." Wajah Gerry seketika panik. "Mereka mungkin senang, tapi tidak denganku Dira. Aku bosan dikenalkan dengan wanita-wanita glamor teman mbak Mia. Aku butuh privasi dan konsentrasi, tapi jika kau memang keberatan, aku tidak masalah menginap di hotel." Aku berpikir keras. Apa benar tidak apa-apa jika kami tinggal bersama? Gerry laki-laki dewasa dan aku wanita dewasa, bagaimana kalau kami khilaf? Eh tapi kan kami sudah seperti saudara? Mana mungkin melakukan hal yang tidak-tidak. Bahkan terhadap Rizam yang dulu jelas berstatus sebagai suamiku saja, aku masih bisa jaga diri. "Baiklah, ayo tinggal bersama. Tidak lama kan?" Gerry langsung tersenyum senang. "Hanya 2 bulan." "Dua bulan?" Aku menatap Gerry horor. Yang ditatap hanya cengar-cengir sambil menikmati makan malamnya. To be continue...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN