Episode 6
#Cinta_Andira
What?
Beberapa hari berlalu. Gerry yang notabenenya tinggal denganku nyatanya hampir tiap hari tak pernah pernah pulang ke rumah. Kalaupun pulang, laki-laki itu hanya mengurung diri di kamar. Ternyata dia serius soal mencari ketenangan dan konsentrasi.
Sejauh ini mbak Mia dan kak Andi belum tau Gerry tinggal dimana. Aku juga sengaja berbohong saat mereka menanyakan keberadaan Gerry. Itu ku lakukan dengan pertimbangan Gerry benar-benar butuh privasi dan ketenangan.
"Kau baru pulang?" Gerry mengangkat sedikit wajahnya dari sandaran sofa saat melihatku muncul.
"Tumben jam segini ada di rumah? Biasanya kau pulang sangat larut dan pergi pagi-pagi sekali."
Gerry tersenyum cerah. Tatapannya tak lepas dariku yang sedang meletakkan sepatu di tempatnya.
"Setelah 5 hari lembur, akhirnya hari ini aku dan pihak kontraktor mencapai kesepakatan masalah desain yang sedikit di ubah." Ucapnya bahagia.
Mataku langsung berbinar. "Benarkah? Selamat ya. Aku yakin kau terpilih karena kau memang mampu melakukan tugasmu dengan baik."
Gerry terkekeh. "Itu juga berkatmu Andira. Kau tidak mengganggu, tidak bertanya, juga tidak rewel seperti mbak Mia."
Saat sedang asyik ngobrol, bel apartemen berbunyi. Aku dan Gerry saling pandang. Siapa gerangan orang yang datang? Apa mungkin Rizam? Nyatanya jarang sekali ada yang mampir ke apartemen ini untuk bertamu. Kecuali keluarga dekat yang memang sekali-sekali mengunjungi.
Reflek, Gerry langsung sembunyi ke kamarnya. Astaga sepertinya Gerry benar-benar tidak ingin ada yang tau keberadaannya. Setelah yakin Gerry sudah bersembunyi dengan aman, barulah ku bukakan pintu untuk orang yang memencet bel barusan.
"Paket Mbak."
Keningku berkerut. "Paket? Dari siapa pak?"
"Tidak ada pengirimnya Mbak, tapi disini alamatnya di tujukan ke alamat Mbak Andira." Penjaga apartemen menunjukan alamat paket yang dia pegang.
"Oh benar, sepertinya paket ini memang dikirim untuk saya. Terima kasih pak." Setelah yakin, aku mengambil paketnya dan berterima kasih pada pak Agus, penjaga apartemen.
Masih dalam keadaan bingung, ku letakkan paket berwarna merah maroon tersebut di atas meja. Di lihat dari kotak pembungkusnya, sepertinya paket itu cukup mahal.
"Buka tidak ya?" Aku bermonolog sendiri, ragu antara membuka atau membiarkannya saja.
Gerry keluar dari kamar saat tau tidak ada orang yang datang.
"Apa itu? Kelihatanya mahal." Tanya Gerry setelah duduk.
Aku menggeleng. "Entahlah. Aku tak berani membukanya. Siapa tau paket ini salah alamat."
Gerry meraih paket dan membaca alamat serta orang yang di tuju paket tersebut. "Kenapa takut? Bukankah jelas-jelas ini alamat apartemen mu? Lagi pula di sini jelas tertulis namamu, Andira."
Tanpa persetujuan, Gerry langsung melepas segel kotak tersebut dan membukanya. Ku tatap Gerry yang dengan cekatan membuka kotak. Jujur aku cemas, bagaimana kalau isinya bom waktu?
"Parfum?" Gerry menatap bingung. Saat dia hampir membuka pesan yang terdapat di dalam kotak tersebut, aku langsung merebutnya.
"Ini milikku, pesan ini juga di tujukan untukku. Kenapa kau yang membukanya?" Aku pura-pura marah dan menyembunyikan kotak tersebut.
"Pelit sekali sih? Aku juga bisa membelikan parfum seperti itu untukmu tanpa harus sok-sokan misterius."
Aku tak menanggapi dan memilih meninggalkan Gerry ke kamar. Jangan bilang ini dari Rizam? Atau Aleo? Ah mana mungkin. Segera k*****a pesan yang di tulis dalam kertas berwarna sama dengan kotak tersebut setelah mengunci pintu kamar.
✨Semoga wangi ini akan mengingatkanmu padaku Andira✨
Pesan singkat tanpa nama pengirim. Seperti terhipnotis, segera ku buka tutup botol parfum tersebut dan menghirup wanginya. Astaga, bukankah ini parfum Aleo? Menyadari kalau hadiah ini berasal dari orang yang luar biasa, aku langsung membaca nama parfum tersebut dan mencarinya di mesin pencarian ponsel.
Clive Christian's Imperial Majesty, nama parfum yang ku masukkan dalam mesin pencarian sesuai dengan yang tertera di kertas sertifikat keaslian parfum tersebut. Saat mesin pencarian berhasil menemukan apa yang ku mau, saat itulah ponsel yang ku pegang terlepas dari genggaman.
Tidak, Aleo pasti sudah gila. Astaga, aku harus apa? Itu harga parfum atau harga rumah? Seketika kebingungan mendera saat melihat nominal dari harga parfum yang ukurannya tidak seberapa itu. Bagaimana ini? Sial, aku bahkan tidak punya nomor ponselnya. Aku tidak mungkin menerima hadiah mahal ini, tapi bagaimana caraku mengembalikannya?
***
Setelah semalaman tidak bisa tidur hanya untuk memelototi parfum yang di kirim Aleo, hari ini aku sengaja izin datang terlambat pada Rizam demi mendatangi Aleo di kantornya. Lebih tepatnya di hotel tempat kami bertemu beberapa hari yang lalu.
"Sudah punya janji, Bu?" Resepsionis bertanya ramah.
Aku menggeleng, tak mau berbohong dan menimbulkan kekacauan. "Sampaikan saja kalau Andira dari kantor Nature Kosmetik menunggunya di bawah."
Resepsionis tersebut kembali tersenyum dan mulai melakukan panggilan. Tak lama dia memintaku menunggu di lobby dan menjelaskan kalau Aleo masih dalam perjalanan. Aku menurut dan memilih kursi paling pojok untuk menunggu.
Siapa sangka, AC yang dingin dan mata lelah karena semalaman begadang, malah membuatku jatuh tertidur. Aku terbangun saat seseorang mengguncang bahuku pelan. Saat kesadaran sudah terkumpul, barulah ku sadari siapa yang membangunkan tidurku barusan.
"Rizam? Ah eh maksud saya pak Rizam."
Segera ku ralat ucapan saat sadar Rizam tak berdiri sendirian. Di sebelahnya ada Aleo dan juga asisten pribadinya yang tengah tersenyum jenaka.
"Apa yang kau lakukan disini Andira? Apa ini keperluan keluarga yang kau maksud tadi?"
Aku meringis karena tertangkap basah sudah berbohong pada atasan. "Itu..."
"Aku yang memintanya datang pak Rizam." Aleo memberi alibi.
Rizam menatap kami bergantian. Aku cuma menunduk, tak mau bertatap mata dengannya.
"Jangan salahkan Andira, pak Rizam. Waktu itu kami tidak sempat membahas masalah pekerjaan karena kebetulan saya punya tamu yang tidak bisa saya abaikan."
Kali ini aku mengangguk. Aleo benar, untuk yang satu itu dia tidak berbohong. Rizam masih menatap penuh selidik.
"Andira, setelah urusanmu selesai kita bisa pulang bersama." Tawar Rizam.
Aku mengangguk kemudian segera menggeleng. "Saya bisa naik taksi pak. Saya tidak mau merepotkan."
"Selesaikan saja urusanmu. Aku akan menunggu di parkiran." Rizam berlalu setelah sedikit beramah-tamah pada Aleo.
Sepeninggal Rizam, Aleo mengajakku ke ruang kerjanya. Tanpa basa-basi, aku langsung meletakkan bungkusan yang sejak tadi ku pegang ke atas meja. Dia tampak terkejut dan mengerutkan kening.
"Maaf, saya tidak bisa menerimanya pak." Ucapku lugas, tanpa alih-alih.
"Beri aku alasan, Andira." Dia menatap sambil tersenyum tipis.
"Saya benar-benar tidak bisa menerimanya pak. Parfum bapak terlalu mahal. Bahkan, jika akhirnya saya menerima pemberian bapak, saya yakin saya tidak akan sanggup untuk memakainya. Jadi dari pada mubasir, lebih baik bapak saja yang pakai."
Aleo tersenyum lebar. "Aku tidak berencana mengambil kembali apa yang sudah ku beri, Andira. Juga, berhenti bersikap formal padaku."
Aku menganga. Sial, kenapa di saat seperti ini dia makin terlihat tampan sih?
"Itu.." Belum juga bicara, Aleo sudah memotong ucapan.
"Kau punya dua pilihan, berhenti bersikap formal padaku atau ambil parfum itu jika kau tetap ingin mempertahankan sikap formal mu."
Aku kembali menganga. Bukankah keduanya adalah pilihan sulit? Jika menerima parfum pemberian Aleo maka aku masih bisa mempertahankan sikap formal dan menjaga jarak. Tapi harga parfum itu selangit, apa aku benar-benar bisa menerimanya? Jika menolak, haruskah ku singkirkan sikap formal diantara kami dan mulai berteman dengannya?
"Aku tidak memintamu menjawab sekarang kok. Aku ini orang yang cukup sabar dalam menunggu." Aleo kembali menambahkan.
Setelah menimbang-nimbang akhirnya aku mengalah. "Baiklah jika hanya itu pilihannya, aku tidak bisa menerima pemberian darimu Al. Sungguh, harganya terlalu mahal."
Aleo langsung tersenyum senang. "Terima kasih Andira. Kenapa sulit sekali sih untuk berteman denganmu?"
Aku tersenyum kecut. "Tapi, di lingkungan kantor dan tempat kerja, aku tetap akan bersikap formal padamu. Apalagi di depan pak Rizam. Aku tidak mau di anggap tidak sopan pada kolega."
"Kau bisa melakukan sesukamu Andira, asal jangan lakukan itu di luar masalah pekerjaan."
Aku tak menanggapi. Setelah semua clear, segera ku tinggalkan ruang kerja Aleo. Laki-laki itu tampak senang dengan keputusan yang ku ambil. Tak mengapa kan? Bolehkan jika mulai ku buka peluang untuk dekat dengan laki-laki lain selain kerabat dan teman dekat? Itu bukan sesuatu yang salah kan?
To be continue...