Kesal

1736 Kata
CHEERS! Dua buah gelas sengaja disentuh kan oleh Richard dan Marsha sehingga membunyikan TING! yang begitu halus. Kemudian, Richard dan Marsha meneguk minuman yang sudah ada di dalam gelas tersebut, sirup rasa strawberry hasil jasa nitip dari teman sebelah kamarnya. "Kira-kira besok lo ke sini gak, Sayang?" Tanya Marsha ketika dua tegukan sirup sudah ditelannya. "Ya kalau lo nyuruh gue ke sini, gue akan ke sini. Tinggal telepon aja sih," Jawab Richard. Marsha manggut-manggut. "Kayak tadi ya? Hehe. Maaf ya gue nyuruh Mama nelpon lo ke sini, soalnya pulsa gue lagi cekat," Seru Marsha. "Iya gak masalah. Ntar gue beliin pulsanya," Balas Richard. "Terima kasih, Sayang. Oh iya, gimana kabar Adik lo yang ngeselin itu?" Tanya Marsha kemudian. "Baik-baik aja. Kenapa?" Jawab Richard. "Gak apa-apa sih. Cuman nanya doang, dia masih banding-bandigin gue sama Alana?" Tanya Marsha lagi yang kali ini meneguk sirup terakhir dari gelasnya. "Kalau di depan gue sih, enggak ya, dan kemungkinan besarnya juga enggak, Sayang," Jawab Richard sepengetahuannya. "Ya bagus lah kalau begitu. Gue kurang nyaman aja punya calon Adik ipar yang suka banding-bandigin gue sama perempuan lain yang jelas-jelasnya levelnya jauh banget di bawah gue!" Seru Marsha seraya menghentakan gelasnya yang sudah kosong itu ke atas meja. Richard ikut meneguk habis sirupnya, dan meletakan gelasnya di samping milik Marsha. Richard merapatkan duduknya ke Marsha, "Sayangnya Richard yang paling cantik ini, gak usah khawatir sama ucapannya Gesya si bocil itu ya. Anggap saja itu candaan dia doang, dan gak benar adanya. Lagipula, segimanapun Gesya dan Nyokap gue ngelakuin apapun buat gue dan Alana, its totally messy! Lo ngerti, kan?" Jelas Richard sambil mengelus pundak pacarnya yang hanya dibaluti kimono tipis itu. Marsha melempar pandangan ke Richard, ia tersenyum lebar hingga gigi gingsulnya terlihat. "Tapi gue berharap, lo jangan sampai kemakan omongan nyokap dan Adik lo sendiri ya. Apalagi yang cenderung jelek-jelekin gue," Respon Marsha dengan tatapan tajam, menusuk ke sela-sela bola mata Richard. Richard menganggukan kepalanya kembali dan tersenyum membalas tatapan penuh arti dari kekasih hatinya itu. Marsha dan Richard masih duduk bersebelahan, di atas sofa yang berada di depan TV. Marsha senang sekali karena Richard masih menganggap dirinya baik, cantik, dan selalu menarik perhatiannya. Padahal, di belakang Richard pun, Marsha mempunyai rahasia kelam yang pasti akan membuat Richard menjauh darinya sejauh mungkin. Apakah rahasia tersebut? Marsha mengelus pipi Richard yang terdapat brewok di bawahnya. Richard selalu suka ketika Marsha mengelus apapun yang ada tubuhnya, terus-terusan membuat Richard nge-fly. Marsha pun begitu, selalu berusaha membuat Richard melayang, agar kemudian dia bisa meminta dana lebih untuk keesokan harinya. Aksi pun dimulai, Marsha mulai mendekatkan wajahnya ke wajah Richard. Tampak hanya dua sentimeter saja wajah keduanya bertemu. Marsha tetap memandang mata kekasihnya itu dan kini mengelus nya manis di bagian jawline. Richard tersenyum dan mendorong pelan-pelan kepala Marsha di bagian belakang. Marsha pun tampak tak mengelaknya, dan malah menempelkan bibirnya ke bibir Richard yang sudah siap untuk dikecuop. Bibir manis Richard dan Marsha sehabis minum sirup merah itu saling bertemu. Keduanya menuntun bibir mereka untuk bertaut di tengah kesunyian malam ini. Kedua mata Richard dan Marsha juga ikut merasakan kenikmatan tersebut, dan tak ingin ini cepat berakhir. "WOYYYYY!" Teriakan seorang perempuan membuat Marsha dan Richard buyar dengan aktivitasnya. Di sebelah TV sudah ada Bu Alin yang memegang sapu lidi. Sontak saja Marsha dan Richard menjauhkan posisi duduk mereka. "Masih mau diterusin lagi? Hah?" Tanya Bu Alin kepada keduanya seraya sapu lidi itu di pukul-pukulkannya ke meja bawah TV. Marsha beranjak dari duduknya dan memegang pundak Bu Alin. "Mama gak tidur? Ini sudah malam banget loh jam dua pagi. Nanti sakit loh kalau kebanyakan begadang," Seru Marsha dengan manisnya sambil memperbaiki kerah baju Bu Alin yang miring sana miring sini. "Gak bakal Mama tidur kalau kamu masih berduaan sama Richard. Mama gak mau terjadi hal-hal yang kalian inginkan," Balas Bu Alin. "Enggak kok, tenang aja Ma. Richard dan Marsha adalah anak yang baik-baik. Kita berdua gak mungkin ngelakuin hal-hal yang Mama pikirkan itu," Marsha berusaha menjelaskan. "Gak! Enggak!" Bu Alin menggeleng. Sapu lidi yang ada di tangan kanannya itu semakin di hentaknya. "Buktinya tadi apa? Kalian sudah berhasil memanfaatkan kelalaian saya, kan?" Richard ikut berdiri. "Tante Alin, apa yang Tante Alin lihat tadi, sebenarnya tidak seperti itu. Saya dan Marsha hanya ....." Richard pun terhenti karena belum memikirkan jawab yang pas. Jadinya, Richard hanya garuk-garuk kepalanya saja tuh sambil cari alasan yang masuk akal. "Sudah ah sudah. Mama gak mau ya kejadian itu terulang lagi. Mama gak mau dapat ocehan dari orang-orang lainnya kalau kalian berdua m***m di sini tiap malam," Peringatan dari Bu Alin yang mengacungkan telunjuknya ke depan wajah Richard dan Marsha. "Iya Ma, iya. Sudah sabar dulu ya sabar. Gak baik ngomel malam-malam, nanti tekanan darahnya tinggi lagi loh!" Kata Marsha yang dari tadi berusaha menenangkan ibunya. "Iya Te. Jangan kebakar emosi dulu, hehe. Oh ya berhubungan hari sudah malam menuju pagi yang seperti ini, saya pamit pulang ya," Akhirnya Richard pun pamit pada Bu Alin dan tak lupa mencium punggung tangan Bu Alin. Richard mengarahkan kakinya ke depan pintu, dan memakai alas kakinya terlebih dahulu. Dengan senyuman dan lambaian di tangan kanannya, Richard berseru, "Selamat malam menjelang pagi, Tante Alin, Marsha. Gue pulang duluan!" "Iya, Hati-hati ya sayang, jangan ngebut biarpun jalanan malam ini kosong melompong," Tegas Marsha seperti biasa. "Ho oh. Nanti kamu langsung pulang ya. Jangan mampir ke sana ke sini, apalagi ke klub. Dan satu lagi, jangan nginap di rumah perempuan lain!" Bu Alin pun ikut menegaskan. Richard hanya mengangguk sambil tersenyum dan membuka pintu kamar. Raga Richard pun sudah tak tampak lagi di hadapan Marsha dan Bu Alin. "Ih Mamaaaaa kenapa sih ganggu gue sama Richard!!!!" Marsha mencak-mencak marah. Di malam yang sesunyi ini, Marsha membuat suatu suara dari hentakan kakinya. Seraya melipat kedua tangannya di depan d**a, Marsha memasang wajah yang mengecut. Bu Alin mengikuti Marsha, "Marsha Sayang, kamu tahu kan kalau Mama ini gak mau kehilangan anak Mama untuk kedua kalinya seperti Almh. Kakak kamu?" Marsha membalikan wajah ke Bu Alin. "Mati karena narkoba, gitu? Ya enggak lah! Gue sama sekali gak bakal nyerempet ke pergaulan itu, Ma. Lagipula gue paham kok mana yang bener mana yang salah." Bu Alin mengelus rambut Marsha. "Tapi kan langkah pertama yang dilakukan kakakmu dahulu itu, adalah pergaulan bebas. Almh. Kakak kamu itu suka sekali bawa laki-laki yang berbeda ke rumah. Bahkan sampai nginep loh! Mereka melakukan hal yang gak sepantasnya dilakukan oleh orang yang belum menikah. Dan Mama gak mau itu terjadi sama kamu," Bu Alin mencoba memberi pemahaman. "Ih! Kenapa yang dikhawatirkan itu terus, sih?! Gue dan Kak Mira itu berbeda Ma! Sangat berbeda seratus delapan puluh derajat!" Tegas Marsha yang berpindah tempat ke atas tempat tidurnya. Bu Alin menggeleng, tetap mengikuti kemana puterinya pergi. "Marsha Sayang, kamu harus paham kenapa Mama melakukan hal sedemikian rupa sama kamu, salah satunya membatasi pergaulan kamu dengan Richard," Ujar Bu Alin sambil rebahan di samping Marsha. "Richard itu kan sudah baik banget sama kita berdua yang pengangguran ini, Ma. Dia rela loh beliin apartemen ini buat kita seharga lima milyar. Dia rela beliin barang-barang mewah untuk kita berdua, dan membiayai penuh hidup kita. Masa Marsha gak bisa sih kasih sedikiiiiiiit doang kenikmatan untuk Richard?" Tegas Marsha yang hatinya gemas dengan perlakuan Bu Alin malam itu, terlalu mengekang perbuatan yang dilakukan oleh dirinya dan Richard. Padahal kan kalau cara pacaran anak zaman now ibukota, mau cipokan, pelukan, atau anu-anu kan sudah biasa. Ahelah! Marsha ketinggalan zaman banget. Mana first kiss nya sama Richard tadi gak berakhir mulus. *** Keesokan harinya, Alana baru saja bangun dari tidur indahnya. Seperti biasanya pun, Alana siap-siap pergi ke butik untuk bekerja. Tak lupa, Alana selalu membuka hasil desainnya tiap pagi, sebelum berangkat kerja. Buku cokelat yang tersimpan di laci kamarnya, menyimpan banyak sekali karya-karya busana Alana untuk dijual. Namun, entah kapan Alana ingin merealisasikannya karena gambaran itu terlalu indah dan berharga untuk dijual. "Yap! Baju pesta selutut lengkap dengan pernak-pernik cantik berwarna emas. Di bagian bawah dibuat sedikit mengembang agar menciptakan kemewahan. Hmm, kayaknya di bagian kerah bajunya ini kurang srek deh ..." Tukas Alana yang memikirkan model di bagian kerah bajunya itu berhari-hari dan sekarang tak kunjung usai. "Nanti aja ah. Ini gak bakal selesai kalau cuma dikerjakan lima belas menit sampai tiga puluh menit." Ujar Alana. Ia kembali menutup buku cokelatnya itu dan disimpannya di dalam laci. Biarpun hari-hari Alana disibukan dengan kerjaan di luar ruangan, Alana tetap memantau perkembangan karyanya yang ia buat setiap malam, sebelum tidur. Alana adalah perempuan pemimpi. Ia memiliki segudang impian yang tertimbun di dalam hatinya, dan berharap akan terealisasikan secepatnya. Alana pun bukan perempuan yang cepat menerima keadaan sulit, ia harus berusaha bangkit dalam keadaan sulit itu dan mengubahnya menjadi lebih baik. Alana, adalah perempuan hebat. Biarpun hidup sebatang kara tanpa ayah dan ibunya yang sudah lama menghadap Tuhan, ia masih saja mempunyai kekuatan untuk menjalani hidup seperti sekarang ini. "Selamat pagi! Eh lo sudah datang, Ges. Tumbenan banget pagi-pagi ngalahin gue," Seru Alana yang menyenggol Gesya di depan rak baju terbaru. "Ye! Emangnya lo doang yang bisa berangkat pagi? Gue juga bisa kaliiii!" Sewot Gesya seraya menjulurkan lidahnya ke Alana. Alana pun terkekeh melihat perempuan yang tiga tahun lebih muda daripada dirinya, "Gesya Gesya ... Pagi-pagi udah bikin gemas aja. Eh tapi seriusan deh, dalam rangka apa lo datang duluan ke butik? Mau ngasih gue surprise ulang tahun? Ya sayang banget, kan ulang tahun gue udah sebulanan yang lalu," Ujar Alana yang begitu percaya dirinya. "Ih lo jadi perempuan kepedean banget ya Al! Hahaha. Emangnya siapa lo mau gue kasih surprise?" Gesya dengan sergap nya menggeleng kepala. "Hahaha ya kali aja beneran mau kasih surprise. Ya padahal gak apa-apa telat satu bulan!" Alana terus mengkode Gesya. Tampak Gesya melirikan mata ke Alana sambil mengerutkan dahinya. "Bercanda! Bercanda Al!!!! Gue gak butuh surprise segala, kok. Ucapan selamat ulang tahun dari lo yang kemarin sudah cukup hehe. Ya udah ya gue mau sapu-sapu butik dulu," Tukas Alana menepuk pundak Gesya. Gesya pun melihat kepergian Alana dari belakang rambutnya. Gesya ingin sekali bercerita tentang keegoisan Richard terhadap Bu Vivian. Tapi, ketika Gesya cerita sama Alana, apa Alana gak ilfeel sama Richard? Mana rencana terbesar Bu Vivian dan Gesya itu, menjadikan Alana dan Richard sepasang suami istri. "Hmm, kayaknya nanti aja kali ya gue cerita ke Alana soal keresekan abang gue itu. Dan gue yakin sih, cepat atau lamban, abang gue bisa baik kayak dulu lagi, sebelum mengenal si mak Lampir dan Marsha jelek itu!" Batin Gesya yang meraung kesal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN