Rencana Selanjutnya

1842 Kata
Gesya yang baru saja lulus dari sekolah tata busananya, memantapkan hatinya untuk membuka butik yang isinya baju-baju mewah dan modis buatannya. Gesya tidak sendirian, ia bersama Alana terus membuat inovasi terbaru agar pelanggan-pelanggannya merasa puas dan selalu repeat order. Kayak jualan cilok gitu loh gengs, repeat order. Dan, baju yang menurut mereka paling popular dan menawan, diletakannya di mannequin depan butik. “Bagus ya desain dari lo!” seru Gesya pada Alana yang sedang membersihkan baju menawan yang menjadi andalan mereka. “Ya iyalah, siapa dulu yang desain?” Alana mulai menyombong. “Lo yang desain, siapa dulu yang modalin?!” balas Gesya lagi. “Hehehe, nyokap lo,” Alana nyengir. “Pinter. Eh tapi tau gak sih Al, nyokap gue itu selalu suka dengan semua desain baju lo. Dan kalau gue minta saran atas desain gue tuh ya, nyokap gue selalu bilang … ya minta aja saran sama Alana, dia lebih jago dan hasil karyanya gak pernah gagal,” cerita Gesya dan hanya melihat Alana yang masih bersih-bersih. Gesya gak ada niatan mau ngebantu, gitu?! Alana terkekeh, “Bilang terima kasih banyak ya sama nyokap lo yang sudah bantu biayain kuliah tata busana gue. Kalau gak karena nyokap lo, gue juga gak bisa begini kali. Gue hanya anak yatim piatu yang miskin, dan gak bisa—“ “Sssstttt! Melas-melasnya nanti aja ya. Gue lagi gak mood ngomongin itu. Yang penting sekarang lo sehat, bahagia, dan sekolah lo selesai!” timpal Gesya yang memang tidak tertarik dengan obrolan Alana yang barusan. Pasalnya, Gesya tidak mau Alana merasa sedih lagi karena urusan orang tuanya, atau finansialnya. Pokoknya, Gesya gak mau lihat Alana sedih dan melas-melas, harus semangat! Semangat empat lima! Alana tersenyum kecil dan manggut-manggut. “Lo gak lanjutin ngedesain? Bulan ini kita baru dapat satu baju fix, harusnya kan dalam rencana kita ada tiga baju,” tanya Alana. “Hmm, ntaran dulu deh, otak gue masih ngelag (baca: terlambat), gue mau menghirup udara segar dulu,” jawab Gesya seraya merentangkan kedua tangannya dan menengadah ke atas pelapon. “Al, kira-kira kapan lo merencanakan untuk nikah?” tanya Gesya. Alana memberhentikan aktivitas bersih-bersihnya. “Pertanyaan yang gak bisa gue jawab, belum ada pandangan soal itu. Dan, belum ada orang yang cocok juga,” jawab Alana simpel. “Kalau nikah sama Bang Richard, mau?” tembak Gesya dengan pertanyaan menakutkan bagi Alana. Alana tidak langsung menjawab, ia menaruh rapi terlebih dahulu peralatan kebersihannya. Alana pun berdiri di hadapan Gesya sambil melipat kedua tangannya di depan d**a, “Gesya yang manis dan cantik … gue gak mungkin nikah sama abang lo. Jangankan nikah, ngobrol aja gak ada asik-asiknya, malah kayak ngomong sama tembok. Nah, kalaupun akhirnya gue nikah sama abang lo, yang ada gue merasa nikah sama diri gue sendiri!” tukas Alana menatap tajam ke Gesya. Gesya hanya manyun dan tidak bisa menjawab apa-apa. “Maaf deh maaf, bukannya gue nolak, tapi … ah sudahlah, lebih baik kita lanjutin desain bulan ini yok!” Alana sergap merangkul Gesya yang masih manyun atas penolakan Alana tadi. *** “Chad! Chad! Richard! Bangun Chad, kamu gak ke kantor?!” Bu Vivian membangunkan Richard yang masih tertidur lelap di atas tempat tidurnya. Richard pun tak menghiraukan suara dari Bu Vivian dan masih asyik memeluk guling empuknya. Bu Vivian menengok kembali jam dinding, sudah pukul tujuh lewat sepuluh menit. Bu Vivian mengambil segayung air di kamar mandi Richard, dan menyipratkannya tepat di depan wajah Richard. “Ayo bangun … ayo mandi … masa kamu kalah sama ayam yang sudah bangun duluan? Masa kamu kalah sama sapi yang sudah diperah pagi-pagi?” seru Bu Vivian. Tampak Richard mengerutkan keningnya, kedua matanya sayup-sayup dibuka perlahan. Saat Richard membuka mata, terlihat Bu Vivian sudah memegang gayung dengan tatapan yang tajam ke arahnya. “Ayo … bangun! Masa kalah sama ayam, sih!?” suara Bu Vivian sudah tidak terdengar samar lagi. “HOAAAAAM!” Richard mengucek kedua matanya dan mencoba duduk. “Ini masih pagi, Mami … coba tuh lihat, baru jam enam!” seru Richard seraya menunjuk jam tangan yang ada di meja sebelah tempat tidurnya. “Apaan! Ini jam tangan mati, Chad! Coba lihat tuh, jam tujuh lewat lima belas nih sekarang. Cepat ke kantor!!!” Bu Vivian makin menggoyang-goyangkan tubuh Richard yang belum bertenaga itu. “Astaga … ketuker lagi jam gue sama Marsha,” decak Richard dan merebahkan tubuhnya kembali. “Marsha lagi Marsha lagi! Kamu itu ya semenjak kenal sama Marsha, suka banget pulang malam, terus ngebangkong terus gak ada artinya. Kayak gitu kah cerminan anak muda? Gak banget! Ayo sekarang bangun Chad!” tukas Bu Vivian yang kini menyemburkan air dalam gayung itu ke wajah Richard. “Iyuuuuh … jorok banget sih Mam!” Richard langsung mendorong selimut yang mendekapnya itu dan menurunkan kedua kakinya ke lantai. “Iya ini gue mandi, Mam,” langkah Richard pun tertatih-tatih menuju kamar mandi. “Eh eh eh, ini gayungnya ketinggalan!!!” seru Bu Vivian sambil menepuk-nepuk gayung tersebut ke lengan Richard. “Mandi yang bersih, biar Alana makin demen!” celetuk Bu Vivian dan ngacir keluar dari kamar Richard. Dan seperti biasa ketika mendengar Alana, Richard mengangkat ujung bibirnya dan menggelengkan kepalanya. *** “Gimana, Richard sudah bangun, Mam?” tanya Pak Niko yang sudah rapi sekali di teras rumah. “Baru aja bangun. Duh, susah sekali ngurus anak laki-laki satu-satunya, suka pulang malem, bangun gak pernah pagi kayak dulu,” keluh Bu Vivian. “Namanya juga anak laki-laki, Mam. Yang penting dia sudah tahu apa resikonya dan bagaimana pertanggung jawabannya,” jawab Pak Niko santai. “Papi kok santai banget, sih? Tau gak sih makin hari itu si Richard makin bangkang sama Mami,” keluh Bu Vivian kedua kalinya. “Bener-bener deh, kayaknya kita harus cari cara biar Richard itu tenaaaaaaang gitu hatinya.” “Bawa aja ke psikiater, Mam. Ada tuh temen Papi kalau mau,” saran Pak Niko. “Jangan buru-buru dibawa ke psikiater ah, Pap. Mami dan Gesya itu rencananya mau menangani keras kepalanya Richard dulu. Apa sih yang dia ingini …” “Ya sudah kalau gitu. Terus, soal comblangan Richard dan Alana, gimana? Masih berjalan mulus, kan?” tanya Pak Niko sambil bisik-bisik. Bu Vivian menengok ke belakang, kali aja ada Richard yang nguping. Eh ternyata tidak ada. “Masih berjalan sih Pap, cuma ya gitu, gak ada satupun rencana yang berhasil,” bisik Bu Vivian lagi. “Coba pakai cara yang lainnya aja, Mam. Langsung ajak mereka berdua makan malam, gitu,” saran Pak Niko. “Bisa juga sih, kita ala-alanya makan keluarga di restoran, tapi tiba-tiba kita mengundang Alana. Gitu kali ya, Pap?” Bu Vivian membuat rencana. “Ide bagus! Nanti ketika makan malam sudah selesai, kita pelan-pelan ngobrol dengan mereka dan menyambungkan chemistry mereka,” Pak Niko menimpali. “Ah, oke oke, bagus tuh rencananya! Tos dulu kita Pap!” Bu Vivian mengulurkan telapak tangannya dan Pak Niko menepuknya. PLAK! “Halo, Papi, Mami, serius banget nih ngobrolnya … ngobrolin apa, sih?” tiba-tiba saja Richard datang sambil memperbaiki dasi di kerah bajunya. “Ah gak ada kok,” ucap Bu Vivian tanpa ragu. “Sudah ganteng anak Mami, yuk berangkat ke kantor. Itu Papi sudah nungguin dari tadi loh,” ujar Bu Vivian menepuk pundak Richard. “Papa sudah siap? Kira-kira hari ini kantor tutup jam berapa ya, Pap?” tanya Richard sambil mengatur jam tangannya. “Kamu ini belum masuk ke kantor malah nanya kapan tutupnya. Kerja dulu, Chad! Belakangan aja kalau mikirin jam tutup kantor!” tegas Pak Niko yang sudah beranjak dari duduknya dan membawa tas. “Hehehe, bercanda Pap, kok galak amat sih! Mami, gue pergi ke kantor dulu, ya,” ucap Richard dan melambaikan tangannya menjauh dari Bu Vivian. “Loh, gak salaman sama Mami?” tukas Bu Vivian yang tangan kanannya sudah terlanjur terjulur. “Gak usah pakai begituan, Ma. Richard bukan Gesya yang masih bocil hehe, cium jauh aja ya Mam, bye!” seru Richard lagi yang memasuki mobilnya. TIN! TIN! Mobil Mercedes—Benz milik Richard itu sudah keluar dari garasi rumah. Bu Vivian pun langsung menjalankan rencana yang baru saja dirancangnya dengan Pak Niko. “Pasti rencana ini akan berhasil!” kata Bu Vivian begitu percaya diri. Bu Vivian yang masih ada di teras rumah, mengambil duduk di kursi. Ya iyalah kalau berdiri terus bisa sakit itu pinggangnya. Bu Vivian mengeluarkan ponselnya dan mengirimi Gesya sebuah pesan singkat. Sya, nanti malam Mami dan Papi ada rencana makan malam keluarga. Kamu tolong ajak Alana buat ikut, ya. Ini salah satu rencana kita berikutnya untuk mendekatkan Alana dan Richard. “Yah … semoga semua ini akan berhasil. Saya gak sabar punya menantu kayak Alana yang sopan, cantik, manis, pintar, dan berwibawa. Pasti cucu-cucu saya bakal ngekor sifat-sifat itu, sehingga keluarga saya menjadi keluarga yang paliiiiing bahagia,” harap Bu Vivian usai pesan yang diketiknya itu terkirim ke Gesya. *** KRING! Suara ponsel Gesya sebelas dua belas kayak bel yang ada di butik, membuat Alana berdiri untuk menyambut pelanggan. “Ahelah, gue kira ada pelanggan, ternyata ponsel lo!” gerutu Alana dan kembali duduk di kursi kerjanya. “Hehehe sengaja gue kasih dering kayak gini biar bawa-bawa aura pelaris di sini,” kata Gesya bercanda. “Syirik ya lo?! Main jin ya lo!?” timpal Alana membelalakan kedua matanya. “Husss! Santai Mbak broooo! Gue cuma bercanda, kali. Udah gak usah panik, gue ini suci, bersih, gak berani bawa-bawa jin ke sini!” balas Gesya. “Awas lo ya!” Alana memperingati. “Iya, Al! bawel amat sih. Sana lanjutin aja gambaran lo!” pinta Gesya. “Iya lo juga, jangan IG-an mulu, Sya!” balas Alana lagi dan Gesya menjulurkan lidahnya ke Alana. Alana pun membuka ponselnya yang tadi berdering. “Ada apa nih Mami nge-chat, biasanya juga nelpon,” pikirnya dalam hati. Gesya pun membaca pesan dari Bu Vivian, ia langsung senyum-senyum dan merasa semangat sekali. Sampai-sampai vas bunga di mejanya ikut terjatuh, “YEAH!!!!”  Alana spontan menengok. “Kenapa lo senyum-senyum? Dapat pacar baru dari TanTan?” “Idih kagak! Gue mah gak level dapat pacar dari aplikasi begituan,” wajah Gesya mengecut. “Terus … tadi apa yang jatuh tuh? Jangan bilang cermin lo pecah!” tanya Alana. “Aman Al, ini hanya vas bunga plastik kok yang jatuh. Cuss lanjutin kerjaan lo,” Gesya menenangkan dan merapikan kembali vas bunga yang terjatuh. Alana kembali fokus di depan kertas-kertas yang sudah digambarinya menjadi sebuah busana yang ciamik. Ada gambar dress pesta, baju casual, bahkan ada juga gambaran mengenai busana festival Internasional. Ya, Alana memang perempuan pemikir, inovatif, dan suka sekali menggambar hal-hal baru untuk diaplikasikan ke busananya. Dan sangat tidak terkejutnya kalau Alana menjadi salah satu mahasiswa terbaik saat kelulusan tata busana tahun kemarin. Alana memperhatikan lagi gambarannya, siapa tahu ada yang kurang, bisa ia tambahi apapun itu. Sementara Gesya dengan cepat membalas pesan Bu Vivian. Siap empat lima Mami-ku Sayang! Lucu banget sih rencananya buat ketemuin mereka berdua. Semoga mereka berdua bisa tertarik pada pandangan ke sekian kalinya ya, Mam! Biar kita gak susah-susah lagi mau comblangin mereka.    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN