Pipinya masih memanas.
Padahal sudah beberapa menit berlalu. Bianca juga sudah mencoba minum air mineral dingin langsung dari kulkas untuk mengontrol dirinya yang seperti sedang demam.
Demam apa Bianca? Demam Cinta? Kata suara lain dari dalam pikirannya.
“Bisa-bisanya gue malah tetanggaan sama orang yang mau gue hindari. Kalau kayak gini caranya, yang ada gue malah gak bisa cepet move on!”
Dan juga, Bianca menyadari bahwa dia harus siap menerima ini semua karena nggak mungkin Bianca kabur lagi. Tabungannya sudah habis karena pindahan apartemen. Darimana lagi dia bisa mencari tambahan dana untuk hidupnya?
Minta ke orang tua? Big No! Dia sudah bertekad tidak ingin berbagi masalahnya dengan keluarganya. Jadi dia harus menyelesaikan masalahnya sendiri.
Keesokan harinya, Bianca berangkat dengan mengendap-ngendap karena tidak ingin berpapasan dengan Dion. Harapannya tidak terkabul karena baru saja Bianca menutup pintu apartemennya dengan perlahan saat itu juga pintu unit sebelah terbuka dan Dion muncul.
“Baru mau berangkat juga, Bee?” Dion menyapa dengan panggilannya. Bianca membenarkan. Dia berbalik badan dan berjalan disusul oleh Dion yang sekarang sudah melangkah beriringan menuju basement tempat memarkirkan mobil mereka.
Sepanjang perjalanan itu hanya hening. Tidak ada pembicaraan diantara mereka seperti biasanya ketika mereka dihadapkan pada suatu kesempatan bersama, Dion terlihat lebih aktif berbicara tapi untuk pagi ini cukup berbeda. Sebagai gantinya, dia memikirkan bagaimana cara menolak ajakan Dion kalau-kalau pria itu mengajaknya untuk berangkat bareng menuju kantor pagi ini?
Karena mereka bertetangga, mereka mendapat slot parkir juga bersebelahan karena penomoran slot parkir juga ditentukan nomor unit mereka. Dion melangkahkan kaki menuju mobil berwarna hitam jenis SUV sedangkan mobil Bianca berwarna putih jenis city car.
“Kalau gitu, hati-hati di jalan ya. Sampai bertemu di kantor.” Dion baru membuka suara bersamaan dengan dia membuka pintu mobil.
Tanpa menunggu jawaban dari Bianca yang kini sedang menatapnya dengan pandangan bingung, pria itu mulai menjalankan mobil tak lupa memberikan klakson perpisahan sebanyak dua kali.
Bianca masih mematung di tempatnya berdiri. Lalu mulai tertawa. Lebih tepatnya menertawakan dirinya sendiri.
“Udah capek-capek mikirin alasan penolakan ajakan berangkat bareng eh ternyata emang dia mau berangkat sendiri. Emang dasar tingkat kepedean lo harus dikurangi, Bianca Janitra!”
***
Selain Bianca yang menjadi menjaga jarak yang ternyata juga Dion melakukan hal yang sama. Dan itu ternyata membuat Bianca cukup kelabakan.
Bianda adalah tipikal orang yang jika sedang ada sesuatu pasti akan terlihat jelas dari raut mukanya. Sisil bisa membacanya dengan mudah.
Dan tahukan kalian bagaimana reaksi Sisil saat mendengar gerutuan Bianca soal tetangga barunya itu.
"Ya terus kenapa? Alasan lo pindah itu kan karena lo mau tinggal di lingkungan aman dan nyaman? Bukannya kalau teman kantor kita yang ternyata jadi tetangga justru harusnya tambah aman?" Ucapan Sisil memang benar makanya Bianca tidak bisa membantah ucapan darinya.
"Kecuali… kalau lo keberatan tetanggaan karena itu Dion."
SKAKMAT.
Bianca hanya tersenyum miris. Enggan mengakui pendapat Sisil yang sudah mewakili hati dan perasaannya. Kalau melihat dari pembicaraan mereka beberapa waktu yang lalu. Dimana Sisil menentang keras perasaan Bianca terhadap Dion. Kali ini demi menjaga telinga dan hatinya dalam kondisi mood yang bagus. Bianca menutup mulut rapat-rapat.
Dia memilih untuk menyelesaikan permasalahan hati ini seorang diri. Keluar dari sebuah rasa yang tidak semestinya hadir.
***
Sudah satu minggu berlalu. Bianca menjadi rekan kerja Dion dalam satu perusahaan dan juga mendadak menjadi tetangga Dion. Tetapi mereka bukannya semakin mendekat tetapi malah semakin menjauh. Padahal, sebelumnya pria itu sempat menawarkan penyambutan Bianca menjadi tetangga sebelah unit apartemennya. Tapi malah ada jarak diantara mereka.
Tidak ada pembicaraan di pantry.
Tidak ada panggilan Bee lagi.
Mereka juga seperti mempunyai jam pulang yang berbeda. Jarang bertegur sapa di kantor dan tidak pernah tidak sengaja papasan saat pulang ke apartemen.
Bianca tersenyum getir. Seharusnya hal ini bisa jadi jalan keluarnya. Kalau diantara mereka tidak pernah ada apa-apa jadi apa yang memberatkan Bianca kalau bukan perasaannya yang meminta lebih? Ternyata dia rindu dengan semua itu. Hal kecil yang membersamai mereka walaupun hanya sebentar.
Jumat malam, Bianca memutuskan untuk pergi ke sebuah kelab malam yang lebih hening. Seorang diri. Pikirannya terlalu berisik sampai-sampai yang ia inginkan hanya diam seribu bahasa.
"Jangan sampai mabok, karena lo sendirian." Ken memperingati Bianca dengan tatapannya yang tajam. Ken adalah bartender yang bekerja pada malam hari ini dan juga merupakan orang yang sudah cukup mengenal Bianca. Walaupun sendirian, Bianca tetap merasa aman karena ada Ken yang membantu mengawasi dirinya.
Bianca hanya bisa mengangguk.
"Lagian, tumben lo sendiri? Nggak sama Sisil?" Tanya Ken menyelidik. Malam hari ini kelab malam ini memutar lantunan musik jazz yang menenangkan.
"Lagi pengen sendiri aja." Jawab singkat Bianca.
"Nggak lagi berantem kan?"
Bianca menggeleng. Dan untungnya Ken cukup mengerti dengan suasana hati Bianca pada malam itu. Dia hanya sesekali mengingatkan untuk Bianca mengontrol porsi minumnya agar tidak langsung mabuk.
Hanya karena hatinya ditarik ulur oleh seorang pria yang dia suka ternyata cukup mampu membuat hati porak poranda. Sebentar Dion bisa sangat manis dan pengertian lalu sikapnya bisa langsung berubah menjadi pria super dingin seolah tidak pernah mengenali dirinya.
Tak tahan melihat temannya seperti sedang frustasi itu, disaat ada waktu luang. Ken menghampiri Bianca dan duduk di sebelahnya.
“Asem banget muka lo, ada apa sih?”
Bianca menoleh ke arah Ken dan menimbang-nimbang apakah sebaiknya dia ceritakan saja apa permasalahannya? Tapi belum juga ia memutuskan, mulutnya sudah mengeluarkan serangkai kata ceritanya dimulai dari putus dengan Erlangga sampai jatuh hati dengan Dion yang sudah punya kekasih.
“Dion ngasih lo reaksi seperti itu meskipun dia udah punya pacar?” Tanya Ken kemudian setelah mendengarkan cerita dari Bianca sampai tuntas.
Bianca mengangguk sekali lagi.
“Gue rasa dia juga ada rasa sama lo. Tapi, dia menahan-nahan karena ingin liat reaksi lo juga.”
Bianca tersentak kaget. “Bukannya menahan diri karena punya pacar? Kok malah nungguin reaksi gue?”
“Orang kalau punya pacar dan setia sama pacarnya nggak mungkin ngelirik. Tapi bisa aja lo jadi pelarian sih, apa kata lo tadi dia pacaran jarak jauh sama pacarnya kan? Baiknya lo harus hati-hati biar nggak masuk ke perangkapnya.”
Bianca sudah tidak kaget mendengar penjelasan Ken yang hampir sama dengan Sisil. Harus ia akui, dia sangat beruntung mempunyai teman yang begitu perhatian dengan dirinya. Tapi, yang anehnya lagi adalah kenapa hatinya merasa tidak puas mencari pembenaran akan sikapnya selama ini?
“Ini semua gara-gara Dion! Gue jadi berharap lebih. Padahal awalnya gue yakin gue cuma naksir dari jauh aja. Tapi kenapa gue jadi ngarepin cowok orang!” Bianca mulai nyerocos dan siap meneguk satu gelas kecil berisi alkohol lagi tapi ditahan oleh Ken.
“Kalau lo mau ini semua berakhir tanpa ada pertanyaan besar di kepala lo lagi. Lo harus ngomong sama dia.”
“Ngomong apa? Kalau gue naksir sama dia?”
Ken mengangguk. “Dan ungkapkan kalau lo nggak suka dia ngerespon lo seperti ini. Dengan begitu, lo bisa dengan mudah menjauh.”
“Tapi dia tetangga gue, Ken. Gue tiap hari akan ketemu sama dia. Gue nggak sanggup nanggung malu kalau ternyata selama ini gue yang kepedean aja.”
Ken hanya bisa pasrah dan menyerahkan semua keputusan kembali ke Bianca si pemilik hati yang tengah porak-poranda sama orang yang bahkan bukan miliknya.
***
Ken sempat mengantarkan Bianca sampai di depan apartemennya. Dan tidak bisa mengantar masuk karena masih harus kembali bekerja. Sedikit lagi Bianca sudah mabuk berat dan dia tidak ingin mengambil resiko Bianca akan kenapa-kenapa di perjalanan pulang.
Padahal Bianca tidak begitu mabuk dan dia masih bisa berjalan dengan wajar. Tapi pria itu bersikeras untuk mengantarkan Bianca pulang. Selama perjalanan menggunakan motor itu Bianca memeluk Ken dari belakang dan menghirup dalam-dalam udara Jakarta pada malam hari.
Lorong apartemen masih terasa asing buat Bianca yang baru pindah selama kurang lebih satu minggu. Ketika ia sudah sampai di depan pintunya, ia berhenti dengan cukup lama lalu kemudian menoleh ke apartemen sebelah. Unit apartemen Dion dengan pintu tertutup rapat.
“Apa aku harus mengatakannya saja?” Bianca bertanya pada dirinya sendiri dengan suara sekecil mungkin. Di dalam benaknya terngiang-ngiang perkataan dari Ken.
Walaupun hatinya sebagian besar menolak, tapi tubuhnya berjalan seorang diri seolah tanpa komando dari dirinya. Kaki Bianca mantap berjalan seolah ada keberanian besar yang menopangnya. Lalu, tangannya mulai memencet bel. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Ketiganya di jeda selama sepuluh detik menunggu.
Dia menunggu jawaban.
Sedetik, dua detik, tiga detik.
Masih tidak ada jawaban. Bianca mulai mundur dan bersiap untuk membalikan badannya. Tapi, saat itu juga pintu itu akhirnya dibuka.
“Bianca?” Dion memanggil dengan suara yang parau. Rupanya pria itu sudah tidur. Sedangkan Bianca mendatanginya tengah malam dengan keadaan kacau karena habis meminum beberapa slot gelas beralkohol.
Nyalimu bukan main, Bianca!
Ia berhenti dan terus menatap Dion dengan pandangan tajam.
“Kamu baru pulang?” Tanya Dion lagi karena tidak kunjung mendapat jawaban dari Bianca. “Ada apa Bianca, kamu butuh sesuatu?”
Baru kali ini Bianca mendengar pria itu menyebut nama lengkap Bianca. Anehnya, dia merasa tidak suka. “Kenapa Mas Dion melakukan ini padaku?”
Dion mengerutkan keningnya. Tidak paham.
“Apa kamu sedang mabuk? Kamu habis dari mana? Sendirian?” Dion mulai mendekat tapi Bianca mundur selangkah menjauhi pria itu.
“Kenapa Mas Dion menjauh dari aku?” Tanya Bianca dengan suara pelan.
“Aku kira awalnya kamu yang mulai menjauh dariku. Mulai dari sikapmu di kantor sampai kamu tampak tidak senang aku ingin menyambutmu sebagai tetangga baru? Aku berpikir, kamu memang tidak menyukai aku berada di dekatmu.”
“Kenapa Mas Dion begitu baik sama aku? Mas Dion sadar nggak kalau sikap itu udah bikin aku salah paham selama ini!” Bianca sudah mulai lantang berbicara.
“Aku nggak paham, Bee. Kamu lagi kenapa?”
“Stop panggil aku Bee! Gara-gara itu aku jadi overthinking selama ini. Mas Dion sadar nggak kalau selama ini aku suka sama kamu!”
“Kamu suka sama aku karena aku panggil kamu itu?” Dion bertanya balik.
“Bahkan sebelum itu aku udah suka sama Mas Dion. Dengan reaksi Mas Dion yang terlalu baik dan terlalu peduli sama aku, aku jadi kehilangan akal sehat dan membiarkan hatiku terus meminta lebih.” Bianca mengucapkannya dengan cukup lugas. Dia harus bertaruh bahwa setelah ini mungkin Dion akan benar-benar menjauhi dirinya.
Kini Dion hanya bisa berdiam diri dan menatap takjub kepada Bianca yang masih berada di depannya.
“Aku tidak mabuk, Mas. Aku hanya butuh alkohol sedikit untuk bisa punya keberanian untuk mengungkapkan semuanya. Aku harap, setelah ini kamu bisa lebih menjaga kebaikan kamu buat orang lain dan aku juga tidak salah paham lagi.” Bianca mulai berbalik dan berjalan menuju unit apartemennya.
Tetapi sebelum itu terjadi, tangannya sudah ditarik oleh Dion dan pria itu meraih tubuhnya yang sempoyongan jatuh ke dalam pelukannya. Mata mereka bertatapan dari jarak yang sangat dekat. Bianca merasa seperti ini adalah pengulangan yang terjadi seperti waktu itu. Perlahan tapi pasti, bibir Dion semakin mendekat dan akhirnya menyentuh bibir mungil beraroma strawberry milik Bianca.
Selama sepersekian detik Bianca mematung dan berusaha mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Bukankah harusnya Dion semakin menjauhi dirinya? Tapi pria itu kini tengah menciumnya dengan lembut?
Karena tidak bisa mencerna apa yang terjadi, Bianca sudah terlanjur terbuai dengan perlakuan lembut Dion ketika pria itu semakin mendekap tubuh Bianca.
Bianca memutuskan untuk membalas ciuman hangat itu menjadi ciuman yang panas dilakukan oleh dua orang dewasa di depan sebuah pintu yang masih setengah terbuka. Dion menggiring Bianca memasuki apartemennya dan menutup pintunya rapat dengan posisi masih saling berciuman.
***