Rumah Sakit

1345 Kata
Sudah lima kali Safira melakukan panggilan ke nomor Fahri tak lama begitu ia tiba di rumah sakit, tetapi belum juga mendapat jawaban dari pria itu. Sementara Adnan berada di kamar rawat darurat menemani Melia yang masih dalam penanganan dokter. Sore baru menjelang tetapi Safira tak mengira sedikitpun jika sang suami mungkin saja sedang sibuk dengan pekerjaannya di Jakarta. Dan kali ini dia menyerah saja lalu memilih hanya mengirimkan pesan, kemudian menoleh ketika mendengar langkah pelan di belakang. "Bagaimana?" tanya Adnan ketika jarak mereka hanya satu meter saja. Safira menggelengkan kepala. "Sibuk?" Lalu perempuan itu menganggukkan kepala. "Baiklah." Adnan kemudian duduk di kursi yang tersedia tanpa berniat memulai percakapan karena Safira pun tampak masih menghindarinya. Tetapi hal yang tak dia duga pun terjadi, ketika perempuan itu juga memilih duduk di sekitar dua kursi di sampingnya meski tak mengucapkan apa-apa. "Tante Melia punya riwayat hipertensi?" Adnan memulai percakapan. "Abang menemukan obat darah tinggi di dekatnya waktu pingsan. Mungkin bermaksud minum obat?" Safira belum memberikan tanggapan. "Mungkin kali ini agak parah." Tetapi, pria itu masih berbicara. Lalu perhatian mereka beralih ketika dokter dan perawatnya keluar, dan keduanya bangkit dari kursi hampir bersamaan. "Tekanan darahnya memang cukup tinggi, dan kondisi tubuhnya juga kurang sehat. Jadi, bu Melia butuh perawatan setidaknya satu atau dua malam." Dokter berbicara. Safira menganggukkan kepala. "Dalam keadaan seperti ini dibutuhkan perhatian khusus terutama soal makanan dan obat, karena jika tidak diawasi maka akan mengkonsumsinya dengan sembarang. Dan itu berbahaya." "Baik, Dokter." "Sementara itu saja yang bisa saya katakan. Selanjutnya kita lihat kondisinya besok, ya?" Safira dan Adnan sama-sama mengangguk, lalu setelahnya dokter pun pergi. "Sepertinya kamu harus menginap untuk menemani Tante Melia di sini." Adnan beralih kepada Safira yang masih menatap kepergian dokter hingga pria berjas putih itu menghilang di lorong berikutnya. "Atau tidak bisa?" Pria itu lantas bertanya. Safira masih terdiam dan dia tampak berpikir. "Tidak apa kalau tidak bisa, Abang yang akan _." "Tidak apa-apa, aku bisa." Dia memotong ucapan Adnan. Pria itu menatapnya dalam diam. "Abang kalau mau pulang, ya pulang saja. Biar ibu aku yang jaga." "Yakin? Apa kamu tidak butuh teman? Sepertinya Abang bisa kalau hanya menemani di sini. Siapa tahu _" "Tidak usah!" Safira sedikit membentak. "Umm … maksudku, tidak usah. Terima kasih." Dia mengulang ucapannya dengan cara yang lebih lembut. "Baiklah kalau begitu." Dan Adnan memilih untuk tak memaksa meskipun dia ingin sekali tetap berada di sana. Tetapi respon Safira hari ini rasanya sudah cukup, dan interaksi mereka mengalami kemajuan yang cukup baik. "Abang pulang. Tapi jika kamu membutuhkan sesuatu, telpon saja," ucap Adnan sebelum pergi yang Safira jawab dengan anggukkan. *** Adnan menatap langit-langit kamarnya yang temaram. Keadaan sunyi dan sepi jelas ia rasakan seperti di malam-malam yang lalu. Dan hanya suara dari televisi yang tak dia tonton saja sebagai pengisi keheningan, itupun dengan volume yang cukup kecil. Beberapa kali dia memeriksa ponsel, namun hanya satu pesan dari Klalisa saja yang masuk, yang menerangkan bahwa putri mereka saat ini berada di rumah ibunya. Pria itu menarik dan menghembuskan napasnya pelan-pelan. Sudah tentu keadaan seperti ini membuat Khalisa merasa lebih leluasa untuk bekerja. Disamping tugasnya yang memang sudah ditentukan oleh pihak rumah sakit, hal itu juga terjadi karena dia memang selalu bersedia jika ada beberapa rekan kerja yang meminta bertukar shift. Entah itu pagi, sore, siang, ataupun malam. Dia tidak terhalang apa pun, bahkan oleh keberadaan Bilqis putri mereka. Dan keluarga seperti menjadi nomor dua baginya. Seperti halnya rumah tangga mereka yang sudah berlangsung cukup lama, dan segalanya berjalan seolah mereka hidup masing-masing. Ya, bagi orang mungkin rumah tangga mereka tampak sempurna. Suami istri yang mapan dengan pekerjaan impian, serta dikaruniai anak yang cantik dan tumbuh dengan begitu baik. Tidak terlihat akan mengalami kesulitan karena keduanya ada dalam posisi yang diinginkan semua orang, dan bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan. Tetapi semuanya hanya dari sudut pandang orang lain, bukan? Dan yang sebenarnya terjadi adalah tidak begitu. Pekerjaan sempurna ini membuat mereka jarang memiliki waktu luang, dan Adnan lah yang paling sering merasakannya. Dan kesibukan Khalisa sebagai perawat menjadi hal yang paling sering membuat mereka kerap kehilangan kebersamaan, bahkan setelah Bilqis hadis di tengah-tengah keluarga. Berkali-kali Adnan memintanya untuk mengurangi kegiatan demi putri mereka, tetapi hal itu tak menyurutkan semangat Khalisa untuk tetap bekerja. Hingga pernah di suatu waktu, pria itu memintanya berhenti karena Bilqis lebih sering ditinggal bersama pengasuh atau orang tuanya demi mengganti shift dengan rekannya, tetapi dia tak menggubrisnya sama sekali. Maka, setelah perkataan tak didengar, perbuatan tak lagi dianggap, dan bungkamnya dinilai mengizinkan, pria itu akhirnya menyerah juga dan benar-benar membiarkan Khalisa asyik dengan dunianya ketimbang harus berdebat dan menimbulkan pertengkaran lebih besar, dan dia merasa malas untuk menghadapinya. Terlebih, ada rasa jenuh yang tiba-tiba saja melanda setiap kali dirinya dihadapkan dengan persoalan ini. Yang membuatnya memilih untuk menghindarinya saja. Dan tawaran pekerjaan dari kota kelahirannya seperti angin segar, yang bisa dia jadikan alasan untuk menepi sejenak meski dengan berat hati harus meninggalkan putri mereka yang masih membutuhkan perhatian lebih. Sekaligus untuk memberikan pelajaran kepada Khalisa agar dia menyadari bahwa ada hal yang lebih penting untuk didahulukan lebih dari pekerjaannya. Tetapi nyatanya, takdir membawanya kembali pada apa yang sempat dia tinggalkan. Dan ingatannya malah tertambat pada kenangan yang pernah ia lewati di tempat itu. Membuatnya teringat seseorang yang selalu ada dalam hatinya, menjadi penghuni tetap sejak lama dan mengisi ruang kosong yang dia miliki sejak meninggalkannya. Adnan kemudian bangkit setelah ingatannya tertuju pada Safira, dan apa yang mungkin sedang dia hadapi saat ini di rumah sakit. Dia ingin menghubunginya dan bertanya soal keadaan mereka, tetapi perempuan itu pasti akan menjawab baik-baik saja meski sebenarnya tidak. Dan waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam setelah dia lama berpikir, tetapi hal tersebut tak membuatnya ingin segera tidur. Namun malah memutuskan untuk melakukan sesuatu. *** Sesekali Safira melihat jam dinding yang terus berputar. Malam semakin larut dan ia masih menatap sang ibu yang belum juga menunjukkan tanda-tanda siuman. Tetapi untuk meninggalkannya tidur pun ia tak tega, sehingga membuatnya memilih untuk duduk saja di samping tempat tidur. Hanya ponsel pintarnya yang menjadi teman, seperti biasanya dan dia masih menunggu balasan pesan dari suaminya. Namun suara pintu yang terdorong dari luar membuyarkan lamunannya, dan Safira segera menoleh ke arah sana. Lalu tampaklah wajah Adnan yang muncul dari celah yang mulai terbuka. "Kamu belum tidur?" Pria itu segera bertanya begitu berhasil masuk. "Kenapa Abang malah kembali?" Dan Safira balik bertanya. "Abang hanya khawatir." Pria itu terus mendekat, laku meletakkan sebuah bungkusan yang dibawanya dari luar. "Belum makan?" Dia menatap makanan di atas nakas yang tadi dibelinya, masih utuh tanpa terlihat bekas dibuka. Safira menggelengkan kepala. "Abang bawa makanan lagi, siapa tahu kamu lapar?" sambungnya yang membuka bungkusan yang dibawanya. Aroma yang cukup menggugah selera segera menguar seiring uap dari makanan yang mengepul begitu ia membuka penutupnya. Dan hal itu menarik perhatian Safira. Dua porsi kwetiau goreng menjadi pemandangan menggiurkan saat ini, dan Safira baru saja ingat bahwa sejak pagi dia belum makan. Suara dari perutnya samar terdengar dan menarik perhatian Adnan. Pria itu tertawa kemudian menyodorkan salah satu kotak yang tengah dibukanya. "Untung Abang ke sini, kan? Kalau tidak, mungkin kamu akan kelaparan sampai pagi," katanya. Safira terdiam dan menatap isi dari kotak makanan tersebut untuk beberapa saat. Dia enggan menerimanya, tetapi perutnya terasa begitu lapar, dan hal seperti ini saja bisa membuatnya merasa dilemma. Apalagi jika itu berhubungan dengan Adnan. "Ayo makan!" Namun pria itu menarik tangannya, dan meletakkan benda tersebut yang membuat Safira sedikit terkejut. "Jangan biarkan asam lambungmu kumat. Nanti kita repot," ucap Adnan lagi sambil membuka kotak kedua miliknya. Safira menatap pria itu yang mulai fokus pada makanannya dan dia sedang meraba perasaannya sendiri. Dan ini membingungkan karena hatinya terasa tak menentu meski ini bukan pertama kalinya dia berhadapan dengan Adnan setelah la tak bersua. "Sengaja, Abang tidak menambahkan sambal karena takut kamu kepedasan. Lagipula, tidak baik juga makan makanan pedas di jam seperti ini. Tapi kalau mau ini ada sambalnya Abang pisahkan." Satu bungkus plastik kecil Adnan sodorkan kepadanya, kemudian ia memulai kegiatan makannya. Safira masih terdiam. Lalu dia menatap Adnan dan makanannya secara bergantian. "Makan, Fir!" ucap pria itu lagi yang membuat Safira segera melahap makanannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN