Bab 7

1993 Kata
Kilau emas sang raja siang mulai menyapa bumi, suara kicauan burung yang merdu kini sayup-sayup mulai hilang, digantikan dengan derum mesin kendaraan yang berlomba, menyatakan bahwa kehidupan dibumi sudah dimulai. Arman sudah berada di depan rumah Raina, lelaki itu menepati janjinya. Dia akan terus mengantar jemput Raina, sebagai ganti atas tantangan konyolnya kemarin. Rumah Raina tampak sepi, Arman memang sudah mengetahui ini dari, Raina. Kedua orang tuanya sama-sama sibuk di Dunia bisnis, Ayah Raina seorang pengusaha yang sukses di bidangnya, sementara Ibunya adalah Desainer terkemuka dengan galerinya yang sudah berkembang luas, bahkan hasil goresan tangan Tania sudah dikenal di berbagai negara luar. Arman mulai mengerti, ternyata di balik sifat Raina yang ia kenal ceria menyimpan keinginan dari seorang sosok yang haus akan kasih sayang. Pantas saja Dia mengejar Arman dengan penuh ambisi, itu semua pasti untuk mengisi hari kosong Raina jika orang tuanya sudah kembali sibuk. Arman mengerti, bahkan ia pun merasakan hal yang sama, terlebih ibu Arman yang berprofrsi sebagai dokter yang harus siap 24 jam jika tenaganya dibutuhkan. "Arman." Raina sudah berdiri dilawang pintu, matanya menangkap sosok Arman yang berdiri membelakanginya, embusan angin membawa aroma maskilin tubuh Arman masuk kedalam rongga hidungnya. Berhasil membangunkan detak jantung Raina kembali. "Udah siap?" "Kangen.." bukannya menjawab pertanyaan Arman, Raina justru mengungkapkan isi hatinya. Arman menggulum senyum, Arman pun merasakan hal yang sama. "Juga." Arman sedikit tertawa. "Kamu cantik." puji Arman, Raina merasa dikelilingi kupu-kupu. ini untuk pertama kalinya Raina mendapatkan ungkapan itu dari Arman. Meskipun banyak mengatakan Hal yang sama, tapi hanya mulut Arman yang mampu melayangkan tubuh Raina. "Makasih, pacar." "Sama-sama pacar." balas Arman konyol , mendadak keduanya menjadi salah tingkah. Status 'pacar' mungkin kini membuat mereka sedikit canggung, terlebih Raina. Dia benar-benar tidak bisa mengkondisikan jantungnya saat bertatapan langsung seperti ini. Sekarang keduanya sudah berada diatas motor, tangan Arman meraih tangan putih Raina, agar tangan itu melingkar di perut Arman. Raina menopang dagu runcignya di bahu Arman, menenggelamkan wajahnya di tengkuk lelaki itu, memghirup aroma khas tubuhnya. Ini untuk pertama kalinya Raina melakulan hal ini. Detik selanjutnya, motor Arman telah meleset meninggalkan perkarangan rumah Raina yang luas, di atas motor keduanya bisa merasakan sengatan hangat matahari pagi menyegarkan kulit mereka. *** Di dalam kelas, Salsa tercenung melihat Arman dan Raina di lawang pintu. Tangan mereka bertautan mesra, membuat kobaran api di dalam d**a salsa menggebu. Seperti api yang disirami cairan Bensin, Salsa bisa merasakan sesuatu yang panas berjalan naik ke pundak hingga meledak di telinganya. "Ck... Biasa aja lo Rain! Mentang mentang baru jadian lo pamer kemesraan!" celetuk Rafa kontan. Kedua mata Salsa membelakak, "Hah?" Salsa terlalu shock. Ia masih tidak percaya kalau Arman dan Raina jadian, yang Salsa tau Arman dulu sangat mencintainya, rasanya tidak mungkin Arman berpindah hati begitu saja dalam jangka 1 bulan. Teenggg!! Saatnya jam pertama dimulai. Bel telah berbunyi, itu artinya pelajaran akan segera dimulai mengingat anak kelas 12 yang fokus ujian untuk senin ini upacara bendera ditiadakan. Sayup-sayup telinga Raina mendengar gesekan antara high hels dengan lantai. Raina yakin, Bu Linda sebentar lagi akan sampai didepan pintu kelas, cepat cepat Raina mendudukan tubuhnya diatas kursi, karena Raina tahu. Bu Linda sangat tidak suka dengan murid yang tidak disiplin sebenernya Raina ingin minta ganti guru, dengan mengajukan surat kedalam kotak saran tapi Raina sendiri tidak yakin bagaimana ia bisa menjelaskan alasannya nanti kepada kepala sekolah. Jangankan bertatap muka, berpapasan saja Raina sudah merasa jantungnuya putus dari tempatnya, wajah seram itu benar-benar membuat Raina tak berani berkutik, jadi ini risikonya, Raina harus bisa menerima dengan sangat keberatan. Bu Linda masuk dengan leluasa begitu saja, langsung duduk di tempatnya. Menatap satu persatu murid secara teliti. Guru itu memang sangat disiplin sangat anti dengan mirid yang main-main, terlebih jika dia mendapatkan murid yang ketiduran ber-alasankan tidur tengah malam karena menonton sinetron yang dimainkan idolanya. Tanpa berbicara Bu Linda lekas menulis diatas papan tulis, Raina bernafas lewat mulut. Raina menatap dengan antipati tulisan dipapan tulis, tatapan yang sama sekaki tanpa minat. Raina bener-benar sangat malas. 'Volume benda putar', guru itu langsung menulislan beberapa rumus lalu menyajikan soal begitu saja, tanpa menjelaskan terlebih dahulu seperti biasa, Raina mengerti sepertinya guru itu masih marah pada murid didalam kelasnya dengan kejadian bolos bersama ketika masuk jam pelajaran Bu Linda. Raina mengangkat wajahnya, matanya menangkap punggung kokoh Arman, amazing ! Rasa kesal Raina lenyap begitu saja. Mungkin ini terdengar sedikit berlebihan tapi ini nyatanya, dia; Raina sama sekali tidak tau bagaimana cara mengakulfasikan perasaannya, Raina terlalu bahagia bersama Arman, terlebih Arman yang sekarang telah resmin menjadi pacarnya. Mungkin dengan begini Raina bisa lebih giat lagi dalam belajar. Berpacaran tidak seburuk yang kebanyakan orang bilang, justru bagi Raina, dicintai secara spesial itu menjadi energi tersendiri yang mampu membuat dirinya lebih giat lagi, Raina juga akan mencoba mencintai pelajaran Matematika lagi, seperti Arman yang sangat menyenangi pelajaran itu, mungkin itu adalah alasan yang kontradiktif kenapa dia memilih jurusan IPA. Meski Raina tau, mencintai pelajaran itu tidak semudah mencintai Arman. Mendadak Raina tersadar, tiba tiba ruang kelasnya sepi. Tanpa bisikan suara apapun, bahkan gesekan antara spidol dan papan tulis terdengar sangat jelas. "Kerjakan dalam waktu 10 menit! Jika ada yang mendapat nilai di bawah 80, kalian keluar! Saya tidak suka murid yang menganggap remeh pelajaran saya!!" Wajah Bu Linda terlihat tegas, tidak ada main-main di mata Bu Linda, yang Raina lihat. Sepertinya kali ini Bu Linda akan memperketat cara belajarnya. "Tidak ada yg protes! Kalau yg protes silahkan keluar. Jangan harap nilai kalian tuntas dengan saya!. Kalau nilai kalian di bawah kkm saya pastikan, kalian tidak bisa naik ke kelas 12. Meski nilai kalian yang lain 100 sekali pun! Terlebih nilai sikap kalian!" Raina meneguk air liurnya yang terasa seperti benda padat, menelannya secara kasar saat merasa tenggorokannya menyempit. Romansa ketegangan kini menyelimuti murid di kelas Raina, Bu Linda tidak main-main dengan ucapannya. Raina menekan punggung Arman dengan jari telunjuknya "Man, ban-tu-in.." Raina sedikit berbisik, Arman hanya mengangguk tanpa menoleh kebelalang. Raina bisa bernafas lega, dengan begini ia tidak akan terancam tinggal kelas. Tinggal kelas? Mendengarkannya saja sangat mengerikan, Raina tidak bisa membayangkan. Padahal dari dulu dia bisa terbilang anak yang cerdas. tapi, ia mulai bosan belajar matematika ketika kenaikan kelas 11, saat mendapati Bu Linda membuat Raina mendadak membenci Matematika. 5 menit berlalu Arman memberikan bukunya ke belakang, di atas meja Raina. Raina yang mengerti cepat-cepat mengisi soal-soal menyebalkan itu, takut-takut aksi ini diketahui Bu Linda. "Kalau udah, kamu duluan yang kumpulin. Biar Bu Linda gak curiga." Raina mengangguk mengerti, tak butuh waktu lama. Raina berdiri berjalan mendekati meja Bu Linda, memberikan buku tulisnya, sebenarnya Bu Linda kurang percaya. Tapi apaboleh buat sepertinya belum ada yang menyelesaikan soal itu. "Arman? Kamu belum selesai?" "Belum buk. No 4 saya lagi pusing buk saya salah Rumus jadi terpaksa ulang." "Yang lain?" "Bu.... Udah dong buk. Udah tau otak kita pada setengah. Ibu malah nekan kami kaya gini." "Diam kamu Rafa! Keluar dari kelas saya sekarang!" suara Bu Linda naik dua oktaf. Rafa nyaris terperanjat. "Yaa buk saya kok diusir Buk. Maaf buk maaf kalau saya udah bikin ibu marah." Rafa memohon, wajahnya ikut mewakili kalau dia tidak ingin meninggalkan kelasnya. "Udah untung saya masih mau ngajar kalian!" Bu Linda bangkit daru tempat duduknya. Wajahnya memerah, mendadak ketus dan menakutkan seperti kepala sekolah. "Jangan kalian pikir saya itu tidak bisa marah. Kalian pikir dengan cabut bersama itu merugikan saya? Tidak! Kalian yang rugi. Saya ngajar atau nggak ngajar tetap digaji. Saya itu peduli sama kalian, kalian ribut, main hp, ada yg berdandan saya diam. Tapi diam saya gak bisa buat kalian mikir!" Bu Linda bersedekap d**a. Ia akui kelas 11 IPA 3 ini memang lebih susah di atur dari pada 2 kelas IPA lainnnya. "Untung kalian yang orang tuanya seorang bos. Coba kalau orang tua kalian kerja serabutan? Kalian gak kasian? Sekolah mahal-mahal kalian main-main. Saya sudah bicara dengan Pak Anwar kepala sekolah. Dan dia yang akan menggantikan saya di bidang matematika." Seisi kelas mendadak heboh, semuanya kalang kabut. Tak ingin Bu Linda digantikan Oleh kepala sekolah mereka setidaknya wajah bu Linda lebih angun dari pada wajah ganas kepala sekolah mereka. "Bu.. Bu jangan gitu dong bu, kami janji bu gak alan ulangin lagi." "Iya bu. Ibu ngajar kelas kami aja. Kata kakak kelas 12 IPA 1 pak Anwar galak banget bu." Bu Linda sama sekali tidak mengubris. Dia terlalu kecewa, sebagai seorang guru jauh didalam hati Bu Linda merasa gagal padahal dia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai target nilai yang ditetapkan. "Kamu selesai Arman?" "Udah buk." Bu Linda mengambil buku tulis Arman kembali kemejanya menyatukan buku Arman dan Raina. Bu Linda membereskan barang-barangnya "Arman, nanti setelah jam pelajaran saya habis. Kamu kumpulin semua buku temen-temen kamu antar kemeja saya, jangan ada yanh menyontek, karna saya bisa tau semua jawaaban kalau sama." Bu Linda merepet pergi begitu saja meninggalkan suasana genting di dalam kelas. "Duh man.. Gimana dong, masa ia ganti sama pak kepsek aku, takut.." garis-garis ketakutan tampak kentara di wajah Raina, kalau permintaanya terkabul untuk minta ganti guru, ia tarik kembali ucapan itu, kebih baik berhadapan Bu Linda dari pada harus berhadapan dengan kepala sekolah yang mampu melumpuhkan seluruh organ tubuhnya. "Ya abis kita juga sih, Rain. yang salah, coba waktu itu gak pake acara cabut masal" "Man lu kan ketua. Ayo dong gimana buat Bu Linda gak jadi digantiin pak Anwar. Gak pa-pa deh kalau gua liat dia cerewet dari pada ketemu pak Anwar, sumpah gak enak gua'' Arman sendiri juga tidak bisa melakukan tindakan apapun, ia sendiri bingung, minta maaf-pun sepertinya percuma, hal itu juga tidak akan menggoyahkan keputusan Bu Linda untuk berhenti mengajar di kelasnya. "Gua jadi makin gak semangat ngerjain ni soal pusing kepala gua. Gak bisa mikir lagi makin mumet gua. Otak setengah gini dipaksa bisa pecah. Ibarat memori card nih, kapasitas otak gua cuman 2 GB di kasih muatan 5 GB ya gak muat lah." celetuk Rafa, mencoba mencairkan suasana tapi gagal, semuanya terlalu kaget, bahkan sekalipun Arman yang hampir tak bermasalah dengan Pak Anwar masih menyimpan was-was terlebih Raina yang tidak pernah bertatap langsung dengan Pak Anwar kecuali ketika upacara bendera itupun juga bisa dihitung dengan 10 jari. *** Raina berdiri di depan kantor guru, terlihat kegelisahan terpahat diwajahnya. didalam Arman menemui Bu Linda memberikan semua buku latihan Matematikanya, sudah hampir sepuluh menit Arman masih belum keluar membuat Raina sedikit cemas. Takut Bu Linda mengetahui aksinya menyontek dari buku Arman. "Duh, Arman kok lama banget sih." Raina sedikit mengintip dari jendela kaca, matanya bisa menangkap sosok Arman yang duduk didepan meja Bu Linda, Raina yakin sekarang Bu Linda sedang mengintimidasi Arman. Raina kembali duduk dibangku samping kirinya, untuk menghilangkan kepanikannya Raina sedikit mengigit jarinya, bukan hanya dia yang menerima risiko ini tetapi juga Arman. Menit selanjutnya Arman sudah duduk disamping Raina, tidak seperti ekspresi yang terlihat di wajah Raina, yang tergambar diwajahnya hanyalah ketenangan dan sedikit senyum. "Man, Bu Linda bilang apa tadi sama kamu? Aku ketauan nyontek sama kamu, ya?" Arman menggulum senyum, menimbulkan teka teki di dalam benak Raina. "Kok kamu malah seneng sih? Kamu gak takut?" "Takut? Takut buat apa?" "Ya gimana kalau kita gak boleh masuk lagi ke kelas? Gimana kalau tinggal kelas, Arman?" "Ya gak pa-pa kok, kalau tinggak kelasnya bareng kamu, Raina" "Hah?" Raina bernafas lewat mulut. Semudah itukah kata itu terlontar dari mulut Arman? "Kan seru. Sepasang kekasih tinggal kelas, bakak jadi viral tuh." Arman terkekeh, memperlihatlan dagu runcing miliknya. "Gak usah gitu juga kali ekspresinya." Arman moncolek nakal dagu Raina, nembuat kedua mata Raina membulat kaget. "Arman, udah ahk. Tadi Bu Linda bilang apa?" "Gak bilang apa-apa kok. Yang jelas aku berhasil yakinin Bu Linda, dan akhirnya Bu Linda maunkasih kita kesempatan lagi." "Serius kamu? Gimana caranya?" "Arman gitu loh, apa sih yang gak dia bisa." lengan Arman merangkul pundak Raina. Menjepit gemas pipi Raina dengan telunjuk dan ibu jarinya, tak menghiraukan kondosi koridor sekolah yang dipenuhi siswa lain, yang jelas keduanya sama larut memberikan kenyamanan dalam b******a. *** BERSMBUNG
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN