Raina sampai dirumah, dia merepet tidak jelas saat memasuki ruang tengah, diatas sofa terlihat kedua orang tuanya yang menatap Raina penuh anapati. Tidak biasanya anak gadisnya berubah arogan seperti itu, mengupat dan sumpah serapah keluar secara tidak kentara dari bibirnya.
"Kenapa lagi anak itu, bu" Rudi mengangkat setengah wajahnya mengarah pada putrinya, Tania yang sama sekali tidak mengerti hanya berseliut mengangkat bahunya heran
"Nggak tau, yah. Ngga biasanya dia kaya gitu"
Didalam kamar Raina menyimpan kekesalan pada Rafa. Sepertinya hati dan otaknya tidak kontradiktif jika tidak menuruti akal sehatnya pasti Raina sudah akan menendang Rafa sampai planet ploto. Raina banting tubuh mungilnya diatas ranjang bermotif putih polos miliknya, Raina menenggelamkan wajahnya, berteriak sekuatnya dengan kedua kaki yang telah dihentak-hentakan terlebih dahulu. Merasa puas dengan tindakan gilanya, Raina kembali merubah posisinya telentang menatap langit-langit kamarnya yang menganggantung beberapa lipatan burung kertas. Raina kembali merenggek, kesal. Hidungnya kempang kempis ingin berteriak memangis, tapi ia malu jika diketahui orang tuanya.
''Ini itu semua gara-gara lo, Raf. Coba aja tadi lo gak ganggu gua. Pasti gua udah jadian sama Arman. Karna gua yakin, tadi dia mau nembak gua. Tapi lo datang dengan wajah tak berdosa lo dan gagalin tindakan Arman yg mau nembak gua. Coba aja lo kasih Arman celah kek tadi. Pasti besok gua bisa pamerin ke Salsa kalau gua udah pacaran sama Arman, tapi.. Tapi... Lo malah gagalin" bibir Raina mengerut selanjutnya terdengar tangis mananja menggelegar didalam kamarnya. Garis kegelisahan kembali terpahat jelas dari wajah Raina, takut-takut Arman bosan dengan Raina karena kehadiran sahabatnya yang selalu datang dan bersikap seolah mengintimidasi Arman.
"Raina, kamu baik-baik aja kan?" Raina mengalihkan pandangannya kelawang pintu yang tertutup rapat, disana, dibalik pintu Tania mengetuk pintu kamar Raina berkali-kali sebenarnya Raina ingin menceritakan kisah cintanya pada Tania, tapi Raina terlanjur malu karena Arman belum berstatuskan sebagai pacarnya.
"Raina gak apa-apa, ibu. Ibu gak tau anak muda aja" Raina sedikit berteriak. Alih-alih membuka pintu kamarnya, Raina malas untuk bergerak apalagi berjalan dan mempersilahkan ibunya masuk.
"Kamu patah hati? Karna siapa? Karna cowo?" Tania yang kepo terus mengeluarkan kata-kata yang bisa memancing Raina untuk bercerita, tanpa , Raina tahu dibalik pintu, ibunya tertawa cecikikikan mengerahui anak gadisnya bisa patah hati.
"Ihhh , iyalah , bu. Karna cowo, masa karna cewe"
"Jadi kamu pacaran?!"
Raina memicingkan matanya, mengigit bibirnya pelan, bisa-bisanya lidah itu melocos begitu saja. Raina merutuki dirinya sendiri, bagaimana bisa ia mengatakan hal itu. Raina capai memukul pelan keningnya dengan tiga jarinya.
"Duhh, ibu kepp deh. Nanya-nanya"
"Loh? "
"Udah ahk, ibu tinggalin aku sendiri. Aku gak mau buka pintu"
***
Raina duduk dipinggir lapangang basket. Sedari tadi iris mata cokelatnya terus menangkap setiap gerak gerik yang Arman lakukan. Mulai dari berlari sambil memantul-mantulkan bola kelantai, menggiringnya menuju ring hingga akhirnya bola orange itu sukses dengan mulus masuk kedalam ring, saat itu juga telinga Raina juga mampu menangkap sorak-sorak gadis Alay memanggil-manggil nama Arman. Tak hanya itu mata Raina juga mampu menangkap salah satu peserta tang merebut paksa bola itu dari Arman dan membawanya berlari, tidak seperti pemain yang lain memantul-mantulkan benda itu, ia malah melocos lari dan melempar bola ke ring begitu saja, tentu ini hal yang konyol menimbulkan tawa heboh yang mengisi suasana riuh dilapangan.
Tiga puluh menit berlangsungnya permainan Arman. Kini ia melangkah mendekati Raina yang tersenyum manis menatapnya, masih ditempat yang sama. Tangan Arman terulur meminta Raina ikut untuk dengannya.
"Aku punya kejutan untuk kamu, Rain"
"Kejutan?" kedua alis mata Raina mengerut. "Okey" jawab Raina pada akhirnya.
Sorotan mata kini tertuju pada Raina dan Arman. Sebenarnya Raina panik, tapi Raina berusaha tenang, yang ia pancarkan diwajahnya hanya ketenangan, jika Raina bersorak, Raina takut Arman menjadi Ilfeel.
Kini mereka sudah berada di tengah lapangan, tiba-tiba Arman berjongkok membuat Raina terkejut, Raina menelan ludahnya yang dirasa menjadi benda padat serta merasakan jantungnya berdetak tak karuan serasa ingin melompat keluar dari dalam tempatnya.
"Rain, gua tau. Gua bukan cowo yang romantis. Tapi gua mau langsung to the point aja. Lo mau jadi cewe gua?"
Mulut Raina terbuka Lebar membentuk huruf kapital 'O'. Ucapan Arman barusan berhasil melorotkan jantung Raina hingga keperut, tiba-tiba Raina merasakan dikelilingi Euforia, tubuhnyapun nyaris terasa disengat aluran listrik ratusan volt.
Raina, tidak sedang bermimpi kan?
"Rain, lo mau jadi cwe gua?"
"Iya gua mau, gua mau" jawab Raina penuh anipati, Raina tidak bisa mendedikasikan lagi bagaimana perasaan bahagianya saat ini, seolah memicu adrenaline-nya, Raina meneluk Arman bahagia begitupun Arman membalas pelulan sayang dari Raina.
"I Love You" bisik Arman pelan semakin membuat perut Raina geli. Telak kedua tangan ,Raina merangkul erat tubuh Arman.
Raina berdecak, tersadar dari lamunan gilanya, kadang Raina terkekeh pelan tertawa sendiri, Arman benar-benar telah merusak akal sehat Raina, dia harus bertanggung jawab.
"Arman, Arman, Arman, Arman, Arman" Berulang kali Raina membolak balikan tubuhnya kekiri dan kekanan, terus memanggil nama Arman dengan geli.
"Hahaha, gua gila. Lo harus tanggung jawab, Arman. Lo harus tembak gua. Kalau nggak ntar gua kirim tuyul buat curi hati lo" Raina beranjak dari ranjangnya, berdiri tegap di depan cermin.
"Rain, lo nggak jelek-jelek amat kok. Lo malahan cantik banget. Jadi Arman nggak akan malu kok punya cwe kaya lo. Hihi terus liat wajah lo berseri banget dan sepertinya lo..." Raina menggantungkan ucapannya, menunjuk pantulan tubuhnya yang tergambar didepan cermin "gila kali ya?! Ngomong sendiri didepan cermin" Raina berdecak, berjalan keluar kamar. Raina menuruni satu persatu anak tangga saat sampai dibawah hidung Raina bisa menghirup aroma wangi masakan dari dapur, membuat cacing-cacing dioerut Raina berdemo meminta makanan. Saat sampai didapur Raina hanya melihat sosok bi Atik yang memasak diatas kompor.
Bi Atik yang merasalan kehadiran Raina berbalik menatap Raina sejenak.
"Eh non , Raina. Kok masuk kesini non?"
"Bibik sendiri? Ibu mana, bik? Kan biasanya ibu ikut masak" Raina mengambil air dingin dari dalam kulkas, menyisikan air itu kedalam gelas kecil menegukknya sejenak membasahi tenggorokannya yang kering.
"Nyonya sama tuan lagi keluar, Non. Katanya ada urusan, tapi nggak lama kok"
Raina hanya mengangguk mengerti.
"Oh iya bibik masak apa?"
"Ini bibik nggak tau namanya non, tapi ini bibik dapet resep dari temen bibik katanya ini masakan orang cina. Ini itu bawang putih yg dihalusin banyak-banyak, terus ini kacang panjang yang udah dipotong-potong nah ditumis deh nanti akhirnya masukin telor tapi di aduk aduk sampe ancur, non"
Raina memgintip kedalam kuali, bau wangi itu semakin tercium. Raina yakin masakan yg dimaksud bibiknya itu pasti enak, terbukti dari wangi baunya saja sudah menggiurkan
Satu menit berlangsung suara Rington hanphone Raina berdering nyaring, cepat-cepat Raina merogoh sakunya. Ia menslide layar hanphonenya dan disana tertera panggilan masuk dari Arman.
Raina menangkup dadanya, baru beberapa menit yang lalu Raina membayangkan Armam, sekarang laki-laki itu benar-benar menghubunginya. Raina melocoa begitu saja meninggalkan bi Atik.
'Hallo, Arman?'
'Aku ganggu?'
'Enggak kok ,man . nggak banget malah' Raina yang kegirangan sampai mengigit jarinya sendiri setidaknya tindakan itu berhasil menghilangkan rasa ingin berteriak dari dalam hatinya
'Oh.. Okey'
Mulut Raina terbuka, tidak adalah kalimat tolot selain itu?
'Mmm.. Ada apa ya, Man?'
'Nggak. Besok libur kan? Tapi lo mau kan dateng kesekolah?'
'Loh ngapain? Kan libur masa ia harus kesekolah?'
'Udah lo dateng aja, jawabannya besok'
'Tapi...kan..' suara Raina terhenti saat Arman memutuskan sambungan telfon secara sepihak, Raina sendiri belum bisa berbicara banyak tapi laki-laki itu sudah mengakhiri komunikasi mereka. Pernyataan Arman mampu menyisikan banyak misteri yang belum bisa Raina pecahkan.
"Dasar ! Untung lo ganteng, Arman. Kalau enggak udah gua bikin bonyok muka lo." Tiba tiba Raina drop out. Mood nya down hancur berantakan dikarenakan seorang Arman.
Diatas sofa Raina mulai merepet tidak jelas, memang risiko dari seorang yang sedang jatuh cinta, akan merasa perasaan yang menggebu-gebu.
Dilawang pintu Rudi dan Tanpa berdiri memandang Raina yang dudik diatas sofa, anak gadisnya itu tidak bisa diam, Tania mulai keheranan 'separah itulah tingkah Raina saat jatuh cinta?'
---
Bersambung