Sudah cukup lama Nayra tidak berkunjung ke rumah ibunya sejak pulang dari bulan madu. Maklum, sepulang dari Bintan, Nayra mendapatkan ibunya yang sibuk mempersiapkan pernikahan Farid dan Tata. Sebenarnya Nayra sudah menawarkan diri untuk ikut terlibat, akan tetapi pihak Tata seakan melarangnya ikut sibuk. Mereka tidak ingin mengganggu kenyamanan Nayra yang baru berbulan madu. Dan kali ini, Guntur mengusulkan untuk berkumpul bersama di rumah Bu Ola dengan mengadakan acara makan malam spesial bersama.
Menu yang diusulkan Guntur adalah seafood. Karenanya, dia meminta Nayra bersama Mbok Min berbelanja ke pasar seafood di kawasan Jakarta Utara.
"Nggak sekalian mampir di rumah ibu, Nay?" tanya Guntur yang masih dengan piyamanya. Sementara Nayra sudah duduk cantik di depan cermin riasnya sedang bersiap-siap pergi berbelanja.
"Menurut kamu?" Nayra balik tanya.
"Nggak usah. Nanti malah lama di sana,"
"Lah, kenapa pake nanya mampir ke rumah ibu segala."
"Kan nanya, Nay…." Guntur memeluk Nayra dari belakang sambil mengusap-usapkan wajahnya ke leher Nayra.
"Yah. Kalo nggak dibolehin tinggal bilang jangan mampir…." Nayra membelai rambut Guntur.
"Udah, Yang. Cuci muka dulu gih. Masih bau iler ah."
Guntur terkekeh.
"Jangan pake lama, Sayang. Masih kepingin nih.…"
"Lha, semalam kan udah."
"Kurang, Nay. Pingin nambah lagi,"
"Duh. Ini juga usul kamu yang kepingin makan kepiting malam ini. Disuruh ikutan belanja malah nggak mau," gerutu Nayra.
Tiba-tiba terdengar pintu kamar diketuk pelan.
Guntur yang enggan melepas pelukannya dari tubuh Nayra, dengan malas melangkah menuju pintu.
"Ih. Papa, ilerannya masih nempel. Maluuu,"
Ternyata Ayu yang mengetuk pintu. Guntur langsung melap-lap sisi bibirnya sekenanya dengan tangannya. Lalu melap tangannya di celana piyamanya.
Ayu tertawa keras melihat tingkah papanya kali ini. "Jorok, Papaaa," tawanya.
"Ada apa?" tanya Guntur.
"Hm. Bilang sama Mama. Ayu ikutan pergi beli kepiting."
"Oh. Ok. Nanti Papa bilang."
"Kira-kira boleh nggak?"
"Iya. Pasti boleh. Udah? Itu aja?"
Ayu terlihat menyerahkan tangannya seperti meminta sesuatu.
"Nanti Papa titip lewat Mama. Dua ratus cukup ya?"
Ayu mengangguk.
***
Nayra sempat ragu mengajak Ayu ikut belanja ke pasar. Dia membayangkan suasana pasar ikan yang becek dan bau. Nayra sempat pula memastikan apakah Ayu benar-benar yakin mampu berada di dalam pasar yang suasananya tidak menyenangkan tersebut, berbeda dengan pasar modern sayuran yang biasa dia kunjungi, lebih rapi, tertib, dan tak berbau. Ayu menyatakan bahwa dia siap dengan itu.
Untuk mendapatkan seafood yang segar, memang harus berjuang melawan bau dan pemandangan yang kurang mengenakkan. Belum lagi percikan air dari lantai bekas ikan dan berbagai seafood lainnya yang pasti meninggalkan bau yang tidak enak. Nayra, Ayu dan Mbok Min sudah siap dengan boot masing-masing, berburu kepiting dan udang galah, pesanan Guntur.
Di luar dugaan, Ayu sangat menikmati keramaian pagi itu di pasar ikan. Dia yang paling semangat memilih udang-udang dan kepiting telur segar. Nayra senang melihat sikap Ayu yang juga ramah kepada penjual. Sehingga penjual yang terpesona dengan kecantikan Ayu, mau menerima harga tawaran dari Ayu.
"Duh. Untung kita bawa Ayu, Nay. Kalo aku yang nawar mungkin sudah diusir abang penjual," ujar Mbok Min ke Nay yang sedang membuka dompet. Nayra senyum-senyum mendengar kata-kata Mbok Min.
"Ada lagi, Mbak?" tanya abang penjual ke Nayra yang menyerahkan uang ke arahnya.
"Segitu aja, Bang. Lain kita ke sini lagi," balas Nayra sopan.
"Adiknya ya, Mbak?" tanya penjual iseng.
"Bukan, Bang. Ini ANAK SAYA.," jawab Nayra sejelas mungkin. Jelas saja si penjual terkaget-kaget mendengar jawaban Nayra. Dia
tidak percaya sama sekali. Tapi akhirnya dia percaya ketika mendengar Ayu merengek mengajak Nayra membeli makanan kecil, Ayu kerap menyebut 'mama' ke Nayra.
