Pekerjaan

1030 Kata
"Bapak serius?" Sally bereaksi setelah mendengar sedikit cerita Adnan. "Tanyakan saja pada Safira." Pria itu meneguk air mineralnya sambil menatap perempuan yang dimaksud, yang masih berusaha menghindar meski dia sudah bercerita. "Fir, yang dikatakan Pak Adnan itu benar?" Sally meyakinkan apa yang baru saja diketahuinya. Safira masih menatap ke arah lain sambil berusaha menghabiskan makanannya yang semakin lama terasa semakin hambar saja. "Safira!" Dan Sally menepuk lengannya dengan keras sehingga rekan kerjanya itu bereaksi. "Aww, Sally? Sakit!" protesnya yang membuat Adnan hampir saja menyemburkan tawanya. Safira melirik, kemudian mendelik. "Masa dengan sepupu sendiri seperti itu? Kamu keterlaluan!" ucap Sally yang lagi-lagi menepuk lengan perempuan itu. Safira menghembuskan napas keras. "Memangnya itu penting untuk diceritakan ya? Lagipula, apa untungnya kalau kita satu tempat kerja dengan kerabat? Rasanya tidak ada faedahnya." Akhirnya Safira buka suara. Dia merapikan nampan dan bungkusan makanan yang kini bahkan tak menarik seleranya untuk dilahap. "Aku duluan, ada sesuatu yang harus dikerjakan setelah ini." Kemudian dia bangkit sambil membawa nampan tersebut. "Permisi, Pak?" katanya kepada Adnan yang raut wajahnya berubah setelah dia mendapat tanggapan soal ceritanya yang menyatakan bahwa antara dirinya dan Safira ada hubungan kekerabatan. "Fir, tunggu! Permisi, Pak? Saya duluan." Dan Sally pun segera mengikutinya keluar dari kantin setelah mengembalikan nampan makan siang pada pihak pengelola kantin. Sementara Adnan tertegun di tempat duduknya. Entah dengan cara apa dia bisa mendekat dan mendapatkan kesempatan untuk berbicara dengan perempuan itu. Karena rasanya ini menjadi semakin sulit saja. *** Sally terus mengikuti Safira yang kembali ke ruangan mereka di lantai lima gedung Sixth Sense. Masih dengan pertanyaan yang sama. "Kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku, Fir? Ada apa sih sebenarnya?" Perempuan itu belum mau menjauh sebelum ia mendapatkan jawabannya. "Tidak apa-apa, hanya tidak penting saja." Safira membuka laci untuk mencari kertas yang Adnan berikan sebelum mereka pergi ke kantin. "Tidak penting tapi reaksimu begitu? Aneh sekali." Sally menatapnya dengan raut curiga. Safira tertawa agak keras begitu dia menyadari hal tersebut. Benar juga. Mengapa dirinya harus selalu bereaksi berlebihan jika berhadapan dengan Adnan? Bukankah di antara mereka tidak ada apa-apa? Lantas mengapa segala hal yang berhubungan dengan pria itu selalu membuatnya merasa terganggu? "Fir?" Sally kembali berbicara, dan perempuan itu memang tidak akan berhenti sebelum ia mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang telah dilontarkannya. Setidaknya begitulah Safira mengenalnya setelah hampir lima tahun bekerja bersama di tempat tersebut. "Iya, Sally. Pak Adnan itu sepupuku. Dia tinggal di dekat rumah ibu dan kami cukup akrab. Lalu apa masalahnya?" Sally mendengarkan. "Aku hanya tidak ingin membuatmu, atau orang-orang berpikir bahwa aku akan mendapat keistimewaan karena di adalah atasanku. Itu saja." Safira menjelaskan. "Lalu mengapa reaksimu begitu? Kau sepertinya merasa tidak suka waktu Pak Adnan membahasnya? Kan aneh." Safira meniupkan napasnya di udara. "Hanya tidak suka saja jika hal seperti ini diekspose. Tidak penting dan tidak ada gunanya juga kan?" "Bukankah bagus jika atasanmu adalah sepupumu? Kau tidak akan menemukan kesulitan yang berarti karena dia juga tidak akan tega memberimu beban dan tekanan yang lebih berat seperti kepada karyawan lainnya?" ucap Sally yang sedikit tertawa karena hal tersebut. "Kau bercanda!" Namun Safira memutar bola matanya. "Iya, kan? Karena dia masih kerabatmu, maka dia akan menyesuaikannya saja denganmu." "Konyol. Itu tidak profesional. Kita kan sedang bekerja, bukan mengurus perusahaan keluarga. Apanya yang menyesuaikan?" "Ya setidaknya kau tidak akan mendapatkan tekanan yang sama seperti jika bekerja dengan atasan yang lain." "Belum tentu. Karena terkadang tekanan lebih berat akan kita alami jika bekerja dengan orang yang kita kenal di rumah. Dan itu sangat sulit untuk dihadapi." "Masa?" "Percayalah." Sally kini terdiam. "Aku harus mencari barang-barang ini dulu ke bawah. Pak Adnan sangat membutuhkannya." Lalu Safira menunjukkan kertas yang sudah ditemukannya. "Oh ya? Perlu bantuanku?" Sally menawarkan bantuannya. "Oh, tidak usah. Ini sudah tugasku. Kau bantu saja aku dengan menyelesaikan bagianmu." "Ah, baiklah. Padahal aku bersemangat sekali membantumu untuk urusan ini." "Terima kasih, Sally. Tapi tidak." Kemudian Safira beranjak dari hadapan rekannya untuk mencari apa yang sang atasan butuhkan. *** Andan merogoh ponsel dari saku celanya ketika benda itu berbunyi nyaring, dan kontak Khalisa yang menelpon. Dia segera menjawab sambil meneruskan langkah ke dalam ruangannya setelah melirik meja kerja Safira yang tanpa keberadaan si pemiliknya. "Ayah?" Wajah putrinya langsung mendominasi pandangan. "Hey, Sayang? Ada apa?" Adnan duduk di kursinya. "Aku baru pulang sekolah, hari ini Bunda yang jemput." Bilqis memulai cerita. "Benarkah? Tumben sekali?" "Iya, Yah. Hari ini Bunda ada pekerjaan tambahan sampai malam. Jadi mungkin nanti tidak pulang." Terdengar sahutan Khalisa dari belakang. "Tidak pulang?" "Iya, rumah sakit sangat sibuk. Banyak pasien yang mengalami gangguan kesehatan yang sama, jadi semua orang sangat dibutuhkan di sana." Adnan terdiam. "Bilqis Bunda bawa ke rumah Ibu saja ya? Soalnya kalau ditinggal di sini dengan Mbak katanya tidak mau." Perempuan itu mendekat. "Ayah?" panggil Khalisa ketika pria itu tak merespon. "Bagaimana di Bandung? Apa pekerjaannya sesuai?" tanya nya kemudian yang membuat Adnan memalingkan perhatian. "Sesuai, Bun. Dan sepertinya Ayah cocok di sini. Tidak butuh waktu lama juga untuk menyesuaikan diri, jadi …." "Tapi tetap bisa pulang satu Minggu sekali, kan? Nanti akhir pekan Ayah bisa pulang?" tanya Khalisa lagi. "Belum tahu, Bun. Dan Ayah tidak bisa janji. Karena baru tadi pagi Ayah sudah mendapatkan tugas, dan harus diselesaikan dalam beberapa hari." "Oh … Bunda pikir Ayah bisa pulang, karena di rumah sakit juga begitu. Kasihan Bilqis sering sendirian." Adnan tampak mendengus keras setelah mendengar penuturan istrinya. Bahkan jarak yang jauh dan kondisi seperti ini pun tak membuatnya berpikir untuk berhenti. Tapi malah semakin menjadikan dirinya semangat bekerja, lebih dari sebelumnya. "Kalau kasihan kepada Bilqis, seharusnya Bunda berhenti saja, kan? Kenapa masih bekerja juga? Bukankah anak kita lebih membutuhkan perhatian dari pada pasien-pasien itu?" Akhirnya kalimat itu terlontar juga dari mulutnya, yang membuat Khalisa terdiam dengan kening berkerut. "Sudah jam satu, Bun. Ayah harus kembali bekerja." Lalu, seperti biasa pria itu menghindar setelah mengatakan hal yang sudah memang sering dia katakan kepada Khalisa. Karena tahu, jika hal itu tidak akan menghasilkan apa-apa. "Bilqis, Sayang. Sudah dulu ya? Nanti sore atau malam Ayah telfon lagi ya? Bilqis baik-baik di sana, oke?" Lalu dia beralih menatap wajah putrinya yang sejak tadi terdiam. Dan akhir-akhir ini dia memang selalu seperti itu jika menyimak percakapan kedua orang tuanya yang kadang berakhir dengan ketegangan. "Assalamualaikum?" Lantas Adnan mematikan sambungan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN