Dua Pria

1101 Kata
Untuk ketiga kalinya Safira memeriksa aplikasi chat di layar ponsel. Sekedar untuk memastikan bahwa pesannya benar-benar sudah terkirim kepada suaminya. Tetapi hanya baru centang dua berwarna abu-abu tanda pesan tersebut belum dibaca. Sementara untuk menelpon dia tak berani karena takut menggangu kalau-kalau Fahri ternyata sedang sibuk di tempat kerjanya. "Tapi … bukannya Mas Fahri sendiri yang mengatakan jika aku hanya perlu menelponnya kalau sudah waktunya pulang?" Dia bergumam pelan. "Ya, kenapa tidak aku lakukan dari tadi? Mungkin sekarang ini Mas Fahri sudah datang! Kenapa tidak terpikirkan sama sekali?" Dia menepuk keningnya beberapa kali. Nada sambungnya terdengar tanda ponsel pria itu memang aktif. Dan tulisan berdering di layar pun menjadi bukti bahwa benda itu tidak dalam keadaan mati atau sibuk di panggilan lain. Tetapi setelah mencoba sebanyak dua kali, tetap tak mendapat jawaban. Safira kembali merasa kecewa karena lagi-lagi pria itu tak menepati janji untuk menjemput, atau setidaknya menerima panggilan agar dirinya tahu harus berbuat apa. Dan akhirnya, yang kini bisa dia lakukan adalah diam sambil memikirkan sesuatu. Lalu perhatiannya beralih ketika sebuah mobil hitam berhenti di depannya, yang sudah dia duga jika pengemudinya adalah Adnan. Siapa lagi? Karena sejak pria itu datang dan mulai bekerja dua hari yang lalu, hanya dia lah satu-satunya orang yang sering mengganggunya tanpa alasan jelas. Ya, berusaha membahas topik diluar pekerjaan adalah hal yang tidak jelas, bukan? "Suamimu menjemput?" Dia bertanya begitu kaca mobilnya diturunkan. Safira tak segera menjawab, namun dia berusaha mengalihkan pandangan ke arah lain. "Safira? Apa suamimu menjemput?" Adnan mengulang pertanyaan. "Iya, tapi sepertinya akan sedikit terlambat, Pak." Perempuan itu menjawab. "Kamu yakin dia akan datang?" Adnan bertanya lagi, namun Safira kembali bungkam. "Fir?" "Ya, Pak. Mungkin sedikit terlambat, tetapi Mas Fahri pasti akan datang," jawabnya kemudian setelah dia menghembuskan napas kesal. "Baiklah. Tapi jika kamu butuh tumpangan, kamu tahu kamu bisa …." "Tidak, Pak. Terima kasih. Saya akan menunggu Mas Fahri saja." Safira menekan kalimat terakhir yang memperjelas posisinya di hadapan Adnan. Pria itu mendengus pelan, namuk tak ada yang dapat dia lakukan untuk meruntuhkan kekerasan sikap sepupunya yang satu ini. Ya, di antara beberapa anak kerabat orang tuanya, Safira lah yang paling keras wataknya. Dia tak mudah diluluhkan jika sudah marah, dan tak dapat diobati jika sudah merasa sakit hati. Sejak kecil memang begitu, dan hal tersebut membuatnya tak memiliki banyak teman meski itu saudara mereka sendiri. Dan kedekatan mereka lah menjadi satu-satunya hal yang paling bisa membuat Safira sedikit melunak. Setidaknya itu yang terjadi dulu, sebelum keadaan berubah karena pilihannya untuk menuruti kemauan kedua orang tua. Tapi sepertinya tidak kali ini. Dan dia sadar, keputusannya untuk memilih menikah dengan Khalisa lah yah menjadi penyebab utamanya. Dan dirinya harus berpikir keras mencari cara untuk memulihkannya. Setidaknya, untuk mengembalikan hubungan baik di antara mereka. "Baiklah kalau begitu …." Adnan kemudian melajukan mobilnya sambil tetap mengawasi perempuan itu lewat kaca spion. Dan Safira bergeming di tempatnya berdiri tanpa melirik sama sekali. *** Fahri tak melepaskan pandangan dari Sonya yang tengah mengenakan pakaiannya kembali setelah pergumulan panas mereka beberapa saat yang lalu. Dan pria itu tak pernah merasa puas meski mereka telah mencurahkan seluruh perasaan dan kerinduan yang sempat tertahan beberapa hari karena rekan di perusahaan otomotif tempat mereka bekerja itu harus menjalanian tugas di luar kota. Jadilah sore itu mereka melepas rindu dengan begitu gilanya di sebuah hotel pusat kota setelah menyelesaikan pekerjaan yang ditugaskan oleh atasan. Sonya menduduki paha Fahri seraya memintanya menautkan kembali resleting di bagian belakang pakaiannya. Dan pria itu memang melakukan bagiannya seperti saat tadi saat dia membukanya sebelum mereka bercinta. Dia kemudian mengecup tengkuk perempuan itu seraya menghirup aroma tubuhnya yang begitu memabukkan, membuat Sonya tertawa karena rasa geli yang hadir setiap kali Fahri melakukannya. "Minggu ini sepertinya kita akan sangat sibuk?" Sonya kemudian merubah posisi. "Kau benar. Akan ada banyak event di Bandung dan Jakarta kan? Jadi pekerjaan kita banyak sekali." Fahri menyahut. "Ya. Dan kita akan sering bersama." Sonya mendekatkan bibir merah merekahnya yang sudah kembali ia poles dengan gincu pada telinga Fahri. Pria itu terkekeh dan merasakan hasratnya kembali naik karena hal tersebut sehingga dia merangkul tubuh menggoda Sonya dengan erat. "Tidak …." Namun perempuan itu menolak. "Kau lupa jika sore ini harus menjemput Safira di tempat kerjanya?" Lalu dia berujar. Fahri mengerutkan dahi, kemudian dia melihat jam tangannya. Dan dengan cepat mendorong tubuh Sonya agar turun dari pangkuannya. Lalu ponsel yang sejak tadi menyala namun diseting dalam mode silent pun dia periksa, yang membuat wajahnya memucat begitu membaca pesan dari Safira. "Astaga! Aku lupa!" Pria itu menepuk kepalanya sendiri. Sonya tertawa hingga wajahnya terdongak ke atas ketika dia melihat hal tersebut, dan perasaan puas mendominasi saat dia mengetahui jika seorang pria bisa melupakan istrinya hanya karena sedang bersamanya. *** Safia mengangkat kepala saat sebuah mobil lain yang dia kenali berhenti di depannya. Dan pengemudinya segera keluar setelah mematikan mesin. "Maafkan aku!" Fahri segera berlari kepadanya. "Mas ke mana saja? Aku menunggu dari tadi." Perempuan itu segera melayangkan protes. "Aku tahu, maafkan aku. Tadi ada rapat dadakan dan aku tidak bisa melewatkannya. Semua staf diwajibkan hadir karena akan ada banyak acara besar." Fahri segera memeluk tubuh ramping perempuan itu dengan erat. "Sudah lama menunggu?" Dia memundurkan kepalanya sedikit, lalu menyingkirkan helaian rambut yang menghalangi pandangannya pada wajah Safira. "Mas pikir?" Fahri terkekeh. "Pasti lama sekali, ini hampir petang," katanya sambil mengusap pipi Safira dengan punggung tangannya. Perempuan itu mengerucutkan mulutnya untuk menunjukkan rasa kesal, tetapi Fahri kembali memeluknya dengan penuh kasih sayang. "Maaf, aku janji lain kali tidak akan seperti ini lagi." Dia kemudian berbisik. "Sayang? Maafkan aku!" katanya lagi, lalu dia kembali menatap sambil membingkai wajah lelah Safira dengan kedua matanya yang tampak penuh cinta. Tentu saja itu akan membuat hati perempuan manapun luluh meski seberapa besar kekesalan mereka. Dan dalam hal ini, Fahri memang pandai menjalankan perannya. "Aarrggghh!" Safira pun menggeram untuk mengungkapkan kekesalannya, namun hal itu membuat Fahri tertawa. Dia tahu telah berhasil meluluhkan hati istrinya, seperti biasa. "Baiklah, tapi jangan diulangi lagi ya? Kalau tidak, aku akan selamanya marah kepadamu!" ancam perempuan itu dengan ujung telunjuk yang mengarah kepadanya. Fahri mengangguk sambil tertawa, kemudian dia meraih telunjuknya yang masih mengacung. "Baik, Sayangku. Ayo kita jalan-jalan dulu sebelum pulang? Aku traktir kamu makan malam di kafe favoritmu?" Lalu dia mengeluarkan jurus pamungkasnya. "Pemborosan, Mas. Bukankah kita harus banyak menabung untuk membangun rumah?" Safira mengingatkan. "Sesekali tidak apa-apa, sebagai permintaan maaf ku juga." Pria itu menjawab. "Tapi kakiku masih begini. Apa tidak sebaiknya kita …." "Ayolah, agar aku tidak merasa bersalah." Namun Fahri sedikit memaksa. Sehingga akhirnya Safira pun tak mampu menolak ajakannya, dan mereka segera pergi meninggalkan tempat tersebut. Begitupun Adnan yang tanpa disadari juga pergi setelah memastikan Safira dijemput oleh suaminya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN