THE BEST PAST

1103 Kata
Tok! Tok! Tok! Clak!    Seorang lelaki dengan setelan kemeja dan celana hitam masuk setelah membuka pintu kaca, pintu ruangan dimana Rolfie berada. Lelaki itu perlahan berjalan dengan amat sopan menghampiri Rolfie yang duduk di kursi jabatannya sembari memandang komputer.    "Mr. Alanzo, ini berkas yang tadi mister minta," kata karyawan itu.    Rolfie dengan ramah menerima kumpulan map kertas itu dan mengeceknya sejenak, ia lantas kembali memandang karyawannya yang masih berdiri di depan meja kerjanya, lalu Rolfie tersenyum. "Bagus," katanya singkat, suatu hal sepele yang membuat karyawan manapun merasa senang dan lega.    "Terima kasih mister."    Rolfie mengangguk, lalu ia merogoh beberapa map di dekat komputernya, yang lantas ia berikan pada karyawan itu. "Tolong itu diketik ulang, dan berikan saya copy-an dari berkas itu," kata Rolfie memerintah.    Karyawan itu menerima dengan senang hati, lalu mengangguk mengiyakan. "Boleh saya kerjakan ini setelah jam makan siang? Istri saya sudah datang dan membawa bekal untuk saya, kalau boleh, saya ingin makan di kantin bersamanya dulu," izin karyawan itu. Lagi, dengan ramah Rolfie tersenyum. "Silahkan, saya nggak butuh berkas itu buru-buru kok." Senyuman cerah hadir di wajah karyawan tersebut. "Terima kasih mister." Rolfie kembali mengangguk. "Baik. Silahkan makan dengan istri anda."    Karyawan itu terkekeh dan langsung keluar setelah sebelumnya izin untuk pergi.    Setelah pintu ditutup, Rolfie kembali berkutat dengan komputernya. Awalnya ia fokus mengetik dan mengecek beberapa dokumen di dalam layar itu, hingga kemudian sebuah bingkai foto berukuran kecil menjatuhkan pandangannya.    Rolfie mengalihkan tangannya yang tadi sedang sibuk dengan abjad keyboard komputer kini ia pindahkan untuk menyentuh bingkai itu. Itu foto lima tahun lalu. Foto pernikahannya dengan sang istri. Yap, Keyrina.    Rolfie tersenyum kecil melihat potret dirinya dengan Key yang terbalut suasana bahagia, dimana ia masih bisa melihat sang istri tertawa dan tersenyum begitu lepas di dekatnya. Hal sepele yang belakangan ini sudah tidak lagi ia temukan.    Banyak dari karyawannya di kantor ini sering dibawakan bekal oleh istri-istri mereka. Kotak makan sederhana, yang isinya kurang lebih sayur, buah, dan berbagai daging. Kotak bekal berisi makanan sederhana yang selanjutnya tersihir menjadi mewah dan harmonis ketika para karyawannya memakan bekal itu di kantin bersama istri-istri mereka.    Rolfie tak jarang melihat pemandangan seperti itu. Ketika jam makan siang tiba, ia tidak sungkan untuk pergi ke kantin dan membeli makanan yang dijual di sana, yang dimana itu sejatinya diperuntukkan kepada karyawan, bukan direktur utama perusahaan besar seperti Rolfie yang seharusnya makan di restoran ternama atau makan sendiri di ruangan miliknya dengan fasilitas yang serba ada. Rolfie memang suka kesederhanaan, ia bahkan tak jarang mentraktir karyawannya makan, dan duduk satu kursi, bahkan satu baris dengan para karyawannya, seperti tidak ada pandangan soal atasan-bawahan di matanya.    Sederhana saja alasannya, karena Keyrina tak pernah sekalipun mengantarnya bekal untuk ia makan. - Halo?    Rolfie yany tiba-tiba rindu dengan keluarga kecilnya di rumah lantas segera menelpon. "Hallo?" dan suara si kecil lah yang menjawab. - Mama kemana sayang? - Angel nggak tau papa. Tadi mama keluar    Sejenak, senyuman Rolfie memudar. - Angel nggak tanya mama mau kemana? - Mama nggak jawab - Angel, coba kasih telponnya ke omah atau opah, papa mau ngomong sebentar sama mereka boleh? - Oke papa - Halo, Fie? Ini mama - Ma, Key keluar lagi? Terdengar suara helaan napas. "Iya, tadi mama suruh dia main sama Angel, dia nggak mau. Nggak lama dia malah keluar, bilangnya mau pergi sama temen-temennya." Rolfie terdiam sejenak. Entah kenapa ada berbagai pemikiran negatif di otaknya. - Yaudah, Ma. Nanti Rolfie coba telpon Key - Percuma, dia nggak bawa hp    Rolfie langsung terdiam ketika mendengar hal itu. Obrolan yang selanjutnya membuat Rolfie memilih untuk menutup telpon setelah tidak ada lagi pembahasan.    Ah, padahal tadi Rolfie harap yang mengangkat telpon adalah Keyrina. Lalu mereka bisa basa-basi mengobrol banyak hal, membicarakan satu-dua hal spele yang jika dilakukan akan membuat Rolfie sangat bahagia. Tapi itu hanya harapannya.    Rolfie menghela napas dan memandang sejenak layar ponselnya, dimana wallpaper handphone mahal itu ia pajang foto dirinya dan Key. Dimana-mana ada Keyrina. Begitu setidaknya pemikiran Rolfie.    Karena tak ada begitu banyak pekerjaan atau dokumen yang harus di selesaikan, Rolfie lantas dengan santai memainkan ponselnya, tanpa mempedulikan layar komputernya yang masih terang benderang menghadap ke arahnya. Ia bersandar sejenak di kursi besarnya, membuka galeri ponselnya dan melihat berbagai kenangan lama yang terabadikan bertahun silam.    Tidak ada begitu banyak foto. Ya setidaknya tidak seperti galeri perempuan yang memuat begitu banyak potret dari berbagai jenis, mulai dari potret kamera, screenshoot layar, gambar dari media sosial, dan sebagainya.    Ia melihat potret dirinya dan Key semasa kuliah, entah itu ketika mereka berfoto di background kampus yang bagus, berfoto di depan gedung fakultas, berfoto di taman universitas, bahkan foto ketika mereka sama-sama di wisuda. Menggeser ke foto selanjutnya muncul potret pernikahan mereka, mulai dari hari H pernikahan dimana mereka masih sama-sama mengenakan gaun dan jas pengantin, atau foto-foto konyol yang sering Key lakukan dengan handphone Rolfie.    Yap foto konyol. Semacam foto selfie yang Key lakukan ketika Rolfie masih terlelap di sebelahnya, foto selfie dirinya dengan latar belakang Rolfie yang tengah membantunya mengepel lantai, atau foto selfie Key dan Rolfie yang wajahnya habis dicoret oleh alat rias.    Rolfie terkekeh melihat foto yang satu itu. Itu ulah Keyrina tentu saja. Ketika Key hamil dua bulan, ia bilang ia ngidam, dan keinginannya adalah mendandani Rolfie, awalnya Rolfie sudah menawarkan hal lain, semacam makanan enak, pergi jalan-jalan, atau apapun yang membuatnya terhindar dari keinginan aneh itu. Tapi Key enggan, ia bilang ia mau mendandani Rolfie, itu saja. Hal yang Rolfie pikir akan membuat wajahnya seperti wanita, justru salah. Karena setelah ia menghadap kaca, wajahnya justru lebih mirip coretan anak tiga tahun. Ya, bagaimana tidak, Key memoles lipstik hampir di seluruh wajah Rolfie.    Lantas jari Rolfie menggeser ke foto-foto berikutnya, dimana terdapat potret bayi mungil dengan tubuh yang masih memerah dan matanya yang terpejam. Benar, Angel.    Senyuman Rolfie agak memudar memandang foto itu, foto putri malangnya yang begitu disegani oleh ibunya sendiri.    "Nanti kalo bayi kita lahir aku mau kasih nama Angel," kata Key.    "Angel? Kenapa nggak Valerie aja, lebih bagus," Rolfie menjawab. Key nampak berpikir. "Hmm... Angela Vallerina Alanzo. Gimana?" Rolfie tersenyum, setuju.    "Angel itu kan artinya malaikat, aku mau dia jadi malaikat kecil kita," imbuh Key.    Kenangan beberapa tahun lalu itu membuat Rolfie termenung. Momen sederhana di Minggu pagi ketika ia menamani Key menonton acara seputar ibu hamil di ruang tamu. Sederhana memang, bahkan terkesan tidak penting. Bayang-bayang soal pemberian nama terdengar begitu acuh, yang penting itu anak mereka lahir dan nama impian tersebut berhasil mereka gunakan untuk anak mereka. Tapi justru rasanya kini membayangkan momen sebelum Angel lahir jauh lebih menyenangkan.    Tidak, bukan maksudnya Rolfie tidak menginginkan Angel. Ia menginginkan putrinya itu. Sangat menginginkannya. Tetapi Keyrina... Ah, kalian bahkan tau jawabannya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN