YOU WON'T BE ME

1512 Kata
   Hari pertama.    Ah, rasanya kalimat itu membuat kisah ini terdengar akan cepat-cepat kandas. Tidak, lebih baik tidak usah.    Tapi memang benar, ini hari pertama, lebih tepatnya mungkin pagi pertama persyaratan yang papa berikan mulai dilakukan. Masih sama saja padahal. Key masih saja cuek dan Rolfie masih saja tidak berani bertindak lebih jauh.    Pagi ini Rolfie seperti biasa akan berangkat ke kantor, kemarin ia mengambil libur dikarenakan pertemuan keluarga yang sejujurnya tidak pernah ia harapkan. Jelas saja tidak diharapkan, karena keseluruhan pertemuan kemarin hanya diisi oleh obrolan soal perceraian.    Rolfie yang sudah rapi dengan pakaian kantornya langsung duduk di kursi meja makan, ia sempat meletakkan tas kantornya sejenak di dekat kaki kursi. Hingga detik berikutnya, tepat ketika ia mendongak, sodoran sebuah sendok penuh nasi goreng tertuju padanya. Ia menatap fokus siapa pelaku itu, dan di sebrang kursinya, ia menemukan Keyrina.    Ia sempat terkejut sesaat, namun kemudian membuka mulutnya dan membiarkan Key menyuapi satu suapan itu untuknya. Rolfie mengunyah nasi goreng itu, ia menunduk, tersenyum kecil.    Ia baru ingat, hari-hari awal pernikahan mereka, dimana mereka masih belum memiliki asisten rumah tangga, Key yang selalu memasak di rumah, dan ketika sarapan, makan siang, atau bahkan makan malam, Key memang selalu sempat menyuapi satu suapan untuk Rolfie. Dan yang Rolfie lakukan pun sama.    Keyrina membuka mulutnya dan membiarkan suapan nasi goreng itu mendarat di lidahnya. Ia mengunyahnya, lalu lanjut terdiam dan menunduk menghindar dari pandangan Rolfie.    Mama dan papa yang melihat hal itu tersenyum kecil. Ada sebesit kebahagiaan yang tidak bisa mereka ucapkan.    Hanya awalnya saja ternyata yang menyenangkan. Karena detik-detik berikutnya, acara sarapan pagi berjalan canggung. Tak ada obrolan, hanya suara sendok yang beradu dengan piring lah yang terdengar, selebihnya, mereka semua bungkam.    Beberapa menit dihabiskan oleh sarapan, akhirnya Rolfie bangun dari kursinya, berpamitan dengan mama papa, dan seperti biasa masih sempat bertanya, "Angel mau papa bawain apa nanti?" Dan jawabannya pun sama. "Es klim."    Rolfie hanya tersenyum dan mengangguk, lalu kemudian mengelus puncak kepala Angel dan setelahnya menyalami mama dan papa untuk kemudian berjalan keluar rumah dan bergegas ke kantor.    Ya, seperti biasa. Namun hari ini, Keyrina mengikutinya keluar.    Rolfie awalnya tidak sadar, hingga kemudian ketika tiba di teras depan, Keyrina yang terus saja bungkam menarik pergelangan tangan Rolfie pelan dan membuat mereka berdiri berhadapan.    Tak ada hal apapun yang Keyrina ucapkan, bahkan sorot mata itu masih saja nampak jutek. Namun jemari tangan lentiknya bergerak, merapikan dasi dan kerah kemeja yang Rolfie kenakan.    Rolfie sempat tersenyum menatap Key yang detik berikutnya kembali menatap Rolfie. Tapi hanya sejenak. Benar-benar sejenak.    "Makasih ya," kata Rolfie.    Ini juga salah satu kegiatan yang dahulu mereka lakukan, setiap Rolfie akan berangkat ke kantor, Keyrina selalu menemaninya dan merapikan pakaiannya. Dan satu hal lagi sebelum Rolfie pergi, biasanya ia akan mengecup kening istrinya.    Rolfie kini masih menatap Keyrina sambil mengingat hal itu, wajahnya mulai maju, berniat mengecup kening itu. Namun belum sempat, Keyrina justru mundur, seakan paham, dan lebih memilih menghindar.    Rolfie langsung tertegun, satu sisi tidak enak hati, satu sisi lagi merasa malu. Ia lantas langsung menunduk, dan melangkah pergi.    "Kamu baik-baik di rumah," kata Rolfie, lantas lanjut jalan dan masuk ke dalam mobilnya.    Rolfie duduk di kursi kemudi dan menatap ke depan sebelum menyalakan mesin mobilnya. Ya jelas saja menatap Keyrina, meski dihalang oleh kaca mobil.    Ia lantas pergi, mengemudikan mobilnya untuk selanjutnya membelah jalanan kota London.    Sejauh mata Rolfie memandang Keyrina yang bahkan rela untuk tetap berdiri sebelum Rolfie pergi, selayaknya dahulu, ada satu hal yang masih belum bisa ia temukan dari gadis cantik itu. Cintanya. Yang hilang. ***    "Kakak Sheila ayo main di luar."    Angel berucap demikian pada Sheila yang sedang fokus mengganti pakaian barbie di tangannya. Sheila hanya tersenyum, lalu mengangguk. Lantas mereka berdua bergegas pergi ke halaman depan entah untuk main apa. Mungkin main sepeda, atau mungkin juga hanya sekedar kejar-kejaran.    Yap, keluarga kak Nathan ada di sini sekarang. Sekitar jam sembilanan tadi, mereka datang ke rumah. Dari awal mereka tiba, Angel sudah sangat antusias mengajak kakak sepupunya untuk bermain, karena mungkin selama ini ia tidak memiliki teman. Sementara kak Nathan sendiri, kini ia sedang pergi keluar bersama papa untuk membeli beberapa kudapan. Dan kak Jeslyn, dia ada di sini sekarang.    Tepat di sebelah Keyrina yang duduk di atas sofa dan menikmati tontonan televisi, kak Jeslyn pun sama. Hanya tinggal mereka berdua, mama ada di dapur, sementara anak-anak mereka ya tadi, pergi bermain.    Ada sepenggal kecanggungan yang tak nampak namun terasa jelas di antara mereka. Bila seharusnya adik dan kakak ipar bisa saling akrab dan berbagi banyak cerita, Keyrina dan Jeslyn adalah contoh kebalikannya.    "Hmm... Key?" Karena suasana yang semakin beku, kak Jeslyn akhirnya buka suara.    "Katanya," lanjut kak Jeslyn. "Kamu mau pisah sama Rolfie?" Keyrina tak menjawab, hanya menatap kak Jeslyn beberapa detik saja.    "Kenapa Key?" katanya lagi.    "Udah nggak cocok."    "Kamu yang ngerasa nggak cocok? Atau Rolfie?"    "Dua-duanya." Hening sejenak. "Kamu nggak mikirin gimana anak-anak kamu nanti kedepannya?"    "Rolfie yang urus."    "Kan kamu ibunya."    "Rolfie ayahnya."    Jeslyn menelan salivanya ketika menerima tanggapan ketus dari sang adik ipar. Demi apapun, Key menjawab semua pertanyaan dengan wajah yang sangat datar dan tanpa ekspresi, bahkan ia tak menatap ke arah Jeslyn, terus saja fokus ke depan televisi yang bahkan kini hanya menampilkan tontonan iklan.    "Dulu, Nathan sempat nggak siap untuk punya anak," tiba-tiba kak Jeslyn bercerita. "Waktu aku hamil Sheila, Nathan sempet stress karena nggak tau kedepannya bakal gimana dengan adanya bayi di hidup kita."    "Terus kenapa nggak digugurin?" masih saja ketus.    "Awalnya aku sempet mikir gitu, tapi justru Nathan yang larang. Dia bilang itu tanggung jawab kita berdua, apapun yang bakal terjadi kedepannya itu semua resiko yang harus ditanggung sama-sama," Jeslyn tertawa kecil. "Dia yang nggak siap, tapi dia sendiri yang mau Sheila lahir."    "Yaudah, sekarang juga Sheila udah gede. Nggak usah diinget-inget lagi."    "Justru itu harus diinget, untuk jadi pelajaran." Keyrina diam.    "Key, ketika seorang wanita udah jadi seorang ibu, tanggung jawab dia bakal jauh lebih besar dan lebih berat. Kita yang hamil, kita yang melahirkan, kita yang ngerasain sakit, laki-laki mungkin nggak ngerasain itu semua, tapi laki-laki punya tanggung jawab yang juga besar. Mereka yang udah berani menikahi perempuan dan siap jadi seorang ayah, detik itu juga mereka udah nggak bisa hidup santai." Keyrina masih diam, namun menatap kak Jeslyn dengan tatapan penuh tanya.    "Mereka yang bekerja, mereka yang cari nafkah, mereka juga yang memenuhi kebutuhan kita. Kita sebagai wanita mungkin lelah ketika hamil dan melahirkan, tapi laki-laki, mereka lelah sejak bayi mereka lahir, sampe bayi itu tumbuh dewasa, bahkan mungkin sampe mereka mati. Wanita meletakkan anak di perut, laki-laki meletakkan anak di kepala. Kita yang hamil dan melahirkan, tapi laki-laki yang putar otak untuk nemuin cara biar terus hidup secara layak, dan juga biar bisa kasih fasilitas terbaik buat anak istrinya," Jeslyn menatap Key dan tersenyum hangat. "Wanita nggak akan pernah sempurna tanpa laki-laki, dan laki-laki pun nggak akan pernah sempurna tanpa wanita. Itu alesan kenapa kita harus bisa bertahan setelah berani memilih untuk menikah." Key masih menatap kak Jeslyn, tapi juga masih enggan berkata-kata.    "Sama halnya ketika seorang ibu nggak pernah sempurna tanpa ayah, dan ayah pun nggak akan pernah sempurna tanpa seorang ibu," kata kak Jeslyn lagi, membuat Key akhirnya buang muka.    "Nggak usah ngomongin orang tua!" Jeslyn hela napas. "Nathan nggak pernah jadi seorang anak yang sempurna. Dia hancur, masa lalunya buruk dan dia nggak bisa lupa. Kakak tau kamu juga sama," kak Jeslyn ambil jeda. "Tapi Nathan selalu berusaha untuk jadi ayah yang baik buat Sheila, dan dia juga yang selalu ngingetin kakak untuk terus berusaha jadi ibu yang baik buat Sheila," Jeslyn tersenyum kecut. "Bayi yang dulu hampir nggak dia harapkan justru sekarang jadi anak yang paling dia sayang. Saking sayangnya, Nathan nggak mau kalo Sheila ngerasain jadi dia."    "Jadi dia?" Jeslyn mengangguk. "Jadi dewasa tanpa peran orang tua." Sejenak, batin Key retak.    Jeslyn tersenyum dan menyeka air mata yang menggenang di pelupuknya. Ia lantas mengelus perut Key yang sudah semakin besar, lalu beralih mengelus pundaknya.    "Nggak ada satupun orang tua yang bener-bener benci sama anak mereka. Nathan yang dulu sempat nggak siap, dia justru jadi orang yang paling sayang sama Sheila. Atau mama papa kalian, seburuk apapun masa lalu yang mereka kasih perihal keluarga, mereka tetepa sayang sama kalian," katanya. "Dan kamu, seberapa besar pun rasa nggak terima kamu ke Angel, kakak percaya kamu tetep sayang sama dia."    Keyrina diam, ia bahkan sudah tak lagi mempedulikan tayangan televisi yang iklannya sudah berakhir dan kembali pada acara. Fokus pandangnya jatuh pada bocah kecil dengan kepang dua di teras depan itu. Pintu tidak ditutup sesudah Angel dan Sheila keluar tadi, alhasil kedua ibu itu bisa berbincang sembari mengawasi putri-putri mereka.    Key memikirkan sejenak ucapan-ucapan bijaksana dari wanita bule yang berstatus kakak iparnya ini. Ia memandang Angel dari kejauhan sini, mencoba mencari celah dimana ia harus mencintai putri kecilnya itu. Apakah tingkahnya yang aktif? Senyumannya yang manis? Atau tatapan matanya yang lugu? Jawabannya. Tidak ada satu pun.    "Key ke kamar ya," ia bangun setelah mengalihkan pandangannya dari Angel, berjalan melewati kak Jeslyn dan menghampiri tempat yang ia sebut tadi. Dalam langkahnya, masih mencoba memikirkan semua kata-kata tadi. Dan jawabannya masih saja tidak. Tidak. Dia tidak mencintai putrinya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN