Baju Kebaya Encim

2024 Kata
“Selamat sore, Kak. Selamat datang di Queen’s Boutique. Boleh dibantu Kak mau mencari busana yang seperti apa?” tanya Alana pada seorang pelanggan yang baru datang ke butik. Pelanggan perempuan yang mengenakan hijab itu segera menghampiri Alana yang menyambutnya. “Hai, Mbak. Saya mau mencari kebaya untuk tunangan, ada di sebelah mana ya, Mbak?” “Oh untuk kebaya ada di sebelah sana, mari ikuti saya, Kak,” seru Alana dengan senyuman di bibirnya. Alana menuntun pelanggannya tersebut dengan keramahan sehingga pelanggannya merasa diperhatikan. Hingga akhirnya Alana sampai di depan mannequin yang memakai macam-macam kebaya. Ada yang memakai kebaya Jawa, kebaya Kartini, kebaya Bali, kebaya Encim, dan lainnya. “Di Queen’s Boutique menyediakan banyak jenis kebaya dan modelnya. Kakak bisa lihat-lihat di sini ya,” kata Alana seraya menunjuk telunjuknya ke mannequin tersebut. Perempuan Indonesia lebih memilih kebaya sebagai busananya di hari-hari tertentu karena dapat menonjolkan kepribadian yang anggun. Bentuk dari kebaya sendiri, selalu mengikuti liuk badan pemakainya sehingga membuat perempuan bisa lebih menjaga dirinya. Adapun assesoris yang dikenakan, yakni ikat pinggang yang panjang. Hal itu sebagai penanda yang mengandung filosofi Jawa untuk selalu bersabar dalam berbagai tantangan yang ada. Kalau pribahasanya nih ya, “dowo ususe” yang bermakna panjang ususnya (baca: sabar). “Mau pilih jenis dan motif yang mana, Kak?” tanya Alana. “Kayaknya saya tertarik dengan baju yang …” pelanggan perempuan itu mencari kebaya yang sesuai dengan seleranya di rak baju. Baju yang sudah tergantung rapi di hanger itu dipilah-pilah oleh pelanggan dengan teliti. Namanya juga perempuan ya, bund. Kalau cari barang harus teliti-teliti banget, gak mau asal comot doang. Apalagi barang yang dipakai dihari tertentu, pasti ketelitian dan kriteria akan naik dua ratus persen! “Saya mau yang ini, Mbak,” pelanggan tersebut menjamah baju kebaya yang berwarna merah muda dengan lipatan di bagian leher kebayanya lebih sempit daripada lainnya. Ya! Itu namanya kebaya Encim, bund. Kebaya yang dipakai perempuan-perempuan TiongHoa Peranakan. Kebaya Encim itu memiliki bagian ujung bawah yang meruncing, dan pola pinggang menyempit melebar di bagian panggul secara berurutan. Alana pun manggut-manggut dan tersenyum seraya mengambil kebaya yang diminati pelanggannya itu. “Ini ya, Kak? Kebaya jenis Encim yang memakai border brokat di pergelangan tangan …” Usai memilih baju kebaya, Alana membawa pelanggannya untuk melakukan p********n. Alana meng-scan barcode yang ada di kerah baju tersebut, dan muncullah harga dari kebaya. Namun, Alana mengerutkan dahinya ketika melihat harga yang tertera dan terdiam sesaat. “Mbak, berapa total kebayanya?” tanya pelanggannya yang sudah membuka dompet di hadapan Alana. “Ah … hmm, sebentar ya Kak saya ulang lagi, harganya belum terbaca sempurna,” Alana mengusap barcode kebayanya itu dan kembali men-scan menggunakan barcode scanner. Lalu … terlihat Alana menggeleng-gelengkan kepalanya. Alana tak hilang akal, ketika harga tidak muncul saat di-scan. Itu artinya ia harus memasukan kode barang secara manual ke format yang sudah tersedia. “467514 baju kebaya Encim, search!” seru Alana setelah mengisi seluruh formatnya. ERROR! Barang yang anda masukan tidak ada di daftar penjualan. Silakan masukan kembali kode barang yang tersedia. Alana bengong sebentar, baru kali ini ia mendapati barang yang tidak ada harganya. Padahal, sebelum menggantung baju-baju yang akan dijual, Alana dan Gesya selalu mendata harga dan jenis barangnya lewat komputer.  Akan tetapi, barang ini berbeda dari yang lainnya. “Sya! Gesya!” seru Alana. “Iya, Al?” tanya Gesya yang asyik menggambar di mejanya. “Coba sini sebentar, ada satu barang gak ter-detect harganya,” ujar Alana. Tidak perlu menunggu terlalu lama, Gesya segera menghampiri Alana. “Mana, mana barangnya?” Gesya mencari barang tersebut dengan menggerlingkan kedua matanya ke sekitar meja p********n. “Nih! Kebaya Encim yang ada di rak baju paling belakang sana,” kata Alana seraya menyerahkan baju kebaya Encim berwarna merah muda itu. Lalu menunjuk tempat di mana pelanggannya menemukan baju ini. Gesya mengambil kebaya tersebut dan dilihatnya betul-betul. “Astaga Al! Ahahahaha,” Gesya malah tertawa dan menggelengkan kepalanya. Hal itu membuat Alana dan sang pelanggan mengernyitkan dahinya. “Kenapa oy? Jangan bikin malu gue dong!” Alana menarik pelan dan membisiki Gesya. “Maaf ya Kak, untuk baju kebaya Encim yang warna merah muda ini tidak dijual. Kalaupun Kakak masih mau membeli kebaya Encim yang seperti ini, bisa kok. Tapi, harus pesan dari sekarang, karena kita akan men-desain  dan menjahitnya terlebih dahulu. Gimana, Kak?” seru Gesya pada pelanggan yang sudah siap-siap membayarnya. Alana bergeming. Kedua matanya hanya melempar secara bergantian menatap Gesya dan pelanggan yang ikutan bengong juga. “Maksud lo apa sih, Sya?” kata Alana. “Kenapa barangnya gak dijual yang jelas-jelasnya ada di rak baju.” “Lo diem dulu deh Al,” pekik Gesya ke Alana yang tampak panik. Emang sih, Alana panik banget kalau kehilangan kepuasan pelanggan. Tapi … ini masalahnya berbeda! “Bagaimana, Kak, apa mau memesan kebayanya dulu?” Gesya terus menanyakan ke pelanggan. “Boleh sih, tapi saya minta warnanya hijau muda, boleh?” jawab pelanggan. “Boleh banget! Untuk warna bisa diatur sesuai permintaan pelanggan. Saya data dulu ya Kak, boleh minta nama lengkap dan kalau boleh tahu buat dipakai kapan ya, Kak?” Gesya meletakan baju kebaya Encim yang tidak dijual itu di meja kasir. Gesya pun mengambil buku catatan kecilnya dan menyiapkan pulpen untuk mendata. “Nama saya Angel Karamoey, bajunya dipakai sekitar tiga bulan lagi kok, Mbak,” jawab pelanggan tersebut yang namanya Mbak Angel. Oalah Mbak Angel? Mbak-mbak yang penuh dengan kesulitan?! Bercanda, hehe. Kalau dalam bahasa Jawa sendiri, angel itu artinya sulit. Sesulit gimana caranya comblangin Alana dan Richard, hahah. Gesya mencatat dengan baik di buku catatannya tentang Angel. “Baik, Mbak, baju kebaya Encim permintaan Kakak akan kami buat secepatnya. Dan untuk awal, diminta membayar DP sebanyak enam puluh lima persen ya, Kak,” terang Gesya. “Berapa, Mbak?” tanya Angel. “Satu juta tiga ratus empat puluh lima ribu rupiah, Kak,” jawab Gesya. “Oke deh, ini ya saya p********n pakai debit,” balas Angel lagi dan kali ini memberikan kartu debitnya yang berwarna abu-abu itu. Hayooo, ada yang bisa nebak Angel pakai kartu apaan? Hahaha. “Hah? Hoh?” Alana masih terbengong-bengongkan dengan kejadian sore ini. Jam butik sudah mau ditutup, tapi kenapa ada kejanggalan yang seperti ini. Udah gitu ini sama sekali gak ada dibicarain antara Alana dan Gesya. Tuh kan, Alana jadi kayak anak magang yang gak tahu apa-apa. Padahal, malah dia yang mengatur segala konsep dan manajemen butiknya ini. Kartu debit abu-abu tersebut masih berada di tangan Angel, dengan Alana yang masih tak berkutik. Karena keburu lama dan kehilangan untung, Gesya cepat-cepat menarik kartu debit Angel itu. “Sini, Kak. Biar saya buatkan notanya,” seru Gesya. Gesya menyenggol tubuh Alana yang terpaku itu dengan pinggulnya. Tubuh Alana pun tersenggol tanpa menolak. Angel yang menjadi penonton mereka berdua di sana, ikut terkekeh karena melihat tingkah laku Alana yang membingungkan itu. “Terima kasih banyak ya, Kak. Ditunggu baju kebaya Encimnya kira-kira akan selesai satu bulan lagi. Kalau bajunya sudah selesai, akan kami hubungi,” terang Gesya seraya memberikan struk p********n dan kartu debit milik Angel. “Oke deh. Terima kasih banyak ya, Mbak,” kata Angel dan membalikan badannya untuk keluar butik. TENG! TENG! TENG! Jam menunjukan pukul setengah lima sore. Artinya, setengah jam lagi mereka harus tutup. Gesya pun menarik tirai yang ada di pintu masuk butik, dan dibaliknya papan nama bertuliskan CLOSED. “Yey! Kerjaan hari ini selesai,” seru Gesya dengan wajah semringah dan mengangkat kedua tangannya ke atas. “Sya, gue gak ngerti deh sama lo,” Alana tampak mengacak pinggang. “Hahaha soal kebaya Encim itu? Asli deh, lo kayak orang bego banget tadi! Hahaha,” tukas Gesya yang masih terngakak melihat raut wajah dari Alana. “Gimana gue gak kelihatan bego, lo aja gak ngasih briefing ke gue soal baju yang gak dijual. Lagipula juga gue baru lihat ada kebaya Encim di situ. Biasanya kan lo paling malas bikin kebaya Encim yang penuh hiasan itu,” balas Alana. Gesya menghampiri Alana yang masih di meja kasir. “Al, tau gak ini kebaya gue rancang khusus buat lo!” “Buat gue? Emang dalam rangka apa lo ngasih gue kebaya? Gue udah wisuda woy! Gak ada pakai kebaya-kebayaan lagi mah,” tepis Alana. “Eittts! Ada lagi satu hari bahagia lo yang lo itu harus pakai baju rancangan gue sendiri …” kata Gesya mengangkat baju kebaya Encim tersebut dan diperlihatkan menyeluruh pada Alana. “Gue bikin kebaya ini kurang lebih selama tiga bulan ketika gue sedang gabut menyelesaikan tugas akhir. Gue bener-bener menumpahkan segala imajinasi, inovasi, dan seluruh jiwa dan tenaga gue buat nge-desain kebaya ini. Hasilnya pun MAKSIMAL!” beber Gesya yang pikirannya tiba-tiba ter-flashback. Di sebuah kamar kos mewah yang ada air conditioner, TV, dan kamar mandi dalam, Gesya sedang bergelayut manja di atas tempat tidurnya ditemani sehelai kertas HVS putih dan perkakas tulisnya. Saat itu, Gesya mempunyai ide setelah menonton Festival Kebaya Kartini di kanal YouTube. Ia membuat kebaya yang dirancang sedemikian rupa, tampak sederhana namun elegan. Ada beberapa motif di bagian bawah kebaya, dan brokat-brokat yang menempel di sisi pinggang kebaya. Apalagi dalam hal penentuan warna, Gesya sengaja memilih warna merah muda alias pink. “Dalam ilmu psikolog yang gue tahu, warna merah muda ini menjelaskan adanya kelembutan, kefeminiman, kencantikan, dan sesuatu hal yang menyenangkan dalam diri seseorang. Gue pengen sekali membuat siapapun yang memakainya terlihat anggun! Dan gue akan kasih baju ini nantinya ke orang yang paling berjasa dalam hidup gue ….” semburat senyum terlukis di bibir Gesya setelah baju kebaya Encim itu berhasil di-desain di atas kertas HVS-nya. *** “Jadi, begitulah ceritanya, Al!” tukas Gesya senyum-senyum menceritakannya. Alana juga mendengarkan cerita Gesya itu dengan fokus, tanpa memalingkan pandangannya ke mana-mana. Dan, akhirnya Alana pun membalas, “Buat gue? Serius? Eh gue nanyanya serius ya, kali ini coba jawab yang serius, deh,” Alana mulai salah tingkah. “Iya, buat lo, Al! Nih nih!” Gesya mengulurkan kebaya tersebut ke tangan Alana. “Hahaahaha, asli deh Sya, lo lucu banget aktingnya. Bisa-bisanya ngasih gue kebaya yang gue sendiri gak tahu asal-usul dan filosofisnya … salah orang kali lo!” tepis Alana yang menganggap ini semua hanya lelucon yang dibuat si bocil Gesya. Alana melangkahkan kakinya ke meja kerjanya untuk membereskan barang-barang yang berserakan. Alana pun masih senyum-senyum dengan penjelasan Gesya yang barusan. Sedangkan Gesya, malah gantian bengong. “Lah, kok Alana gak senang, sih? Harusnya kan dia bahagia sambil terloncat-loncat karena sudah mendapatkan kebaya hasil desain gue yang maksimal ini,” batin Gesya yang tidak sesuai dengan ekspetasinya. “Al! ini loh bajunya buat lo!” Gesya mengkode Alana agar segera mengambilnya. “Lucu deh lo ah. Berhenti bercandanya, Al. Udah, udah, sekarang letakan lagi kebaya itu di raknya, dan lo rapiin meja kerja lo. Ayok lah, sudah mau senja ini,” tukas Alana sembari merapikan mejanya itu. Alana membuang kertas-kertas yang ada di meja. Ya, Alana selalu gercep kalau soal rapi merapi, terkadang pun Alana yang merapikan meja Gesya karena Gesya adalah perempuan yang agak malas soal beres-beres. Gesya manyun, ia gemas sekali dengan Alana yang menganggap ini sebuah lawakan. Padahal kan niat hati Gesya itu bagus, ingin memberikan sebuah barang yang dibuatnya secara tulus dan pakai mikir keras. Gesya pun melipat kebaya Encim itu sambil merengut, “Pokoknya gue harus bikin Alana percaya kalau baju ini beneran buat dia … dan buat dipakai di hari pertunangannya sama Abang Richard, hahaha,” ujar Gesya dalam hatinya. Gesya melangkah juga ke meja kerjanya, dan memasukan kebaya tersebut ke laci yang ada di bawah mejanya. “Al, nanti malam dinner sama gue yok, udah lama banget kan kita gak makan bareng,” seru Gesya pada Alana yang sudah selesai beres-beres. “Tumben, hehe. Kenapa sih hari ini lo ada aneh-anehnya gitu,” balas Alana. “Gak usah mikir yang macam-macam deh lo! Ikutan ya, gak pakai nolak!” timpal Gesya yang hobinya pemaksaan. Tapi kalau pemaksaannya soal traktiran, gak masalah deh. Hehehe. Seraya Gesya merapikan meja kerjanya jua, Alana masih berpikir kenapa hari ini Gesya menunjukan gelagat yang menurutnya aneh. Pertama, soal baju kebaya Encim yang tidak dijual dan ternyata buat Alana. Kedua, soal makan malam hari ini yang direncanakan tiba-tiba.       
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN