Menantu

1490 Kata
"Fir, pengeringnya sudah berhenti!" Suara Fahri membuyarkan lamunan Safira yang sejak setengah jam lalu berdiri di depan mesin cucinya. Perempuan itu menoleh seiring suaminya yang berjalan menghampiri dalam keadaan yang sudah rapi. "Aku pikir kamu menyiapkan sarapan, tahunya masih mencuci?" protes Fahri dengan nada tidak senang. "Astaga, Mas. Maaf, aku lupa." Safira meletakkan keranjang cucian yang semula ada dalam genggamannya, kemudian berlari ke arah dapur. "Tidak usah susah-susah menyiapkan sarapan karena sudah Ibu buatkan. Terima kasih." Hasna meletakkan dua piring nasi goreng buatannya di atas meja. "Aku hampir kesiangan, kan? Teman-teman sudah berkumpul di tempat kerja sementara aku masih di rumah menunggu sarapan." Fahri mendekati meja makan sambil menggerutu. "Inilah sebabnya Ibu menyarankan agar Safira berhenti bekerja. Agar ada yang mengurusimu setiap hari. Bukan karena alasan kesiangan atau banyaknya pekerjaan yang menjadikannya tidak mampu melayanimu sebagai mestinya." Sang ibu berujar. Fahri hanya melirik saja ke arah Safira yang berdiri di depan mereka. "Sudah, lanjutkan lagi saja pekerjaanmu, tidak usah mengkhawatirkan Fahri. Dia bisa Ibu urus," ucap Hasna kepada menantunya. Safira hampir saja beranjak, namun Fahri segera menghentikan langkahnya. "Sarapan saja dulu, Fir. Walaupun kamu libur tapi ada kerjaan juga di rumah, kan?" katanya. Perempuan itu berbalik, tetapi ucapan Hasna membuatnya tertegun. "Tidak usah, Ibu hanya membuatkan sarapan untuk kita saja. Safira kalau mau bisa masak sendiri nanti kalau pekerjaannya sudah selesai." Fahri hanya melirik kemudian melanjutkan kegiatan sarapannya sampai akhirnya Safira kembali ke bagian belakang untuk melanjutkan rutinitas akhir pekannya dengan segudang pekerjaan rumah. "Fir, aku pergi dulu ya?" Setelah beberapa saat Fahri kembali mendatanginya sambil merapikan pakaiannya. Wangi parfum tercium begitu pekat dan Safira mundur dua langkah sambil mengibaskan tangannya untuk menetralisir udara di sekitarnya. "Baik, hati-hati Mas." Namun, ia membiarkan saja ketika Fahri memeluknya untuk beberapa saat. "Jangan terlalu merindukan aku ya? Nanti kamu sakit." Pria itu tertawa setelah melepaskannya. Safira menatap wajahnya yang selalu berseri-seri, dan suaminya itu tampak lebih bersemangat dari biasanya. "Sebentar, Mas." katanya saat Fahri hampir saja pergi. "Ada apa?" Dan pria itu segera kembali. "Bolehkah aku menginap di rumah ibu selama kamu di Jakarta?" Safira bertanya. "Memangnya kenapa jika di rumah saja? Ibu juga di sini sendiri, kan?" Fahri menjawab. "Entahlah. Ini kan pertama kalinya kamu pergi ke luar kota, mana satu Minggu lagi, kan? Jadi sepertinya aku akan kesepian." Safira sedikit terkekeh. "Kesepian apanya? Karena tidak ada yang menemani tidur ya? Hahaha." Pria itu pun tertawa. "Sudahlah, aku pergi dulu. Kalau mau menginap di rumah ibu boleh, tapi jangan selama aku pergi. Satu atau dua malam saja. Kasihan kan ibuku juga di sini sendiri. Bagaimana kalau Ibu butuh sesuatu?" Safira terdiam. "Oke, Sayang? Aku pamit," ucap Fahri lagi yang kembali untuk mengecup pelipisnya sebelum akhirnya ia pergi. *** Safira baru saja akan kembali ke kamarnya setelah semua urusan rumah tangga dia selesaikan. "Safira?" Namun panggilan Hasna menghentikan langkahnya. "Ya, Bu?" Perempuan itu menoleh. "Sini dulu, Ibu mau bicara." Sang mertua menepuk sisi kosong di sampingnya tanpa memalingkan perhatian dari layar televisi. Mau tidak mau Safira pun menuruti perintahnya, karena dia tak punya alasan untuk menolak. Semua tugasnya pada akhir pekan sudah selesai dan dia bahkan berniat untuk istirahat. "Bagaimana, sudah kamu pikirkan soal pembicaraan kita waktu itu?" Hasna segera memulai percakapan. "Pembicaraan yang mana?" Tentu saja Safira langsung bertanya. "Itu, soal kamu berhenti bekerja." Perempuan 60 tahun itu mengarahkan remot tivi untuk memindahkan program yang sedang ia tonton. Safira terdiam untuk sejenak. "Begini, Fir. Ibu harap kamu mengerti kalau seharusnya perempuan yang sudah menikah itu memang sebaiknya diam di rumah saja. Untuk apa sama-sama bekerja, toh Fahri pun sudah cukup." Hasna melanjutkan percakapan. "Tidak baik juga jika suamimu lebih sering dibiarkan mengurus dirinya sendiri, padahal dia punya istri." "Fira tidak membiarkan Mas Fahri mengurus dirinya sendiri kok, Bu. Kan setiap hari sebelum pergi bekerja Fira selalu menyiapkan kebutuhan Mas Fahri." "Itu tidak cukup. Suamimu butuh perhatian lebih, lagipula bukannya kalian sedang menjalani program kehamilan ya? Bagaimana bisa berhasil kalau misalnya kamu tetap bekerja?" Safira menelan ludahnya dengan susah payah setiap kali Hasna memulai bahasan soal kehamilan ini. Rasanya dia sudah kehabisan kata-kata untuk menjawab dan menghentikan mertuanya. "Soal itu biar saja Allah yang mengaturnya, Bu. Kita kan hanya manusia yang berencana, berhasil atau tidaknya tergantung yang mengatur, kan?" Perempuan itu mencoba membalikan ucapan mertuanya. "Ya, tapi jika tak ada usaha apa artinya itu? Kamu tidak akan mendapatkan hasilnya jika tetap egois seperti ini." "Egois?" Safira mencondongkan tubuhnya ke arah Hasna. "Ya. Kalau bukan egois, apa namanya? Padahal kamu tinggal menurut saja pada suami, dan biarkan dia yang berusaha. Sementara kamu tinggal ongkang-ongkang kaki saja di rumah. Menunggunya pulang, mengurusnya dengan baik dan berusaha untuk memberikan keturunan padanya." Safira mengepalkan kedua tangannya yang bertumpu di atas lutut. "Ibu tidak banyak permintaan lho, hanya ingin segera menimang cucu. Apa salah? Usia Ibu ini tidak akan puluhan tahun lagi, dan Ibu ingin melihat Fahri punya anak-anak yang lucu." "Keinginan Ibu tidak salah, tetapi Ibu menyakiti aku." Kalimat itu terlontar begitu saja dari mulut Safira. "Menyakitimu?" Hasna menoleh kepada menantunya. "Bukan kami tidak berusaha, Bu. Dan juga bukan salahku yang belum bisa memberikan keturunan untuk Mas Fahri, hanya saja …." "Apa? Kamu mau menyalahkan anak Ibu?" Perempuan itu bereaksi, sementara Safira sekuat tenaga menahan diri. "Bisa-bisanya kamu berbuat begitu? Seharusnya kamu itu berterima kasih kepada Fahri karena sudah menyelamatkan hidupmu." Safira hampir saja membuka mulutnya untuk menjawab, tetapi Hasna sudah mendahuluinya mangatakan banyak hal. "Kalau bukan Fahri yang menemukanmu pingsan di kampus dan hampir mati karena tubuhmu lemah tidak mungkin kalian bisa menikah. Lagi pula, kenapa sih dia mau-maunya menikahi perempuan depresi seperti kamu?" Hasna segera menyerangnya. Safira menatap wajah mertuanya yang memang dia ketahui tidak menyukainya sejak awal Fahri membawanya ke rumah itu. Dan ucapannya soal kejadian bertahun-tahun yang lalu di kampus, membuatnya kembali teringat pada masa itu. Di mana dirinya dalam keadaan depresi karena patah hati membuatnya tidak mempedulikan apa pun selama berbulan-bulan hingga sering mengalami sakit yang cukup parah. Lalu hadir lah Fahri sebagai teman di kala sepi dan sedikit demi sedikit mengembalikan semangatnya untuk bangkit. Meski sulit, namun pria itu dengan gigihnya berjuang merebut hatinya yang sudah tak berbentuk karena ditinggalkan cinta masa kecilnya. "Fahri itu sebenarnya, kalau mau berjuang untuk kembali pada mantan pacarnya bisa saja. Waktu itu mereka sudah saling memaafkan dan hampir bersama lagi. Tetapi karena bertemu denganmu jadinya mereka benar-benar berpisah. Padahal Ibu sudah berencana akan menikahkan mereka jika sudah selesai kuliah. Tapi gara-gara kamu, rencana Ibu jadinya gagal!" Dan Hasna berbicara semudah menghembuskan napas, sehingga tanpa sadar dia mengungkit hal yang seharusnya tak diungkit di masa sekarang. Dan hal itu membuat Safira kehilangan kata-kata. "Tuh kan, kamu membuat Ibu bicara sembarangan, sih. Jadinya mengatakan yang tidak-tidak, kan?" Sesaat kemudian Hasna tersadar, tetapi itu tak membuatnya berhenti mengusik menantunya. Namun dering ponsel milik Safira mengalihkan perhatian mereka dan menghentikan percakapan tersebut. Dan kontak Melia lah yang menghubungi. Perempuan itu segera menjawab tanpa meminta izin kepada mertuanya yang masih tampak berapi-api. "Hallo, Bu?" "Fir?" Bukan suara ibunya yang menjawab, tetapi suara lain yang tentu sangat dia kenal. "Ada apa? Kenapa Abang menelpon lewat hape Ibu?" Safira segera saja bertanya. "Dengarkan dulu, jangan salah paham. Abang hanya …." "Kenapa? Berikan hapenya kepada Ibu! Aku mau bicara!" Dia pun bangkit dari sofa kemudian berlari ke arah kamarnya di lantai dua. "Sebentar, Fir. Tante Melia sedang tidak bisa bicara saat ini, makanya Abang …." "Berikan hapenya kepada Ibu! Berani-beraninya kamu menghubungiku dengan alasan Ibu!" Safira membanting pintu begitu dia berhasil masuk ke dalam kamarnya, kemudian berteriak. "Tenanglah dulu, aku sedang mencoba untuk berbicara sekarang ini! Tante Melia masuk rumah sakit, dan aku sedang menemaninya!" Adnan balik berteriak sehingga Safita pun terdiam. "Apa?" "Dengarkan aku! Mengapa kamu selalu saja bereaksi berlebihan seperti ini? Tante Melia sedang membutuhkanmu, dan sekarang ini kondisinya …." "Abang bawa ke mana Ibu? Apa yang terjadi?" Safira segera berganti pakaian tanpa menghentikan panggilan telpon. "Rumah sakit S*****a. Sekarang dokter sedang menanganinya." "Ibu kenapa, Bang?" Safira mulai terisak saat dia mengenakan jaketnya. "Abang tidak tahu. Hanya saja waktu Abang lewat di depan rumah dan mampir, keadaannya sudah berbaring di tangga. Mungkin jatuh?" "Astaga, Ibu!!" Perempuan itu mulai menangis. "Jadi, bisakah kamu datang? Karena sepertinya Tante Melia membutuhkanmu, dan dokter juga butuh persetujuanmu untuk …." "Aku pergi sekarang!" Dia pun segera keuar dari kamar setelah meraih kunci motornya di atas meja rias. "Safira? Kamu mau ke mana?" Hasna menoleh ketika mendengar suara langkah yang tergesa dari arah tangga. Dan Safira sudah mengenakan jaketnya yang sering dia gunakan untuk pergi bekerja. "Fira mau ke rumah sakit dulu, Bu." Perempuan itu menjawab singkat. "Ke rumah sakit untuk apa? Memeriksakan kandunganmu yang kosong?" Hasna mencibir. Safira berhenti di ambang pintu kemudian berbalik. "Ibu Fira masuk rumah sakit, dan tidak sepantasnya Ibu berkata seperti itu kepada anak perempuan seseorang yang telah putra Ibu bawa ke rumah ini dengan layak secara hukum dan agama." Dia menjawab sebelum akhirnya pergi tanpa menoleh lagi ke belakang. "Apa? Berani-beraninya dia berbicara seperti itu kepadaku? Dasar menantu kurang ajar!" Hasna menggerutu, namun sesaat kemudian ia mengembalikan perhatiannya pada layar televisi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN