NIGHTY NIGHT

1329 Kata
"Gimana kamu sama Key?" Rolfie hela napas mendengar sang papa bertanya seperti itu padanya. Ia yang tengah duduk di sebelah papanya sembari menunduk lantas langsung mendongak dan menoleh menatap wajah pria paruh baya itu. "Ya nggak gimana-gimana, pah." Sangat singkat. Malam ini, kisaran pukul setengah delapan lewat sekian menit, Rolfie dan kedua orang tuanya sudah tiba di bandara. Mereka duduk di kursi yang tersedia untuk menunggu jam terbang orang tuanya tiba. Mama sedang pergi sebentar untuk membeli camilan yang bisa mereka nikmati ketika menunggu atau untuk disantap dalam pesawat nanti. Sementara Rolfie dan papanya tetap di kursi, duduk bersebelahan. Papa membaca koran yang disediakan pihak bandara di sudut tempat duduk, sementara Rolfie hanya terdiam menunduk tanpa mau membuka ucapan. "Kenapa bisa istrimu berpikir untuk cerai?" tanya papa lagi. Rolfie hela napas. "Rolfie juga nggak tau." "Kamu ngerasa udah nggak cocok?" Rolfie menggeleng. "Rolfie ngerasa cocok sama dia, pah." Papanya terkekeh. Ia tertawa kecil sembari melipat lembaran koran karena sudah tak ingin lagi ia baca. Rolfie yang bingung kenapa papanya tertawa lantas hanya bisa menoleh menatap papa, tanpa berani bertanya apa alasannya. "I know you love her so much." Begitu jawaban papa selanjutnya. "Yeah, you know," balas Rolfie pelan. Sejenak hening, lalu kemudian. "Fie," panggil sang papa, dibalas deheman oleh Rolfie. "Kamu tau nggak?" "Tau apa, pah?" "Lima tahun pertama pernikahan itu adalah tahun yang sulit." Rolfie terdiam, menatap papanya. "Tahun pertama, kedua, ketiga, dan keempat, mungkin masih biasa aja dan terasa manis. Tahun kelima, biasanya di tahun itu banyak masalah soal rumah tangga mulai berdatangan. Soal anak lah, pasangan lah, keuangan lah, dan masih banyak lagi." "Berarti maksud papa, ini tahun tersulit buat Rolfie dan Key?" Papa mengangguk. "Bisa jadi." Rolfie hela napas. Ia lantas bersandar pada sandaran kursi, dan mengusap wajahnya. Ia lelah. "Kamu ini pemimpin keluarga. Setelah Key melahirkan nanti, keluargamu hancur atau enggak, itu tergantung bagaimana kamu mengaturnya sekarang," kata papa. "But it's hard, dad." "Nggak ada yang mudah dari pernikahan." Lagi-lagi, Rolfie menatap ke arah sang papa, dan dibalas tatapan juga olehnya. "Semua pasangan punya masalah mereka masing-masing. Jangan pikir masalah rumah tangga kamu saat ini adalah yang paling berat," kata papa lagi. "Setiap kepala keluarga akan berpikir keras memperjuangkan keluarganya. Nggak kamu doang, Fie." "Tahun kelima papa menikah sama mama, papa juga punya masalah?" Papa lagi-lagi terkekeh. "Tahun kelima itu bahkan cuma awal permulaan masalah. Tahun-tahun berikutnya bisa jadi datang lagi masalah yang lebih besar," katanya. "Jelas aja papa sama mama pernah punya masalah. Percayalah, nggak ada satupun pasangan di dunia ini yang nggak pernah bertengkar." "Kalo itu Rolfie tau, pah." "Nah kalo kamu tau, berarti kamu juga udah siap melewatinya." Sejenak, Rolfie tertegun. "Pertengkaran dan masalah itu bumbu kehidupan, Fie. Termasuk juga kehidupan pernikahan," papa ambil jeda, lalu menghela napas panjang. "Kalo bukan karena pekerjaan, papa bakal tetep ada di London buat kamu." "Nggak pa-pa. Yang penting papa jaga diri aja di sana." "I know, son." "What you know?" "You can handle it by yourself." Mendengar respon itu membuat Rolfie terdiam kesekian kalinya. Selang beberapa menit, mama akhirnya datang menghampiri Rolfie dan papa sembari membawa beberapa kantung camilan di tangan kanan dan kirinya. Ia nampak buru-buru, bergegas meraih koper selagi tangannya mampu untuk menggenggam barang. "Ayo, pesawatnya udah mau landas," kata mama. Papa yang mendengar ucapan itu langsung mengecek arlojinya dan mendapati bahwa kini sudah jam delapan kurang tujuh menit. Pesawat yang mereka tumpangi adalah penerbangan malam yang akan lepas landas jam delapan. Mengetahui hal itu, Rolfie langsung meraih dua koper dan beberapa tas tangan yang selanjutnya ia bawa sembari menemani kedua orang tuanya menuju pesawat. Mama dan papanya kantas memeluk putra tercintanya itu sejenak sebelum akhirnya naik ke dalam burung besi yang sudah berdiri di hadapan mereka. Mama menatap Rolfie dengan tatapan nanar, ada segaris senyuman pahit yang mama ukir di wajahnya. Ia menyentuh pipi Rolfie dan mengusapnya sejenak, "Kalo ada masalah apa-apa, telpon mama sama papa," katanya, lalu kemudian memeluk tubuh Rolfie. "Iya mah," balas Rolfie singkat dalam dekapan itu. Rolfie lantas tersenyum hangat ketika mama melepas dekapannya. Lalu sorot matanya teralih pada papa yang berdiri beberapa senti di belakang mama. Papa lantas maju ke depan mendekati sang putra, masih bisa tertawa kecil untuk yang kesekian kalinya di hadapan Rolfie. "You have to take your family care," kata papa, dan Rolfie hanya mengangguk. "Cause you know why?" "Cause i'm a man." *** Clak! Sepi. Itu kesan pertama yang Rolfie lihat di rumahnya. Mungkin seisi rumah sudah tidur. Rolfie membuka sepatu dan kaus kakinya yang lantas ia letakkan di rak sepatu dekat pintu. Ia berjalan pelan menuju dapur, menegak segelas air setelah kurang lebih satu jam setengah menempuh jalan pulang dari bandara sampai rumahnya. Tak lupa juga ia memasukkan es krim yang tadi sudah ia beli ke dalam kulkas, pesanan Angel, tapi kini gadis kecil itu sudah terlelap. Tak lama setelah melegakan dahaganya, Rolfie langsung masuk ke kamar. Hal pertama yang ia pikir akan ia lihat adalah Keyrina yang sudah tertidur. Tapi ia salah, karena Key masih duduk di atas meja rias dan bercermin. Ia sempat menoleh ke belakang yang tak lain adalah pintu kamar ketika Rolfie membukanya, namun setelah itu ia kembali bercermin. Rolfie membuka pakaiannya sesaat setelah menutup pintu dan meletakkan tas kantornya. Ia menggantung kemeja, jas dan dasinya di tempat yang sudah disediakan, menyisakan kaos polos putih biasa dan celana pendek hitam di tubuhnya. Ia melirik ke arah istrinya, menghela napas pelan, lalu menghampiri. Ia menyentuh puncak sandaran kursi dengan kedua tangannya, memandang Key yang begitu cantik lewat cermin rias di hadapan mereka. Tangan Rolfie perlahan terulur, mengambil sebuah sisir yang tergeletak di atas meja rias, perlahan dengan penuh cinta, ia menyisir rambut panjang Key yang bahkan sudah bagus meski tak disisir. Tak ada penolakan, namun juga tak ada perbincangan. Keyrina hanya bungkam tanpa peduli Rolfie yang tengah menyisir rambutnya, sementara Rolfie pun tetap membisu sembari berpikir soal kenangan awal pernikahan bertahun-tahun lalu. Ya sebagaimana detik ini, dahulu Rolfie menyisir rambut Key setiap sebelum tidur. Namun bedanya dulu ada kebahagiaan, selalu ada senyuman dan pembicaraan yang terselip disela waktu singkat selama menyisir rambut panjang itu. Rolfie tersenyum kecil hingga siapapun mungkin tak sadar ia tengah tersenyum. Ia meletakkan sisir itu kembali di atas meja rias setelah selesai dengan rambut istrinya. Keyrina yang tau bahwa tak ada lagi yang perlu mereka lakukan lantas langsung bediri untuk selanjutnya masuk ke dalam kamar mandi dan mencuci wajahnya. Biasalah, ritual wanita sebelum tidur. Rolfie sempat tersenyum girang selama Key ada di dalam kamar mandi. Ya, setidaknya Key tidak melihat suaminya sebahagia itu hanya karena kembali bisa menyentuh dirinya tanpa penolakan. Rolfie memandang ke arah pintu kamar mandi yang Key tutup dari dalam. Masih saja tersenyum sembari menunggu istri tercintanya itu keluar. Bukan, bukan untuk bergantian masuk. Clak! Rolfie sempat tersenyum kecil ketika Key keluar kamar mandi. Key yang berdiri bingung lantas menatap Rolfie balik dengan tatapan tanya. Tapi Rolfie tak menjawab, bibirnya masih saja bungkam dan membiarkan tak adanya obrolan di antara mereka. Namun perlahan tubuh Rolfie mulai maju semakin mendekat ke arah Key, kedua tangannya terulur, satu tangannya di belakang leher, satu tangan lagi di lekungan kaki. Perlahan, dengan sangat hati-hati, Rolfie menggendong sang istri. Key yang kaget masih saja diam dan lagi-lagi tak menolak. Ya, ia ingat. Ini yang Rolfie lakukan di hari pertama pernikahan mereka. Menggendong Key yang turun dari mobil setelah pulang dari acara resepsi dan membawanya hingga ke kamar. Dengan balutan gaun dan kemeja pengantin, lima tahun lalu inilah yang mereka lakukan. "Sleep well." Kata Rolfie ketika membaringkan tubuh Key di atas kasur. Rolfie membaringkannya dengan posisi miring, karena detik selanjutnya yang ia lakukan adalah merebah di sebelah Key dan tidur menyamping menghadap Key. Lagi, ini juga yang mereka lakukan di hari pertama menikah. Rolfie tersenyum manis dalam posisinya, menghadap ke arah Key dan menatapnya dengan penuh perasaan cinta yang Rolfie harap bisa Key rasakan. "This is what we do on our first night. Remember?" tanya Rolfie. Namun balasan Keyrina hanyalah bungkam, dan juga posisi tidur yang ia rubah membelakangi Rolfie. Lagi-lagi, kesakitan hati yang menjadi jawaban. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN