Minyak kayu putih semerbak di penciuman Rihana. Kepala yang berdenyut kini terasa dingin setelah Nana mengoleskan balsem di sekitar pelipis wanita cantik itu, perlahan Ibunda Zui membuka mata. Raut wajah yang terlihat bingung, membuat Rizuka bertanya.
“Bunda, Bunda kenapa?” tanya Zui menyentuh tangan sang ibu.
Perlahan, Rihana sadar akan panggilan terakhirnya. Tangisnya pecah, mengetahui sang suami telah tak bernyawa. Rihana menangis histeris.
Duwi, Nana, dan Rizuka heran melihatnya.
“Bunda, ada apa? Kenapa Bunda nangis seperti ini?” tanya Zui.
Rihana tidak menjawab pertanyaan putrinya, dia hanya ingat jika jenazah Mahendra suaminya, berada di jalan Asoka.
“Aku berharap semua ini hanya mimpi. Dia akan pulang untuk makan siang sesuai dengan janjinya,” ucap Rihana. Wanita itu tidak dapat membendung tangis yang menyeruak dengan sendirinya.
Rihana berlari keluar. Tangisnya mengalir deras. Hatinya teramat sedih karena kehilangan.
“Bunda! Bunda mau kemana?” panggil Zui.
Rihana terus berlari, tanpa menoleh. Wanita itu bahkan lupa mengambil alas kaki. Rihana berlari menuju tempat di mana sang suami di kabarkan berada. Karena khawatir, Zui dan teman-temannya segera mengejar.
“Ayo kejar! Jangan sampai tante kenapa-napa?” seru Nana. Nana dan Duwi segera mengejar lebih dulu.
Rizuka mendapat firasat, perasaannya tak karuan. Rizuka merasa sedih, walau dia tidak tahu itu karena apa? Zui mengejar Rihana sebisa yang dia mampu.
Mereka terus mengejar Rihana hingga suara sirine mobil polisi terdengar riuh. Orang-orang berkumpul untuk melihat apa yang telah terjadi. Kaki Rihana terluka karena menginjak kerikil tajam, namun kesakitan itu tidaklah berarti. Zui tertegun, melihat banyaknya orang berkumpul dan polisi sedang sibuk membuat garis polisi. Rizuka menghampiri Bundanya.
“Bunda, ada apa?” tanyanya lagi.
Rihana mematung dengan mata berkaca-kaca. Rizuka mengerutkan kening. Heran melihat ekspresi Rihana yang tidak biasa.
"Tunggulah di sini Zui, biar kami yang menanyakan pada orang-orang itu tentang apa yang terjadi," ucap Duwi.
Rizuka tidak mengalihkan pandangan dari ibundanya. Saat petugas ambulance mengankat tubuh Mahendra ke atas tandu, Rihana terbelalak dan gemetar.
“Mas!” teriaknya disertai tangisan.
Rizuka terkesiap mengikuti pandangan sang ibunda. Gadis itu terperangah di tempatnya sembari menutup mulutnya dengan punggung tangan, airmatanya jatuh perlahan. Sesak menyebar ke rongga d**a melihat Ayahnya tak sadarkan diri.
“Ayah!” Rizuka berlari segera, gadis itu terhenti saat melihat noda darah membanjiri tubuh ayahnya.
“Apa yang terjadi? Kenapa begitu banyak darah?” tanyanya bingung.
Bisma berada tidak jauh dari tempat itu. Garis polisi terpasang membuat Rizuka tak bisa menerobos masuk.
“Ada apa ini?” tanya petugas kepolisian.
Jenazah Mahendra di bawah masuk ke mobil ambulance.
“Apa Anda keluarganya?” tanya Pak Polisi pada Rizuka dan Ibundanya.
Gadis itu mengangguk cepat.
“Iya, Pak. Apa yang terjadi dengan ayah saya?”
“Maaf, kami menerima laporan jika ada jenazah yang terbaring karena di tusuk oleh orang yang tidak di kenal.”
“Jenazah?” Rizuka shock dengan wajah terbelalak. Dia tidak ingin percaya semua itu.
“Tidak mungkin, Ini pasti bohong!” Rizuka marah dan mengejar ambulance itu.
“Ayah!”
Rihana tertunduk lemas, pupus lah sudah harapan jika semuanya akan baik-baik saja.
"Ayah, bangun. Ini Zui!" teriak gadis itu sekuat tenaga.
Petugas ambulance tidak menghiraukannya, Jenazah Mahendra di berhasil di bawah pergi.
"Tidak, ini tidak benar. Ayahku pasti baik-baik saja."
Rizuka sangat terluka, sang ayah adalah orang baik. Hatinya sangat lembut, bagaimana bisa sang Ayah di celakai secara tragis seperti ini.
Seorang supir taksi mendekati Rihana yang tersungkur di jalan.
“Maaf, Bu. Saya adalah orang yang bicara dengan ibu di telepon. Tidak ada yang melihat siapa pelakunya. Suami Ibu tadi naik taksi saya. Tapi, di tengah jalan ban mobil meletus hingga suami ibu harus berjalan kaki. Ini tas kerjanya, Bu. Beserta ponselnya."
Tangis Rihana tak hentinya berderai. Tas itu di peluknya erat seolah memeluk suaminya sendiri.
“Sabar, Bu. Semoga pelakunya cepat tertangkap.”
Rizuka histeris di depan sana.
“Ayah, jangan tinggalkan Zui!" ucapnya putus asa.
Zui yang terluka segera bangkit.
“Ayah tunggu aku!” Rizuka mengejar mobil itu. Nana dan Duwi yang melihatnya merasa perihatin.
“Zui, jangan!” panggil Nana dan Duwi.
Rizuka terus berlari, tak memperdulikan tatapan semua orang. Pahlawan dan super hero dalam hidupnya baru saja mengembuskan napas terakhir.
“Zui!” panggil Rihana.
Rizuka terhenti, ya, dia baru ingat jika dia punya Bunda yang sama terluka seperti dirinya.
“Zui, sayang.”
Rizuka berdiri mematung, goyah. Pijakannya tak sekuat biasanya. Rihana berjalan mendekati putrinya. Nana dan Duwi terus menangis melihat nasib sahabatnya.
"Bunda,"
Zui jatuh di pelukan Rihana saat wanita itu mendekatinya.
“Kenapa hal ini bisa terjadi, Bunda? Siapa yang tega melakukan semua ini.”
Rihana menggeleng, hal itu adalah pertanyaan yang sama di dalam benaknya.
“Zui, sabar sayang. Ikhlas, ya, Nak.” Rihana mengusap rambut Zui, menyeka airmata yang mengalir deras.
“Ini tidak benar, Bunda. Ayah tidak punya musuh, lalu siapa orang yang tega melakukan semua ini. Tidak mungkin jika semua ini hanya kebetulan. Kenapa harus ayah Zui!" ucapnya histeris.
Nana dan Duwi memeluk gadis itu. Rizuka sangat sakit, amarah bercampur kesedihan membuat Rizuka terlihat mengerikan.
“Kami turut berduka, Zui. Yang sabar, ya. Kita akan selalu ada buat kamu. Kita janji,” ucap Nana.
Tidak ada yang bisa menganti posisi sang ayah di hati Zui. Semuanya terjadi begitu cepat, membuat Zui menaruh curiga.
“Maaf, jenazah almarhum akan kami antarkan setelah melalui pemeriksaan. Kami harap keluarga bisa bersabar.”
Rihana tidak langsung menjawab ucapan Pak polisi itu.
“Saya ingin pelaku yang membunuh ayah saya segera ditangkap. Tolong, kami hanya ingin itu sekarang,” ucap Zui tegas.
Kedua polisi itu mengangguk pelan.
“Akan kami usahakan,” ucapnya.
Zui menggeleng, airmatanya kembali berderai.
“Saya tidak ingin usaha saja, tolong lakukan yang terbaik. Pembunuh itu tidak boleh lolos begitu saja. Aku ingin dia di tangkap dan di adili!"
Ada ketegasan dalam perkataan Rizuka, gadis itu menatap nyalang, dia hampir kehilangan kewarasannya.
"Baik, kami akan melakukan penyelidikan, dan menangkap pelaku sebenarnya." Polisi itu pergi setelah mengatakannya.
Duwi dan Nana membantu Rizuka dan Ibundanya kembali ke rumah. Rihana baru merasakan perih di telapak kakinya. Tas kerja sang suami di peluknya erat sambil menahan semua rasa sakitnya.
“Bunda, pakailah sendal Zui, jangan berjalan dengan kaki yang terluka seperti ini. Ayah tidak –“
Rizuka tertunduk, tangisnya kembali pecah.
“Ayahmu telah tenang di alam sana, Zui. Jangan khawatir, Bunda baik-baik saja.”
Rihana berjalan menuju rumah, sekuat tenaga dia tidak mengeluh atau meneteskan air mata. Semua demi Zui- putri yang di cintainya.
Tiba di rumah, Rihana langsung mengambil kunci mobil yang lain.
“Zui, Bunda akan ke Rumah Sakit dulu, Nak. Tinggallah di rumah bersama Duwi dan Nana.”
Zui menggeleng, dia tidak mau ibunya berangkat sendirian.
“Zui ikut, Bunda.”
Zui bergegas masuk ke dalam mobil dan duduk di samping kemudi. Duwi dan Nana menatap Rihana. Mereka ingin sekali ikut tapi segan dengan Ibunda Zui.
“Maaf, Tante nggak bisa antar kalian pulang, Tante dan Zui akan pergi ke Rumah Sakit.”
Duwi dan Nana, mengangguk.
“Nggak apa-apa, kok, Tan. Tante hati-hati di jalan.”
Rihana bergegas masuk ke dalam mobil dan memakai seatbelt, wanita itu langsung meluncur untuk menyusul ke rumah sakit. Zui diam sepanjang perjalanan, gadis itu sangat sedih, hanya airmatanya yang terus mengalir membasahi wajah.
"Kita harus kuat, Zui. Demi ayahmu."