Bab 19. Kabar Dari Fahri

1232 Kata
"Kamu mau pergi lagi?" Hasna berdiri di dekat tangga paling bawah ketika Safira turun dari kamarnya dengan membawa sebuah tas kecil berisi beberapa pakaian miliknya. Pagi-pagi sekali dia kembali untuk mandi dan berganti pakaian dan berniat segera kembali ke rumah sakit untuk menunggui ibunya yang pada saat ditinggalkan belum terbangun dari tidurnya. "Iya. Ibu belum bangun sejak semalam dan sepertinya aku harus tetap di sana." Perempuan itu kembali mengenakan jaket dan helmnya. "Fahri sudah kamu beri tahu?" "Sudah, tapi belum menjawab." "Lalu kamu akan tetap pergi meski tanpa seizin suamimu?" "Ya, Bu. Ini darurat." "Setidaknya tunggu sampai Fahri menjawab, Fir." "Tidak bisa, Bu. Aku yakin Mas Fahri akan mengerti. Dan mungkin nanti dia akan membaca pesanku kalau tidak terlalu sibuk. Dan seharusnya sekarang sudah karena masih pagi, kan?" Safira memeriksa ponselnya yang masih sepi. Tak ada pesan atau pun telpon dari suaminya yang sudah sejak semalam diberitahu soal kondisi Melia. "Fira pergi, Bu. Dan mungkin akan menemani ibu selama beberapa hari di rumah. Mudah-mudahan besok sudah bisa pulang." Dia mencium punggung tangan mertuanya sebelum melenggang keluar rumah. "Memangnya tidak ada saudara yang bisa dimintai tolong untuk menjaga ibumu? Di sini Ibu juga sendiri lho." Safira berhenti di teras kemudian berbalik. "Mas Fahri punya dua saudara dan aku yakin ada salah satu di antara mereka yang bisa dimintai datang untuk menemani Ibu. Sedangkan aku hanya sendiri. Jadi … aku pamit," katanya yang segera pergi tanpa menunggu jawaban dari perempuan itu. *** Melia kembali ke tempat tidurnya dengan bantuan Adnan yang sengaja tetap berada di sana sepeninggal Safira. Dia bersedia menunda waktu pulang agar sang sepupu bisa kembali ke rumahnya dulu untuk mengambil beberapa hal. "Terima kasih, Nan. Tante tidak tahu jika kemarin kamu tidak nekat memeriksa ke rumah." Perempuan itu merebahkan kepalanya di atas bantal yang sudah Adnan benahi. "Bukan apa-apa, Tante. Itu hanya kebetulan." Adnan duduk di kursi dekat tempat tidur yang dia tarik mendekat. "Tetap saja, kan?" Adnan tersenyum sambil menyerahkan segelas air hangat yang sudah dia tuangkan untuknya. "Safira pasti sangat khawatir. Dia tidak akan membiarkan Tante malakukan apa pun setelah ini. Pasti mengomel juga kalau nanti dia kembali." Adnan terkekeh. "Itu sudah pasti. Dia akan sangat cerewet kalau tahu keadaan ibunya tidak baik-baik saja. Memangnya anak mana yang tidak begitu?" "Ya. Makanya terkadang Tante tidak mau mengatakan apa pun karena dia akan sangat memikirkannya. Kasihan." "Sebenarnya tidak apa-apa untuk mengatakan kondisi kita kepada anak, agar mereka tahu keadaan kita yang sebenarnya. Jadi bisa mengantisipasi keadaan seperti ini." "Tetap saja Tante tidak tega. Bebannya Safira sudah terlalu banyak." "Beban apa? Dia belum punya anak dan satu-satunya yang merepotkan dia adalah suaminya. Jadi, biarkan saja." "Andai sesederhana itu." Adnan mengerutkan dahi. "Sudah berapa lama Tante seperti ini?" Pria itu mulai bertanya. "Sudah dari dulu, tapi semakin ke sini semakin parah." "Mungkin Tante kelelahan. Cobalah untuk mengurangi kegiatan dan lebih banyak istirahat. Sekarang tidak ada anak yang butuh biaya banyak juga, kan? Jadi Tante harus lebih santai." "Tante terbiasa bekerja sejak muda, jadi rasanya bingung kalau diam di rumah." "Aku tahu. Tapi masanya sudah berbeda sekarang. Tidak ada yang bisa Tante khawatirkan lagi." Melia terdiam. "Safira sudah berhasil melewati masa sulitnya, iya kan?" Adnan berbicara lagi. "Kamu pikir begitu?" "Mungkin." "Kita tidak tahu. Mungkin saja sekarang ini dia mengalami kesulitan yang lebih tapi tidak mengatakan apa-apa. Tante bahkan tidak pernah mendengar dia mengeluh soal apa pun. Dan itu membuat Tante merasa lebih khawatir lagi." "Kita berdoa saja agar dia baik-baik saja." "Memangnya kamu pikir selama ini apa yang Tante lakukan? Hanya bersenang-senang sendiri?" Dua orang itu tertawa, sementara Safira menghentikan langkahnya tepat di depan pintu. Dia mencoba mendengarkan obrolan lain yang mungkin diteruskan oleh Adnan dan ibunya. Tetapi setelah beberapa saat hanya lontaran candaan dan tawa riang saja yang menguar di antara mereka. Lalu dia memutuskan untuk masuk saja setelah yakin tak akan membuat keduanya merasa terganggu. "Ibu sudah bangun?" Safira mendekat setelah meletakkan tas pakaiannya di kursi. "Sudah, Nak. Kenapa kamu cepat sekali kembali?" Melia menyambut sang putri yang segera menghambur memeluknya. "Aku pikir Ibu belum bangun." "Sudah dari tadi begitu kamu pergi. Adnan yang membantu Ibu ke kamar mandi." "Hmm …." Safira melirik pada pria yang tetap duduk di kursinya. "Abang belum pulang?" Lalu dia segera bertanya. "Mungkin sebentar lagi." Perempuan itu menganggukkan kepala kemudian melirik nampan berisi makanan yang beberapa saat yang lalu diantar perawat untuk Melia. "Ibu belum makan?" "Belum." Melia menjawab. "Kenapa? Seharusnya dimakan agar Ibu bisa minum obat dan keadaan membaik. Bukannya malah membiarkannya seperti ini. Bagaimana Ibu bisa cepat pulih dan pulang ke rumah? Aku kan jadi khawatir." Suara Safira mendadak tercekat dengan mata berkaca-kaca. "Ibu sengaja menunggumu agar kita bisa makan sama-sama," jawab Melia lagi sambil melirik ke arah Adnan yang menatap putrinya dalam diam. "Ya sudah, ayo kita makan sama-sama? Aku juga barusan beli di bawah." Dia segera mengambil nampan dan mendekatkannya pada sang ibu. "Abang juga belum sarapan, kan? Ini aku beli nasi uduknya lebih." Lalu Safira menyerahkan sebuah sterofoam berisi nasi rempah khas dengan isian ayam bakar dan lalap hijau. "Sarapannya berat biar kenyang sampai siang, kan?" katanya yang sekilas menatap wajah pria itu. Adnan menerimanya dengan senang hati dan ini seperti sebuah kesempatan baginya untuk tetap berada di sana sebentar lagi. Lalu ketika orang itu memulai kegiatan sarapan mereka dengan keadaan yang cukup menyenangkan. Mengesampingkan perasaan yang pada mulanya cukup mengganggu, tetapi itu harus disimpan dulu demi ketenangan Melia. Terutama Safira. *** Ponsel Safira berbunyi cukup lama sehingga percakapan mereka sempat terhenti. Dan perempuan itu segera menjawabnya. Tampak kontak Fahri yang menghubungi setelah semalaman hingga pagi tak merespon kabar soal Melia darinya. "Hallo, Mas?" "Sayang? Bagaimana Ibu? Maaf, aku sangat sibuk semalam sampai tidak sadar kalau kamu menelpon. Barusan saja aku membaca pesanmu, ini juga mau berangkat ke pameran." Pria itu segera berbicara. "Sudah baikan, Mas. Ibu sudah bangun." "Benarkah? Syukurlah." "Banyak persiapan kah semalam sampai kamu sulit dihubungi?" Kini Safira yang bertanya. "Ya, begitulah. Kami harus mencari tempat yang bagus agar dapat bersaing dengan yang lain dan itu tidak mudah. Pendaftaran dan segala macamnya juga mengalami beberapa kendala karena ternyata tidak sesuai dengan yang diperkirakan sebelumnya." "Begitu?" "Ya. Jadi aku harus turun tangan sendiri untuk menyelesaikannya." "Tapi sekarang sudah selesai?" "Sudah, Sayang. Prototipe sudah ditempatkan dan semuanya siap. Ini, Mas mau berangkat." "Syukurlah." "Fahri?" Lalu samar-samar terdengar suara perempuan memanggil di belakang. "Umm …." "Siapa itu?" Tentu saja membuat Safira sedikit terhenyak. "Itu Bu Sonya. Mas sudah di lobi sekarang dan teman-teman sudah menunggu." "Bu Sonya juga ikut?" "Ya. Bukankah sudah aku katakan? Orang dari empat cabang pun ikut termasuk Bu Sonya dan atasan yang lain. Jadi, Mas berangkat sekarang ya?" "Apa kamu sudah makan? Jangan lupa juga untuk —" "Baik, Mas pergi ya? Jaga diri kamu. Mas akan segera pulang begitu urusan di sini selesai." Lalu sambungan pun segera terputus. Safira tertegun menatap ponselnya yang masih menyala dan kontak suaminya masih dapat dia lihat. Entah, tapi perasaannya sedikit tidak enak mengenai hal ini. Tetapi dia berusaha untuk menepisnya saja. "Mas Fahri sedang bekerja dan itu untuk kami. Jadi kenapa aku harus khawatir?" Dia bergumam dalam hati. "Fahri sangat sibuk?" Pertanyaan Melia membuyarkan lamunannya dan seketika membuat Safira memalingkan perhatian. "Tidak apa-apa, dia sedang bekerja kan? Yang penting dia memberi kabar." Safira kembali menatap wajah ibunya yang masih tampak pucat. "Biarkan saja. Karirnya sedang bagus dan kamu hanya harus mendukung dengan mendoakannya dari jauh. Itu sudah lebih dari cukup," tutur sang ibu dengan senyum lembutnya yang menenangkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN