Safira tertegun menatap sehelai rambut panjang berwarna coklat di kerah kemeja suaminya, saat dia membereskan cucian kotor ke dalam keranjangnya.
Lalu samar-samar aroma parfum yang lain dari biasanya juga menguar di indra penciumannya.
"Hari ini kamu mau pergi bersama lagi atau sudah bisa bawa motor sendiri?" Fahri merapikan dirinya di cermin.
Kemeja putih, jas biru navy dan rambut klimis juga semprotan parfum pada tubuhnya membuat dia tampak sempurna sebagai seorang pria. Dan yang mengenalnya tentu akan merasa kagum karena di usia ke 32 sudah menduduki posisi yang cukup strategis di tempat kerja.
Karena kecakapan dan prestasinya membawa perusahaan otomotif terkenal di Bandung itu menjadi cabang paling produktif dan terbaik dari seluruh cabang yang ada di pulau Jawa, maka Fahri pantas menduduki posisi sebagai manager termuda sejak beberapa bulan lalu setelah perjuangannya bekerja selama hampir lima tahun.
"Fir?" Pria itu bertanya lagi karena tak mendapat respon dari istrinya.
"Ya Mas?" Safira tersadar dari lamunannya.
"Kamu mau Mas antar jemput lagi atau sudah bisa bawa motor?" Dia mengulang pertanyaan.
"Sepertinya sudah bisa sendiri, Mas." Perempuan itu menjawab.
"Yakin? Memangnya kakimu sudah tidak sakit?" Fahri memeriksa cedera yang semula menghambat pergerakan istrinya.
"Tidak. Seminggu ini kamu kan merawatku dengan baik. Sudah pasti aku sembuh." Safira mendekat kemudian merapikan lilitan dasi di bawah kerah kemeja suaminya.
"Hari ini pamerannya dimulai ya? Dari mana dulu?" Percakapan pada pagi hari itu berlanjut.
"Minggu ini di Bandung, lalu Jakarta. Minggu berikutnya aku harus pergi ke Surabaya bersama tim." Sementara Fahri membiarkan Safira memastikan penampilannya seperti biasa.
"Ke Jakarta dan Surabaya harus ikut?" Perempuan itu bertanya.
"Tentu saja."
"Tidak bisa tidak ikut ya?"
"Sepertinya begitu."
"Kenapa kamu juga harus ikut? Kamu kan Managernya, dan bisa memberi perintah dari sini, kan?" Dia mengusap pundak lebar dan d**a bidang pria itu yang memeluknya setiap malam.
"Masalahnya semua Manager dari tiga cabang juga hadir, dan ini bukan pameran otomotif biasa. Kami mengadakannya secara internasional dan memerlukan perhatian khusus. Lagipula, ini pertama kalinya keikutsertaanku sejak menjabat sebagai manager, jadi ya sudah pasti aku harus ikut." Fahri memberikan alibi.
"Begitu?"
"Ya."
"Tapi boleh aku bertanya?" Safira menatap wajah suaminya lekat-lekat.
"Apa? Tanya saja, biasanya juga kan begitu?" Pria itu membalas tatapannya.
Safira terdiam sebentar.
"Ada apa?"
"Kalau aku khawatir apa boleh?" Pertanyaan pertama dia lontarkan untuk melihat bagaimana reaksi dari suaminya.
"Boleh, kenapa tidak boleh? Kamu kan istriku, jadi sudah seharusnya kamu mengkhawatirkan aku kan?"
"Mas benar." Safira terkekeh.
"Lalu?"
"Aku khawatir saja." Lalu dia tertawa.
"Fir? Aku tahu bukan itu yang mau kamu katakan." Fahri kemudian memeluk pinggang rampingnya dengan erat.
"Masa?"
"Ya, sepertinya kamu mengkhawatirkan hal lain. Apa?" Dia mendekatkan wajahnya.
Safira menatap ke dalam dua bola mata kecoklatan milik suaminya untuk mencari tahu apakah ada sesuatu di dalam dirinya yang mungkin tak dia ketahui?
Tetapi kedua manik lembut itu masih tetap sama seperti lima tahun lalu saat dia menerima pinangannya. Teduh dan menenangkan sehingga dirinya menyerah untuk mempercayakan seluruh hati dan jiwa raganya kepada pria itu. Meski masih belum mampu menyembuhkan luka patah hati atas kehilangan setelah pernikahan Adnan.
Perempuan itu menggelengkan kepala untuk mengembalikan pikirannya yang tiba-tiba saja mengingat pria itu.
"Apa Fir?" tanya Fahri lagi.
"Maaf kalau aku berlebihan, tapi … Mas sendiri tahu kalau aku tidak bisa menyimpan kecurigaan sendiri, karena itu akan menyebabkan aku berpikiran berlebihan. Anxiety ku kambuh, lalu gerd dan semacamnya, jadi …."
"Kecurigaan apa?"
"Umm …."
"Fir?" Fahri mengeratkan pelukan pada tubuh Safira yang mulai gemetaran, efek dari kondisi kejiwaannya karena anxiety yang dideritanya selama ini.
Namun perempuan itu tertawa untuk menetralisir hal tersebut. "Barusan aku menemukan seperti rambut perempuan di kemejamu yang kemarin. Aku merasa terkejut karena rambutku tidak secoklat itu dan juga tidak selurus dan sepanjang itu, jadi …."
"Bu Sonya." Pria itu berujar.
"Apa?"
"Itu pasti rambutnya Bu Sonya yang tersangkut kemarin karena dia terlalu senang atas prestasi cabang di Bandung yang berhasil membawa nama perusahaan ke level yang lebih tinggi. Dia memeluk seluruh tim dengan riang gembira dan seperti orang gila."
"Bu Sonya itu …."
"Senior manager. Dia atasanku dan kepercayaan perusahaan yang membantu kami mengembangkan perusahaan di daerah."
"Oh …."
"Kenapa? Itu membuatmu curiga ya? Hahaha. Aneh sekali." Fahri pun tertawa. Meski jantungnya terasa hampir saja lepas dari tempatnya saat Safira bertanya soal itu.
"Ya, karena itu terasa aneh. Masalahnya kemejamu juga sedikit …."
"Wangi parfumnya ya? Aku tidak suka. Tapi dia selalu menyemprotkan parfum di depan semua orang. Seolah itu akan membuatnya selalu tampil segar."
"Hmm …."
"Tapi bagiku tidak ada yang wanginya secandu kamu." Fahri membenamkan wajahnya di leher hangat Safira dan menghirup udara sebanyak yang dia bisa. Dan rasanya memang menyenangkan.
"Ah, pagi-pagi sudah gombal!" Namun perempuan itu segera mendorong tubuh suaminya agar menjauh.
"Aku serius, ini yang paling aku rindukan jika harus berjauhan denganmu." Lalu Fahri mendekat lagi, meskipun Safira menghindarinya.
"Hentikanlah, Mas. Jasmu nanti kusut lagi." Safira pun meraih blazer kemudian mengenakannya. Dia merapikan make up-nya, memastikan penampilannya juga baik agar tampak seimbang dengan suaminya.
"Kan ada kamu yang merapikannya?" Fahri terkekeh sambil kembali merangkul tubuh perempuan itu.
"Ya, benar. Untung aku bisa melakukan banyak hal ya? Kalau tidak, kita harus menyewa jasa asisten rumah tangga untuk melakukan semuanya."
"Benar sekali, istriku sayang! Keren sekali aku memilikimu dalam hidupku." Dan Fahri mengecup bibirnya dengan gemas.
"Aaa … hentikan! Kita harus berangkat kerja sekarang juga. Bandung macet!" Safira kembali menghindar.
"Setiap hari Bandung memang selalu macet. Tidak sadar ya?" Fahri pura-pura cemberut.
"Makanya kita harus buru-buru. Dan sepertinya aku tidak akan sempat sarapan. Bagaimana dengan kamu?" Safira melihat jam di layar ponselnya yang sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi.
Pagi itu mereka memang bangun kesiangan karena dirinya yang dengan sengaja menunggu kepulangan Fahri hingga larut malam.
"Sepertinya aku juga. Tidak apa-apa, di kantor juga bisa." Fahri pun melakukan hal yang sama.
"Baiklah." Lalu mereka segera pergi setelah yakin jika semuanya rapi.
***
Adnan mengulurkan sebelah kakinya ketika pintu lift hampir saja tertutup. Di saat sekilas saja dia melihat bayangan pergerakan Safira yang memang sangat dikenalinya memasuki gedung Sixth Sense Design.
Dan hal tersebut tentu saja membuat orang-orang memperhatikan karena hampir setiap pagi itulah yang dia lakukan.
"Selamat pagi? Terima kasih sudah menunggu." Safira mengangguk sopan kepada semua orang yang ada di dalam lift, begitu juga pada Adnan.
Lalu dia segera masuk dan seperti biasa, mengambil posisi di tengah tepat di samping atasannya.
"Kamu sudah lebih baik?" Adnan bertanya, persis seperti hari-hari sebelumnya.
"Baik, Pak. Terima kasih." Safira menjawab pertanyaannya.
"Syukurlah." Lalu pria itu menutup mulutnya rapat-rapat setelah mendapatkan jawaban dari asistennya tersebut.
Dalam hitungan menit lift pun berhenti di lantai tempat mereka bekerja, dan semua orang segera keluar menuju ruangannya masing-masing di area tersebut. Begitu juga dengan Adnan dan Safira yang bertugas di ruangan sama.
Perempuan itu berjalan sedikit menunduk di depan sementara Adnan berada beberapa langkah di belakangnya.
Sengaja, dia memelankan langkah dengan maksud untuk mendapatkan sedikit waktu. Tetapi Safira seperti tahu sesuatu, karena setelah berjarak tak berapa jauh dari lift, dia segera mempercepat pergerakan kakinya.
"Fir?" Lalu Sally, seorang rekan segera menghampiri begitu ia tiba di dekat mejanya, sementara Adnan segera masuk ke dalam ruangannya.
"Sepertinya promosi produk yang ini harus dipercepat. Pemiliknya kemarin meminta begitu." Perempuan yang usianya hampir setara dengan Safira itu menunjukkan sebuah dokumen berisi gambar kepadanya.
"Begitu?"
"Ya. GM memintaku untuk memberitahukannya kepadamu agar kamu juga menyampaikanya kepada Pak Adnan."
"Hmm …."
"Dan ini, ada beberapa laporan yang kemarin kamu minta juga. Kami sudah menyelesaikannya." Lalu Sally menyerahkan dokumen lainnya kepada Safira.
"Oh, benarkah? Kalian lembur semalam?"
"Lumayan lah, agar semuanya selesai tepat waktu, bukan?" Sally tertawa.
"Aaa kalian hebat sekali! Benar-benar meringankan pekerjaanku, terima kasih!"
"Biasa saja lah, tidak usah memuji seperti itu." Rekan satu divisinya itu kembali berbicara.
"Hmm … baik, nanti laporan dan permintaan GM akan aku sampaikan kepada Pak Adnan agar segera dikerjakan." Safira meletakkan tasnya di bawah meja, kemudian mendekap dokumen yang baru saja diterimanya.
"Aku laporan dulu," katanya yang kemudian segera masuk ke dalam ruangan Adnan.