"Makasih ya, Bang," ucap Nayra ke abang penjual yang masih terbengong-bengong.
Sudah ada tiga plastik besar yang berada di dalam troli belanjaan Nayra. Kini mereka berjalan menuju sebuah warung yang menjual bakmi pangsit yang diincar Ayu sebelumnya.
Tiba-tiba...
"Lho? Mbok Min? Nayra? Non Ayu? Halaaah. Ke sini juga mainnya. Hahaha," seru Rasti kegirangan. Ternyata Rasti juga sedang berbelanja ikan segar di pasar yang sama. Dia bersama seorang wanita berkerudung setengah baya yang wajahnya cantik perawakan Arab. Wanita itu tampak keheranan dengan sikap Rasti.
"Lha, piye. Kok bisa ketemu. Beli apa, Rasti?" tanya Mbok Min terkaget-kaget. Nayra juga tidak kalah kaget melihat Rasti, pun Ayu.
"Biasa. Mau masak gulai kakap. Hehe ... eh, maaf, Bu. Ini tetangga depan rumah," Rasti sedikit gelagapan dengan sikapnya yang hampir melupakan keberadaan wanita yang berdiri di belakangnya.
Wanita itu tersenyum ke arah Nayra dan Mbok Min, juga Ayu.
"Ini Bu Rema. Mamanya Pak Said," ujar Rasti senyum-senyum. Dia mundur sedikit membiarkan Rema berhadapan dengan Nayra, Mbok Min, dan Ayu.
"Oh. Saya Nayra, Bu. Saya tinggal di depan rumah Pak Said," ucap Nayra ramah. Rema terperangah dengan sikap Nayra yang ramah.
"Ooo. Rumah yang pekarangan depannya penuh bunga-bunga itu ya?" balas Rema bertanya. Tangannya langsung menjabat tangan Nayra erat.
"Iya, Bu."
Mbok Min juga ikut menyambut tangan kanan Rema yang tersodor ke arahnya.
"Saya Mina, Bu. Teman seperjuangan Rasti,"
"Oh. Iya. kita memang nggak pernah bertemu ya?" balas Rema tak kalah ramah. "Lho Ini?" tanyanya heran melihat sosok tinggi Ayu yang diam membisu.
Mbok Min dan Rasti saling pandang. Mereka menahan napas melihat sikap tidak tenang Ayu.
"Ayu, Bu," ujar Ayu pelan. Dia tampak terpaksa menyalami tangan Rema yang tersodor ke arahnya. Pula mencium punggungnya.
Rema tentu terkesima dengan sikap Ayu yang sopan.
"Oh. Ayu ini?" tanya Bu Rema.
"Anak saya, Bu," jawab Nayra cepat. Dia tampak gelisah melihat Ayu yang kurang nyaman. Dia paham, Ayu memang tidak begitu senang berhadapan dengan orang asing yang menyapanya. Apalagi orang asing ini ada pula kaitannya dengan Abang Said.
"Oh," gumam Rema. Matanya kagum melihat penampakan Ayu.
"Mari, Bu. Kita pamit. Kapan-kapan kita jumpa lagi. Ada yang sudah lapar, Bu," ujar Nayra sesopan mungkin sambil menggamit lengan Ayu.
"Oh iya. Monggo. Silakan,"
Bu Rema masih terkesima melihat ketiga perempuan yang berlalu darinya.
***
"Ayu itu kuliah di mana, Rasti?" tanya Rema ke Rasti ketika sudah berada dalam mobil menuju pulang. Sepertinya Rema masih terkesima dengan penampakan Ayu.
"Oh. Belum kuliah, Bu. Masih kelas satu SMA. Katanya Baru masuk tahun ini,"
"O ... kirain udah kuliah. Kira-kira berapa ya umurnya?"
"Sekitar lima atau enam belas tahun kayaknya,"
"Ha? Masa? Bongsor ya? Tak kirain dua puluh tahun,"
"Emang kenapa, Bu?"
"Cakep anaknya. Sopan juga, meski pendiam. Sayang muda banget. Duh, kalo saja perempuan yang dimaksud Said kayak Ayu, tak tunggu sampe anaknya rela dikawinin sama Said."
Rasti terperangah mendengar gumaman Rema. Namun cepat-cepat dia sembunyikan kekagetannya.
"Iya, Bu. Cocok. Pak Said kan ganteng, Ayu juga cantik. Hampir sama juga tingginya. Cocok dibawa ke mana-mana, terutama kalo ada acara kenegaraan," kompor Rasti semangat.
"Halah. Sok tau juga kamu, Rasti. Udah, deketin kek anaknya ke Said ... ntar saya bilang ke Said supaya gaji kamu naik mulai bulan depan,"
Mulut Rasti menganga lebar. Matanya melotot tajam. Ini benar-benar anugrah, batinnya senang. Hari ini akan menjadi awal indah Rasti. "Duh Non Ayuuuu, kamu pembawa rezekiiii," sorak Rasti dalam hati.
Bersambung