The Thought's

1142 Kata
Adnan melirik ketika pintu terlihat didorong dari luar, dan sosok Safira lah yang mendominasi pandangan. Namun dia yang masih bersandar pada kepala kursi belum merubah posisinya hingga perempuan itu berjarak dekat dengan mejanya. "Ada laporan tambahan, Pak." Dia kemudian meletakkan dokumen yang dibawanya di meja Adnan. "Dan ini …." Lalu dia menunjukkan dokumen terpisah yang Sally berikan beberapa saat sebelumnya. "Project iklan yang pembuatannya harus disegerakan." ucap perempuan itu. "Iklan?" Adnan akhirnya merespon, dan dia menegakkan tubuh seraya meraih benda tersebut. Ada beberapa gambar produk mobil sport dengan spesifikasinya yang menerangkan segala keistimewaan dan kelebihannya. "Kerja samanya sudah dimulai saat masih ada manager promosi yang lama, tapi beliau lebih dulu resign kan?" Safira menerangkan. "Hmm …." Adnan menggumam. "Jadi sepertinya ini menjadi bagian Bapak untuk memimpin kami mengerjakannya?" Ragu-ragu Safira menatap wajah Adnan meski sesekali dia mencoba menghindari tatapan manik kelam yang masih tampak misterius itu. Dadanya berdegup kencang karena dia takut pria itu membahas hal pribadi seperti beberapa hari sebelumnya. Tetapi tidak. Adnan bahkan lebih fokus pada gambar, padahal biasanya selalu mencari kesempatan untuk berbicara selain masalah pekerjaan. "Baik." Pria itu meletakkan kembali kertas-kertas tersebut di meja. "Beri saya waktu setidaknya dua hari untuk memikirkan ide, lalu nanti saya share pada kalian ya?" katanya yang kembali pada pekerjaannya semula. Safira terdiam. "Masih ada lagi?" Adnan kini bertanya, yang membuyarkan lamunan asistennya tersebut. "Eee … baik, Pak. Maksud saya, tidak ada lagi. Hanya itu saja." Dan perempuan itu refleks menjawab. "Baiklah." Adnan kembali menatap layar laptop di depannya. "Baik, kalau begitu saya …." Safira pun mundur beberapa langkah ke belakang kemudian memutar tubuh. Namun langkahnya terhenti ketika Adnan memanggil. "Fir?" Dia terkesiap, dan entah mengapa dadanya selalu berdegup kencang setiap kali Adnan memanggilnya seperti itu. Karena hal tersebut mengingatkannya kembali pada interaksi di masa yang lalu. Dan itu membuatnya gelisah. "Umm … maaf, seperti yang sudah saya katakan sebelumnya kalau …." "Tolong mintakan OB untuk membawakan saya air minum ya? Yang ini sudah habis," ucap Adnan tanpa memalingkan pandangan. Safira tertegun dengan wajah memanas sambil menatap gelas air milik Adnan yang lupa belum diisi. Dia mengira jika pria itu akan mengatakan hal lain karena memang biasanya begitu, tetapi kali ini tidak. Sepertinya dia sudah mulai bosan? "Ada lagi?" Lalu Adnan melirik ke arah sang asisten yang masih berdiri di dekat pintu. "Umm … hanya … itu saja, Pak? Bapak tidak mau sekalian saya pesankan kopi?" Entah mengapa Safira melontarkan pertanyaan seperti itu. "Kopi?" Adnan membeo. "Umm … maaf, saya rasa …." "Sepertinya kopi juga bagus karena saya sedikit mengantuk, jadi … boleh saja." Pria itu melanjutkan ucapannya. "Baik." Dan Safira pun segera keluar dari ruangan tersebut sambil menepuk-nepuk kepalanya sendiri. Sementara Adnan terdiam menatapnya, tetapi salah satu sudut bibirnya tertarik membentuk seringaian samar. *** Selembar kertas diletakkan di meja kerja Safira saat perempuan itu menghentikan pekerjaannya karena sudah tiba di jam istirahat. Dan pada saat dia mendongak, maka wajah Adnan lah yang ada di dekatnya. "Bisa saya minta kamu untuk mencarikan barang-barang ini?" Pria itu menggeser catatan yang dibuatnya beberapa saat yang lalu. Safira beralih menatap kertas yang masih ditahan oleh jemari Adnan. "Hanya carikan saja. Saya memerlukannya untuk referensi," katanya lagi seraya menarik tangannya. "Apa harus sekarang?" Safira bertanya. "Nanti saja setelah pekerjaanmu selesai, karena itu akan saya bawa pulang," jawab Adnan. "Pulang?" "Ya. Jadi bisa dicari sore nanti." Safira mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baik, Pak. Sepertinya nanti setelah istirahat. Tidak apa-apa?" Lalu dia meraih kertas tersebut. "Apa bisa?" Pria itu sedikit tidak percaya. "Bisa, Pak. Setelah istirahat saya akan mencarikannya." Safira menyanggupi. "Baiklah, kalau tidak merepotkan." Perempuan itu mengangguk lagi kemudian ia bangkit dari kursi duduknya, sebagaimana Adnan yah mundur dua langkah ke belakang saat ia keluar dari meja kerjanya. "Fir?" Sally yang juga sudah menyelesaikan pekerjaannya segera mendekat. "Mau ke kantin? Ayo kita sama-sama?" Dia menggandeng tangan Safira. "Permisi, Pak? Kami duluan?" Lalu dia beralih kepada Adnan sebelum akhirnya menarik rekan kerjanya tersebut ke tempat yang dituju. "Kau tahu, Fir? Kadang aku merasa curiga kepada Pak Adnan." Sally memulai percakapan sejak mereka masih memilih makan siang di prasmanan kantin. "Curiga kenapa?" Safira meraih nampan dan piring, mengisinya dengan satu centong nasi, daging berbumbu merah, sayuran hijau dan sebuah tahu goreng. Tidak lupa dengan sebotol air mineral dan satu cup salad buah, kemudian mereka memilih untuk duduk di tempat paling ujung kantin yang hari itu tampak ramai. Mungkin sebagian karyawan memutuskan untuk makan di kantin saja ketimbang pergi keluar. "Gerak-geriknya aneh." Sally meneruskan ucapannya. "Aneh apanya?" Safira terkekeh sambil membuka tutup botol air mineral kemudian menyesap isinya. "Kamu tidak lihat caranya menatapmu? Seperti dia sedang memikirkan sesuatu untuk dilakukan atau …." "Ppfftthhh!" Safira hampir saja menyemburkan air yang tengah disesapnya. "Safira!" Dan hal itu membuat Sally bereaksi. Safira meletakkan botol kemudian meraih tisu yang ada di tengah meja untuk mengeringkan mulutnya. "Bicaramu sembarangan! Bagaimana kalau ada yang mendengarnya? Bisa menimbulkan masalah!" "Tidak akan! Lagipula aku hanya mengatakannya kepadamu, tidak kepada yang lain. Meski aku tahu teman-teman juga merasa begitu." "Kau bercanda!" Safira setengah berbisik. "Tidak! Aku sudah mengawasi sejak hari pertamanya bekerja, dan sikapnya padamu aneh. Seperti dia menginginkan sesuatu untuk …." Buru-buru Safira menutup mulut rekan kerjanya tersebut ketika dia melihat sosok Adnan yang memasuki area kantin. "Safira!" Dan segera saja Sally menepis tangannya. "Berhenti, atau Pak Adnan akan mendengarnya. Lalu kita akan dapat masalah karena mengatakan hal konyol!" ucap Safira yang menundukkan wajah agar terhindar dari Adnan yang tengah mengedarkan pandangan setelah dia mendapatkan makan siangnya. "Kau mau bertaruh?" ucap Sally ketika sebuah ide muncul di kepalanya. "Bertaruh soal apa?" Safira terkesiap. "Soal Pak Adnan." "Apa?" Perempuan itu menegakkan kepala dengan tatapan tertuju kepada atasan mereka yang baru satu Minggu bekerja. "Sally?" Safira sedang memikirkan hal konyol saat ini karena melihat gerak-gerik teman kerjanya tersebut. "Jika dia mendekat saat aku panggil, berarti ada sesuatu tentangmu yang menarik perhatiannya. Tapi jika tidak, …." Lalu dia mengangkat tangannya. "Apa? Kau bercanda?" Dan Safira mencoba menghentikannya. "Pak?" Namun Sally tak mendengarkan. Dia malah terus melambaikan tangannya ke arah Adnan yang tengah mencari tempat duduk di area yang sudah hampir penuh tersebut. Dan pandangannya segera tertuju pada perempuan yang sedang melambai-lambai di sudut ruangan tersebut. "Di sini, Pak?" ucap Sally lagi yang membuat Safira semakin menundukkan kepala untuk menyembunyikan wajahnya. Tetapi Adnan tentu saja segera mengenalinya, dan seulas senyum terukir di bibirnya. Kemudian ia berjalan mendekat. "Kantinnya penuh, Pak. Kalau mau Bapak bisa duduk di sini." Sally menggeser nampan miliknya sehingga tersisa ruang yang cukup untuk makan siang yang dibawa oleh atasannya. "Boleh kah? Tidak ada yang duduk di sini?" Pria itu menunjuk salah satu kursi yang masih tersisa. "Ya, Pak. Hanya kami berdua." Sally menepuk lengan Safira. "Iya kan, Fir?" katanya yang membuat rekannya itu mengangkat kepala. "Eee …." "Baiklah kalau begitu." Dan tanpa menunggu lama, Adnan pun segera meletakkan nampan makan siangnya di meja. Sally tampak tersenyum saat dia menangkap sinyal yang aneh, sementara kakinya dan Safira saling menendang di bawah meja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN