Bab 6

1429 Kata
Pagi ini, Raina sudah siap berangkat kesekolah. Demi memenuhi janjinya pada Arman, untuk segera hadir kesekolah jam 8 pagi. Sepatu putih serta celana jeans hitam senada dengan baru kemeja putih polos miliknya membuat penampilan sederhananya terlihat hidup dan berseri, wajah yang natural itu tersenyum lebar didepan cermin. Rambutnya dikucir satu membuat ia terlihat lebih rapi. Raina berjalan mengambil hanphone yang tergeletak di atas ranjang, sebelum akhirnya ia meninggalkan kamar. *** Raina sampai di lapangan sekolah. Tak ada satupun yang Raina jumpai, disitu kosong tak ada satupun orang yang diam atau sekedar duduk. Diapun juga tidak menemui sosok Arman, Raina mulai menyangkal. Apakah Arman mengerjainya? Iris mata cokelat Raina bergerak liar tapi hasilnya sama tak ada yg ia jumpai. "Makasih, udah mau datang, Rain." Jantung Raina hampir copot saat mendengar suara itu, dia memgenali pemilik suara indah itu suara yang setiap katanya menjadi lantunan melody yang indah untuk Raina, sementara detak jantung Raina sendiri menjadi saksi bisu yg melengkapi melody itu. Raina memutar tubuhnya, menatap Arman yang lebih dulu menatapnya dengan tatapan yang sulit di artikan. Tatapan mata yang penuh intimidasi membuat Raina tiba-tiba merasa dikelilingi Euforia. Arman melangkah lagi. Membuat jantung Raina kian berdegup kencang, belum lagi aroma maskulin Arman yang begitu menghipnotis rongga hidung Raina. "Arman?" Arman tersenyum simpul, ia bisa melihat kegugupan dari mata milik Raina, mata itu sangat berbinar membuat Arman mampu menemukan cinta lagi, cinta yang jauh lebih tulus, cinta seorang gadis kecil yang centil sedikit arogan tapi mampu membuat Arman merindu. Arman mendekatkan bibirnya di telinga Raina, membisikan sesuatu. "Mau tau? Sesuatu yang aku maksud itu, Rain?" Hembusan nafas hangat keluar dari mulut Arman bisa terasa jelas di telinga Raina. Seperti memicu adrenalinenya, Raina mengigit sedikit bibir bawahnya untuk menghilangkan kegugupan. "Apa itu?" Tanya Raina sedikit ragu. Ragu akan sebuah kepastian, ragu akan pertanyaan yang belum mendapatkan jawaban yang real. "Aku sengaja bawa kamu kesini. Di sekolah ini. Agar nanti kamu bisa kenang selamanya." Raina yang masih belum mengerti, memilih diam. Membiarkan Arman untuk berbicara, sebisa mungkin Raina harus menghilangkan sejenak sifat alaynya. "Dengan sengaja aku milih moment yang sepi. Karna sebenernya cinta itu nggak butuh keramaian, nggak butuh sorakan saat melihat dua pasangan. Kamu mau tau? Kenapa aku mau nembak kamu disini?" Mulut Raina terbuka lebar, mendengar pengakuan Arman barusan berhasil melorotkan jantungnya, darahnya berdesir sampai ubun-ubun, bukan karena marah melainkan karena terlalu kaget dengan ucapan Arman. "Please.. Jangan teriak dulu. Biarin aku ngomong." Raina mengangguk, mulutnya tertutup tanpa diminta seolah kedua organ itu sangat kontradiktif dengan ucapan Arman. "Alasan aku ngajak kamu kesini, karna aku mau kamu jadi pacar aku, dan kalau kamu tanya kenapa aku lakuin di sekolah dan pas hari minggu, itu biar kamu selalu inget kisah kita di sekolah, di hari minggu yang katanya sebagai hari terakhir dalam 7 nama hari. Aku mau kamu juga jadi yg terakhir. Dan moment di sekolah yang nggak akan bisa kamu lupain karena cuman kita berdua yang ada disini. Cuman kita yang akan ingat bagaimana proses hubungan kita terjalin." Raina benar-benar tidak menyangka, khayalannya tadi malam bisa menjadi kenyataan. "Aku mau." jawab Raina antusias. Arman menggulum senyuman. Gemuletuk gigi Arman terdengar nyeri, Arman gemas dengan ekapresi yang dipancarkan pacar barunya. "Tapi, kamu mau ikutin satu tantangan aku?" "Tantangan? Tantangan apa itu?" "Kita bikin cara berpacaran yang beda. Kalau pada umumnya setiap pasangan selalu berkomunikasi lewat telfon ataupun sms, BBM, w******p dan segala macamnya, kita jangan pakai cara itu." Raina tercenung, kurang paham dengan maksud Arman. Ide gila apa yang bersemayam dalan benak Arman. Yang bener saja? Gimana kalau Raina rindu? "Apa? Maksud kamu?" tanya Raina sedikit berteriak, suaranya naik 2 oktaf. "Dengerin dulu." sela Arman cepat. "Aku lakuin itu biar kita sama-sama kangen setiap waktu. Kamu tau? Kebanyakan para pasangan di luar sana pasti lumrahnya berantem soal pesan nggak dibalas atau telfon gak diangkat kan?" Raina mengangguk. "Jadi aku nggak mau, itu juga terjadi sama kita. Aku mau kalau aku kangen aku dateng nemuin kamu. Dan kita menyimpan hati yang selalu merindu dan nggak sabar menunggu waktu selanjutnya untuk ketemu." Raina menggulum senyumnya. Tantangan paling konyol sekaligus paling romantis yang pernah Raina denger. Ini di luar dugaan, ternyata sosok Arman sangat jauh lebih romantis dari pada yang dibayangkan Raina. Di tengah lapangan basket yang sunyi itu Arman dan Raina berpelukan mesra, mentransferkan partikel-partikel kenyamanan. "Aku akan rubah sifat alay kamu." "Kamu nggak suka?" Raina melepas pelukannya. "Bukan, kamu jangan tersinggung. Aku gak masalah gimanapun kamu. Tapi aku gak suka aja, kamu di rendahin" "Tenang. Aku gak masalah, kan ada kamu" Raina kembali tersenyum, ia terlalu bahagia. Bahkan dia sendiri tidak sadar sejak awal Arman sudah merubah cara bicaranya pada Raina. *** "Serius lo udah jadian sama itu makhluk astral? Rain, lo lagi mimpi atau gimana sih?" Rafa mengguncang bahu Raina kuat. Membuat Raina yang meminun air putih baru habis setengah langsung terbatuk. Entah karena kaget dengan teriakan Rafa atau memang guncangan Rafa yang terlalu biadab, yang jelas ini sangat memicu rasa kesal dalam hati Raina. "Heh! Setan. Lo terang-terangan mau bunuh gua ha?" "Bunuh gimane sih? Ini itu mananya Peduli kasih Raina. Gua peduli sama elo sahabat gua yang setengah b**o, setengah bodo, pintarnya seperempat!" "Lo peduli kasih apa peduli setan?" Rafa geram, sepertinya Raina memang harus di Ruqiyah. Mungkin saja Raina yang selama ini banyak bacot sudah ketempelan sejak lama. "Lo sebangsa setan? Nyok ruqiyah keluar lo dari tubuh sahabat gua!" Raina menarik nafas dan menbuang pelan, ia mulai menetralisirkan amarahnya, ini harus dibicarakan baik-baik. Rafa memang beda dari Kevin setidaknya otak kevin lebih bebar dari pada otak Rafa meski dalam kadarnya Rafa memiliki nilai satu tingkat diatas Kevin. "Okey. Rafa plis, lo kapan sih bisa diajak serius? Iya gua udah jadian sama Arman. Gua nggak mengada-ada. Tapi inituh Fakta, realiti banget. Jadi plis, lo tolong ngertiin gua. Gua tau lo pedili sama gua, tapi peduli lo itu seolah-olah gua laya orang b**o Raf." "Jadi lo seirus jadian sama cowok sok ganteng itu?" "Kan emang ia dia ganteng." Raina kini berbalik menatap Rafa dengan tatapan menantang. "Ya oke. Terserah lo. Tapi gua bener-bener khawatir deh ntar lu disakitin." "Dia gak seburuk yang lo bayangin.'' Rafa mengalah. Percuma ia melawan pada akhirnyapun Rainalah pemenangnya. "Kevin nggak kesini, Raf?" "Nggak. Dia lagi bermasalah sama pencernaanya. 33 kali bolak bakik wc. Katanya sih minun jamu." "Jamu apaan? Kok bisa segitunya? Gimana rasanya tuh" Rafa mengangkat kedua bahunya sebagai jawaban kalau dia tidak mengerahui jenis jamu yang diminun sahabatnya itu. "Tapi si Salsa tau gak? Lo pacaran Sama si.. Arman" nada suara Rafa sedekit berubah dalam kata terakhir, seolah bener-benar enggan menyebutkan nama lelaki itu. "Ya, nggak tau sih. Tapi sih bodo amat. Yang jelas kan Arman pacaran sama gua. Besok gua mau berangkat bareng sama Arman, awas lo besok ganggu gua." "Ck.. Songong amat lu! Baru juga jadian belun sehari. Gaya lo lebay banget. Lama lama si Arman jijik sama lo." Hidung Raina kempang kempis, Rafa benar-benar sangat menyebalkan. Amarahnya mulai neggebu-begu, darahnya bener-bebar sudah mendidih hebat, Rafa harus menerima risikonya. "Sekali lagi lo bikin gua emosi, gua beberin rahasia lo yang sama Kevin itu mau lo?" ancam Raina, telak ancaman itupun ampuh. Berhasil merubah ekspresi songong Rafa menjadi panik. "Lo gak asik ah, bawa-bawa rahasia gua sama Kevin. Kan gua nggak sengaja kaya gitu." Raina menarik bibir atasnya, memaksa otaknya secara otomatis mengingat kejadian itu, bener-bener di luar dugaan. Bagaimana bisa dua lelaki itu berciuman?. "Lagian itu juga gara-gara si Kevin sih. Bawa-bawa buku mitos tentang setan, terpaksa deh gua sama dia harus ciuman." "Makanya... Jadi orang itu gak usah berbaur sama hal mistis, kalau lo nggak paham mending lo gak usah ikutin hal aneh itu, lo mau diikutin setiap waktu?" Pertanyaan Raina seolah menghantan badan Rafa. Mendadak suasana menjadi berbeda, hawa dingin bulu kuduk Rafa pun merinding. Bersamaan dengan itu, Rafa mendengar pecahan gelas di falam dapur Raina, membuat Rafa terlonjak bersembunyi di nalik tubuh Raina. "Tuhkan.. Elo sih Rain. Bunyi apaan lagi coba?" "Mampus lu! Udah gua mau masuk kamar, mending lu pulang" "Tega amat lu ngusir gua malam-malam gini Rain, gua ikut ya ke kamar lo?" "Eh! Lo gila Raf? Bisa-bisa lo digantung sama bokap gua! Kalau nyokap, bokap gua pulang liat gua tidur sekamar sama lo! bisa dibantai lo idup-idup." Raina melocos pergi, meninggalkan Rafa yang membeku dengan ekspresi takutnya, keringat dinginnya bercucuran matanya liar bergerak kesana kemari, tak ingin melihat mahkluk lahus, lelaki itu berlari membanting tubuhnya diatas sofa. Meringkuk ketakuan dalam keadaan tubuh menelungkup. *** BERSAMBUNG
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN