Jalani saja dulu

1393 Kata
Forza melangkah ke dapur untuk membuatkan minuman. Kedua adik Forza datang dan memasuki rumah. “Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." "Bunda kenapa ko pada luka kaya gini? Bunda pasti sakit kan?” kata Fahri yang langsung memeluk Bundanya. “Bunda nggak apa sayang, kamu ganti baju dulu ya. Firza antar adikmu ke atas.” Kata bundanya. “Siapa yang nyakitin Bunda? Apa pria itu lagi?” tanya Firza yang masih berdiri menatap bundanya. “Firza, bawa Fahri ke atas apa kamu nggak tahu lagi ada tamu?” jawab Forza yang datang dari dapur membawa nampan minuman dan Firza melirik pria yang sedang mengobati bundanya itu . “Maaf kak, Firza hanya.” “Sudah ke atas sana, kakak nggak mau kamu bahas di depan Fahri.” Putus Forza dan tak bisa Firza bantah. “Iya kak.” Firza membawa Fahri ke lantai 2 dan Forza meletakan gelas di atas meja. “Silahkan di minum pak Gavin, maaf seadanya.” Forza menyuguhkan minuman dan cemilan. “Terima kasih Forza.” Jawab Gavin tersenyum membuat Forza salting, entah kenapa sekarang setiap melihat Gavin tersenyum rasanya ada sesuatau yang beda, respon tubuhnya sangat berlebihan. “Za kamu siapin meja makan ya kita makan siang bareng, nak Gavin pasti belum makan siang kan?” kata bundanya. “Pak Gavin sepertinya nggak bisa Bun karena mesti berangkat ke Rs sekarang saja sudah terlambat.” Potong Forza sebelum Gavin menjawabnya. “Benar nak Gavin? Apa nggak bisa sebentar saja ikut makan siang?” tanya bunda Forza. “Kalau ibu yang meminta Gavin bisa bu, mana mungkin Gavin menolak permintaan seorang Ibu.” Gavin tersenyum dan melirik ke arah Forza yang kini tengah cemberut. “Ibu tinggal ke atas sebentar ya, mau manggil Firza dan Fahri. Forza siapin minumnya juga buat nak Gavin.” Perintah sang bunda yang dijawab dengan anggukan. “Kamu kenapa? Kayanya nggak suka banget saya makan di sini.” Selidik Gavin, yang langsung mendapati mata indah Forza membulat. “Perasaan Bapak saja kali, saya cuman bantu Bapak biar bisa datang ke Rs tepat waktu kalau makan dulu di sini kelamaan kan.” kilah Forza “Nggak usah khawatir, saya pasti datang tepat waktu kan masih lama saya masuk malam.” Jawab Gavin tersenyum. “Bukannya siang?” “Bukan, kata siapa siang?” “Tadi waktu di ruangan Bapak?” “Saya nggak bilang saya masuk siang, saya hanya bilang rumah kamu satu arah sama rumah sakit.” “Saya kira sekalian mau ngesift siang.” “Kamu perhatian banget sih Za, sampe khawatir saya telat ngesift.” Gavin tersenyum jahil membuat Forza makin salting. “Nggak usah GR deh.” “Nggak apalah GR sama kamu ini bukan sama yang lainnya, saya suka kamu perhatian sama saya.” “Maksud Bapak?” “Nanti juga kamu tahu Za, sekarang jalani saja dulu.” “Bapak ngomong apaan sih, gaje banget.” Gavin tak menjawab hanya tersenyum yang membuat Forza geram. Tak lama Bunda Forza dan ke dua adiknya turun ikut bergabung di meja makan. “Firza kenalin itu kak Gavin dosen kak Forza.” Kata bunda Forza. “Firza.” Firza mengulurkan tangannya. “Gavin.” “Boleh nawar nggak bun, panggilnya abang saja kalau kakak udah ada kak Forza kalau abang kan Firza belum punya.” Tawar Firza. “Boleh Za, panggil abang saja. Abang juga senang karena berasa punya adik nanti kapan – kapan abang ajak futsal mau?” Gavin mencoba mengakrabkan diri dengan Firza. “Wah mau banget bang, Firza suka futsal.” “Siap, nanti abang atur waktunya ya. Kalau si tampan ini pasti Fahri ya?” “Iya.” “Fahri kelas berapa?” “Kelas 2 SD bang.” “Sekolah yang pintar biar bisa kaya kak Forza jadi dokter ya” Fahri menggeleng, “Fahri mau jadi polisi, biar Fahri bisa tangkap Ayah yang sudah jahat sama Bunda.” “Fahri, nggak boleh gitu masa di depan bang Gavin ngomongnya begitu.” Tegur bundanya. “Maaf abang, Fahri sedih Bunda sakit seperti itu.” “Bunda gapapa sayang, sudah lupain itu semua sekarang kita makan ya.” Selesai makan Gavin, Firza, Fahri dan Bundanya duduk di ruang keluarga sedangkan Forza mencuci piring bekas makan. “Nak Gavin ibu nitip Forza ya kalau di kampus.” “Insya Allah bu.” “Dulu dia gadis yang ceria, selalu bahagia, semua berubah saat Ayahnya berulah. Forza berubah menjadi gadis yang pendiam dan sulit di tebak, dia juga sepertinya tidak tertarik untuk menikah karna mungkin trauma melihat kedua orang tuanya seperti ini.” Bunda Forza membuka obrolan. “Forza paling menyukai musik, dia suka bernyanyi sambil memainkan alat musik ibu paling suka saat dia bermain Biola, sayangnya Biola Forza sudah hancur karena ulah Ayahnya. Forza menghidupi ibu dan ke dua adiknya dari dia bermain musik dia benar – benar gadis yang kuat dan menjadi kekuatan ibu.” Sambung bunda Forza. “Saya baru tahu kalau Forza bisa memainkan alat musik dan juga bisa bernyanyi bu, karena setiap ada acara di kampus nggak pernah liat Forza tampil dan seingat saya waktu Forza Ospek mendapat hukuman karena terlat datang saat di suruh nyanyi malah nggak bisa bu, dia lebih memilih lari keliling lapangan.” Jelas Gavin. “Forza memang pernah bilang ke Ibu kalau dia nggak mau teman – temanya tahu dia bisa bermain alat musik dan juga menyanyi. Dia ingin menyembunyikannya dan cukup di tempat dia kerja dia memperlihatkannya.” Jawab bunda Forza. “Maaf bu kalau boleh tahu Forza kerja dimana?” “Di Cafe nak, tapi bukan cuman satu Cafe dia juga ngajar privat piano dari privat itu hasilnya lumayan karena rata – rata yang privat anak orang kaya, dia juga bekerja sebagai penerjemah kalau yang itu ibu kurang tahu karena kerjanya di depan laptop nanti tau – tau ada pemberitahuan kalau honornya sudah masuk rekening.” “Saya baru tau Forza sesibuk itu bu.” “Kak Forza kebanggan kami dan tulang punggung kami bang, kalau Firza udah lulus SMA Firza mau bantuin kak Forza, sebenarnya udah ada usaha bantuin tapi kak Forza marah besar.” kata Firza. “Ya jelas marah kamu disuruh sekolah malah ngojek, kakakmu ya marah lah Fir.” jawab Bunda. “Kan cuman itu yang bisa Firza lakuin bun.” “Lakuin apa Fir?” kata Forza yang tiba - tiba datang. “Oh itu kak, nggak apa kok lagi cerita aja.” kilah Firza. Gavin memandang Forza yang duduk di depannya dengan penuh kagum, Gavin nggak menyangka gadis yang ia sukai adalah gadis hebat, gadis mandiri bagaimana Gavin nggak makin cinta. “Hallo pak Gavin?” Forza menjentikan jarinya di depan wajah Gavin. “Eh ya Za ada apa?” Gavin kaget, melihat di depannya sekarang hanya ada Forza saja. “Di tanyain dari tadi juga, ngelamun terus awas nanti kesambet loh.” kata Forza dan Gavin tersenyum. “Sorry, kesambet setan yang cantik kaya kamu nggak apa saya rela Za.” kata Gavin tersenyum. “Bapak makin aneh!” “Apanya yang aneh Sih?” Gavin memandang Forza, “Za saya mau minta Izin sama kamu untuk bisa lebih dekat lagi, bukan dekat antara dosen dan mahasiswinya tapi antara pria dan wanita apa boleh?” “Nggak usah pak, saya nggak izinin karena saya nggak mau terlalu dekat dengan pria manapun apa lagi sampai menjalin hubungan.” “Kenapa?” “Karena saya tak percaya laki -laki selain kedua adik saya, saya juga nggak percaya cinta, kalau bapak ingin dekat dengan saya karena ada rasa sebaiknya segera buang rasa itu, maaf bukannya saya terlalu percaya diri tapi melihat sikap bapak makin ke sini saya makin yakin kalau bapak ada rasa sama saya.” “Kamu benar Za, saya memang ada rasa sama kamu sejak pertama kita bertemu, saya ingin menikahi kamu Za, maaf kalau ini terlalu mendadak buat kamu, karena kamu sudah tahu jadi saya katakan saja sekarang.” “Maaf saya nggak bisa pak, sampai kapanpun saya nggak akan bisa tertarik ataupun membalas perasaan bapak.” “Kamu belum mencobanya Za.” “Itu nggak akan mungkin terjadi pak.” “Baiklah kalau begitu mari kita buktikan Za, apa saya bisa lebih dari seorang dosen untuk kamu atau tidak.” “Maaf pak sudah sore, saya harus siap – siap buat kerja, bukannya saya mengusir Bapak.” Forza mencoba mengalihkan pembicaraan. “Kerja dimana? Saya anterin ya.” Tawar Gavin. “Nggak usah pak terima kasih nanti ada teman saya yang ke sini.” Jawab Forza. “Ya udah kalau gitu saya tunggu sampai teman kamu datang, siapa tahu dia nggak bisa datang, kan saya masih ada di sini bisa ngaterin kamu.” “Tapi pak.” “Za, please.” “Terserah Bapak saja, saya ke kamar dulu untuk siap – siap.” Pamit Forza meninggalkan Gavin sendirian. Saat Forza sudah masuk kamar, datanglah seseorang yang langsung masuk tiba – tiba, “Sore Forza, Sore Bunda.” teriaknya. “Eh maaf ada tamu ya, maaf nggak tahu saya udah kebiasaan kaya gini.” Dia terkejut karena melihat Gavin yang sedang duduk di ruang keluarga. “Iya nggak apa, tapi alangkah baiknya ucap salam dari pada berteriak kaya di hutan” jawab Gavin sinis. “Nak ubay sudah datang.” Bunda Forza datang mendekat. “Iya bun, Forza mana bun belum siap dia?” tanya Ubay, teman manggung Forza. “Sebentar lagi turun, malam ini main dimana?” “Cafe D&G bun ada yang request Forza main Biola, mau ada acara lamaran.” Jawab Ubay.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN