Sebuah Percakapan

1056 Kata
Safira sesekali memeriksa ke ruang tunggu di mana Adnan berada setiap kali dia terbangun dari tidurnya. Dan pria itu masih berada di sana, terlelap dalam keadaan duduk dengan hanya mengenakan jaketnya. Jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari tetapi Adnan masih berada di tempat itu bahkan setelah Safira menyuruhnya untuk pulang. Kalau sudah begini, rasanya dia tak tega juga mengingat apa yang telah pria itu lakukan untuk ibunya. Bayangkan saja, jika Adnan tidak memeriksa rumah tersebut, maka mereka tak tahu apa yang akan terjadi dengan Melia saat ini. Sehelai selimut tipis Safira sampirkan di tubuh Adnan untuk mengurangi hawa dingin yang mungkin akan pria itu rasakan karena selain jaketnya, dia tak lagi menggunakan apa-apa. Namun, dia terkejut ketika sepupunya tersebut tiba-tiba saja menggenggam pergelangan tangannya. Dua pasang mata itu saling pandang dan seketika suasana menjadi terasa semakin hening di antara mereka. Adnan memindai wajah Safira dan ini adalah jarak terdekat di antara mereka selama beberapa hari terakhir setelah sempat berbicara berdua. Tetapi, pria itu segera melepaskannya begitu dia menyadari, kemudian bangkit menegakkan tubuhnya. "Jam berapa ini?" Adnan memeriksa ponselnya yang dia rogoh dari saku jaket bagian dalam. "Jam tiga, kenapa Abang tidak pulang?" Sementara Safira mundur beberapa langkah ke belakang untuk menciptakan jarak. "Hmm … tanggung." Pria itu menguap sambil menggeliat untuk meregangkan tubuhnya yang terasa sedikit pegal karena tidur dalam posisi duduk. "Bagaimana Tante Melia? Apa sudah bangun?" Lalu dia bertanya sambil mengusap wajahnya. "Belum. Mungkin efek obat masih mempengaruhi ibu, jadi …." "Hmmm, ya. Tapi tidak apa-apa, kan? Kata dokter juga begitu semalam." Safira menganggukkan kepala. "Kamu belum tidur?" Lalu pria itu bertanya. "Tidur tapi tidak nyenyak. Namanya juga di rumah sakit, mana bisa tidur enak?" Adnan sedikit terkekeh mendengar ucapan sepupunya tersebut. "Tidak usah khawatir. Tante Melia pasti baik-baik saja. Tidak akan ada yang terjadi dengannya." Dia dengan penghiburannya. "Aku tahu, tapi …." Safira akhirnya memutuskan untuk duduk berjarak dua kursi di samping Adnan. "Kadang aku merasa takut kalau akan terjadi sesuatu pada ibu sedangkan aku tidak ada di sana." Dia menatap dinding rumah sakit yang berwarna putih terang. Pikirannya tentu saja tertuju pada sang ibu yang saat ini sedang dalam perawatan setelah Adnan menemukannya yang tak sadarkan diri di rumahnya. Dan inilah yang paling Safira takutkan. "Kenapa tidak tinggal dengan tante Melia saja? Sepertinya dia sangat membutuhkanmu?" Adnan kemudian mengalihkan topik pembicaraan. "Ini dilema." Pria itu mengerutkan dahi. "Seandainya saja ibunya Mas Fahri masih punya suami, atau setidaknya tinggal dengan anak yang lain, tentu aku tidak akan meninggalkan ibu. Tapi keadaannya seperti ini." Safira mulai bercerita. "Kenapa? Memangnya mertuamu tidak bisa tinggal sendiri? Apa dia sudah sangat sepuh sehingga tidak bisa ditinggalkan? Padahal aku lihat tante Melia lebih membutuhkanmu sekarang ini." "Mas Fahri anak bungsu jadi tidak bisa meninggalkan ibunya." "Abang juga anak bungsu. Tapi aku pergi merantau ikut istriku dan meninggalkan orang tuaku di Bandung. Ini bukan tentang anak pertama, kedua atau terakhir. Tapi tentang kerelaan orang tua untuk melepas anak-anaknya ketika mereka sudah memiliki hidup masing-masing. Tidak ada yang salah dengan mengurus orang tua setelah berumah tangga, tetapi ada hal yang tidak bisa ditolerir jika kita sudah punya pasangan. Kecuali jika mertuamu sudah benar-benar tua dan tidak mampu mengurus dirinya sendiri." Adnan bicara panjang lebar. "Tante Melia saja mengerti dan merelakanmu untuk pergi mengikuti suamimu. Padahal dia sangat membutuhkanmu. Tapi lihat, karena pengertiannya membuat dia rela tinggal sendiri." Safira terdiam. "Setelah ini, begitu pulang dari rumah sakit, Abang sarankan untuk lebih sering mengunjungi ibumu karena sepertinya selama ini kamu memang jarang melihat keadaannya?" Perempuan itu menoleh. "Karena kalau sering pasti Abang juga sering melihatmu lewat di depan rumah, jadi …." "Abang sering mengawasi keadaan ya?" Pria itu terkekeh lagi. "Mengintip ke luar rumah?" "Ya apa lagi? Abang tidak punya kegiatan selain bekerja. Dan jika sampai di rumah ya hanya diam saja." Safira masih menatapnya dalam diam. "Abang berharap melihat seseorang yang dikenal agar tahu kalau Abang tidak sendirian." Dan dia balas menatapnya dengan perasaan yang tak dapat diartikan. Ya, rasa yang sama seperti sepuluh tahun lalu dan nyatanya itu tak pernah benar-benar hilang meski dirinya sudah bersama orang lain. "Kenapa Abang kembali ke Bandung?" Lalu Safira bertanya. Dan inilah yang ingin dia ketahui tentang penyebab kembalinya Adnan ke tempat tinggalnya yang dulu tanpa membawa anak dan istrinya. "Untuk bekerja." Pria itu langsung menjawab. "Selain itu?" "Tidak ada." Adnan menelan Saliva karena tenggorokannya terasa seperti tercekat saat mengucapkan kalimat tersebut. Safira masih menatap wajah teduh dengan tatapan lembut itu. Sesuatu di dalam dadanya terasa berdenyut nyeri dan membuatnya memalingkan pandangan. Rasanya dia tak kuat memandangnya lebih lama karena tahu hatinya begitu lemah. "Abang baik-baik saja, kan?" Lalu dia bertanya tanpa menatap pria itu lagi. "Ya, Abang baik-baik saja." "Bagaimana Kak Khalisa dan …." Bibir Safira tampak bergetar begitu menyebutkan nama perempuan yang menjadi pendamping Adnan selama sepuluh tahun belakangan. "Khalisa dan Bilqis baik-baik saja." Pria itu menjawab. "Kenapa mereka tidak ikut?" "Khalisa masih bekerja di rumah sakit dan tidak bisa berhenti, sedangkan Bilqis sekolah. Ibunya tidak mau pindah karena prosesnya yang memang rumit, jadi ya … begitulah." Dengan tenangnya dia menjelaskan keadaan kepada Safira meski pada kenyataannya bukan seperti itu juga. Melainkan ada sesuatu yang dia hindari dan hal lainnya yang ingin dia lakukan. Ya, ada banyak hal yang ingin dia lakukan dan selesaikan. Terutama soal perasaannya yang tak kunjung berubah meski sudah sepuluh tahun berlalu dan dirinya sudah memilih bersama orang lain. Tetapi hal itu nyatanya menjadi beban tersendiri yang tak mampu dia selesaikan hanya dengan cara pergi dan memulai hidup baru saja. "Umm … sebaiknya Abang pulang. Sudah subuh juga kan?" Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul empat pagi dan suara orang mengaji dari mesjid terdekat mulai terdengar. "Ini sudah hari Minggu dan kita libur, kan?" Adnan kembali menyandarkan punggungnya pada kepala kursi. "Jadi biarkanlah Abang tetap di sini sampai tante Melia bangun." Lalu dia menarik selimut tipis yang sempat menutupi dadanya. "Sana kalau mau tidur lagi. Abang juga mau tidur lagi, lumayan kan dua atau tiga jam sampai langitnya terang?" Pria itu menyilangkan kedua tangannya di d**a sementara Safira bangkit dari tempat duduknya. "Sepertinya aku akan kembali ke dalam saja. Siapa tahu ibu sudah bangun, kan?' Adnan menganggukkan kepala. "Baiklah, terserah Abang saja." Perempuan itu segera beranjak dari tempat tersebut dan kembali ke ruang perawatan ibunya. Sementara Adnan hanya tersenyum begitu dia pergi. Merasa senang karena mendapat kesempatan untuk berbicara tanpa emosi dan rasa marah dari diri Safira.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN