Chapter 23 Di Tikam

1496 Kata
Arga kembali mencari sang ayah, meninggalkan Mahendra dan rekan kerja sang ayah yang lain terbengong tak dapat membantah. Penasaran dengan apa yang terjadi membuat Mahendra kembali ke rumah dengan cepat. Perseteruannya dengan Arga direkam oleh seorang yang misterius. Video kembali beredar dengan potongan adegan memperlihatkan jika Arga di keroyok oleh para staf. Ping. Notifikasi pesan, masuk ke semua ponsel yang berada di ruangan itu. “Apa lagi ini?” ucap Pak Syamsul. Semua orang terbelalak melihat isi video itu. Belum sempat mereka meninggalkan lokasi, sudah beredar video yang memberatkan posisi mereka. Serentak, mereka mencari di mana arah pengambilan video itu. “Ini tidak benar, kita bahkan tidak melakukan apa-apa. Kita hanya menyampaikan ke gelisahan kita pada putra Pak Bram. Lalu kenapa kita di fitnah seperti ini!” Papa Andra tidak terima melihat isi video itu. “Tidak ada siapa-siapa di sini,” ucap Pak Adri setelah memeriksa ruangan. Masalah ini semakin menjadi. Mahendra yang sudah berada di luar kantor, kembali untuk menemui rekan kerjanya. “Apa kalian sudah menerima video itu?” tanyanya dengan raut wajah gelisah. Semua orang di hadapannya sama paniknya dengan dirinya. “Sudah, Pak. Kita tidak bisa membiarkan semua ini, kalian semua tahu jika kita tidak menyentuh Arga.” Semua orang mengangguk dengan kompak. “Jika ucapan Arga benar, jika anak-anak kita telah mengeroyok Bisma. Maka, masa depan anak-anak kita sedang di pertaruhkan.” Pak Adri segera masuk ke meja kerjanya dan kembali kehadapan semua orang. “Maaf, saya harus pulang untuk memastikan semuanya.” Pak Adri berlari keluar, Mahendra pun pergi tanpa pamit. Satu persatu orangtua The Genk Bisma berlari keluar. “Masalah ini tidak bisa di selesaikan lewat ponsel saja. Saya harus pulang dan bicara dengan anak saya.” Papa Andra, Tomi dan Riki segera bergegas. Rekan yang lain mengerti, jika mereka punya masalah yang serius. Sisanya memilih kembali bekerja. Kantor walikota menjadi geger. Berita menyebar dengan cepat. Tiba di parkiran, Mahendra dan ke empat rekannya kembali tercengang. Ban mobil mereka kempes, bersamaan. “Ini tidak mungkin.” Pak Adri terkekeh dengan wajah masam melihat apa yang baru saja terjadi. “Sudah jelas ini di sengaja, nggak mungkinlah ban mobil kita kempes bersamaan,” sahut Pak Syamsul. Mereka mulai bergidik, pelaku di balik semua ini begitu dekat tetapi mereka tak tahu siapa orangnya. “Sudahlah, sebaiknya kita pulang dengan menaiki kendaraan yang lain. Jangan mempersulit apapun, jangan menyelidiki apapun.” Mahendra memperingatkan semua orang. “Ya, itu benar. Kita pisah di sini,” timpal Pak Adri. Mahendra mengambil jalannya sendiri, begitupun dengan yang lain. Setelah mendapat taksi, Ayah Zui segera menuju ke rumah, hatinya sangat gundah memikirkan keterlibatan Rizuka. “Taksi!” Mobil berwarna biru itu berhenti tepat di depannya. Dengan cepat Mahendra masuk dan menyebutkan alamatnya. “Jalan Kenanga, Pak.” “Baik, Pak.” Mobil melaju dengan santai, Mahendra mengeluarkan ponselnya untuk menelpon Rizuka. Firasat Mahendra tidak enak, entah apa yang akan terjadi setelah ini. Mahendra terus menelpon Zui tapi ponsel putrinya tidak di angkat. “Tuhan, kemana dia?” Mahendra memutuskan untuk menghubungi sang istri, dia hanya ingin memastikan jika Rizuka benar berada di rumah. [Halo, Ayah. Assalamualaikum, tumben Ayah menelpon di jam makan siang?] sahut Rihana di ujung sana. [Wa’alaikumusalam, Bunda. Iya, Ayah menelpon Zui tapi dari tadi ponselnya nggak di angkat. Makanya telepon Bunda.] Suara tawa terdengar riuh di telinga Mahendra. Suara khas Zui yang tertawa renyah bersama teman-temannya. [Mereka sedang berkumpul di ruang tengah, Nana dan Duwi datang ke rumah. Mungkin ponsel Zui ada di kamar jadi nggak ke dengeran. Ayah mau bicara dengan Zui?] tanya Rihana lagi. Mahendra termenung, entah kenapa dia sangat sedih. Mahendra masih di dalam perjalanan saat ini. [Entah kenapa ayah sangat merindukan Zui, Bunda. Jaga anak kita, Ayah segera pulang dan akan makan siang bersama kalian.] [Benarkah? Kalau begitu Bunda siapkan makanan dulu, kita telponan nya udahan dulu, Yah.] Rihana sangat senang mengetahui sang suami akan pulang untuk makan siang bersama. [Iya.] Panggilan telepon terputus. Mahendra lega putrinya berada di rumah dalam keadaan aman. Baru saja mobil berbelok ke jalan menuju arah rumah Mahendra. Tiba-tiba, ban mobil yang di tumpanginya meletus. Blash. Mobil oleng kesana kemari. Mahendra panik. “Astaga, apa yang terjadi?” tanya lelaki itu pada sang supir taksi. Keduanya cemas takut akan menabrak sesuatu. “Ban mobil meletus, Pak!” seru supir taksi itu. “Ya Tuhan.” Mahendra berpegang pada kursi dengan erat. Kkhiiik Ban beradu dengan aspal, rem di injak sekuat tenaga, adrenalin keduanya berpacu. Supir masih berusaha menghentikan mobil dan akhirnya, dia berhasil menepikan mobilnya di pinggir jalan tanpa ada insiden berarti. “Kita selamat, Pak,” ucap supir taksi itu tersenyum. Mahendra membuka mata dan melihat ke sekeliling, lelaki itu menyentuh dadanya. Jantungnya masih berdetak di dalam sana. “Syukurlah, terima kasih.” Ayah Zui segera keluar dari mobil dan memberikan beberapa lembar uang. “Ini, Pak.” Supir taksi itu menolak, uang yang di berikan Mahendra terlalu banyak. “Ini kebanyakan, Pak. Ongkosnya nggak sampai segitu.” Mahendra tersenyum dan meraih tangan supir taksi itu. “Saya memberi ini agar Bapak bisa membawa mobilnya ke bengkel.” Supir itu merasa terharu. “Terima kasih banyak, Pak.” “Sama-sama, kalau begitu saya tinggal dulu.” Bisma tidak jauh dari tempat Mahendra berada, pemuda itu baru saja kabur dari rumah sakit, demi membantu mencari sang ayah. Mahendra melanjutkan perjalanan pulang dengan berjalan kaki, jarak rumah dan lokasinya saat ini tidaklah terlalu jauh. Sepanjang jalan, Mahendra merasa sangat bersyukur karena telah lolos dari maut. Bagi Mahendra, Tuhan masih menyayanginya. Tanpa dia sadari, seseorang dengan tekad yang kuat telah menungguinya di ujung jalan. Blash. Kreak. Deg. Seseorang lelaki dengan pakaian serba hitam menusuk perut Mahendra hingga lelaki itu tumbang. Sangat cepat, hingga Ayah Zui tidak dapat menghindar. "Kau!" Mahendra menunjuk lelaki itu. Dalam keadaan sekarat, Mahendra masih berusaha meminta pertolongan. “To ... long!” Sosok seorang yang misterius itu kembali menikamnya dengan membabi buta. Sosok itu memakai topeng hingga tidak ada yang bisa mengenali wajahnya. Slash, s***h, s***h. Darah segar mengalir deras, Mahendra tidak memiliki harapan lagi. Lelaki itu tidak bisa bergerak. Wajah Zui dan Rihana, anak dan istri Mahendra terbayang di pelupuk mata saat lelaki itu mengembuskan napas terakhir. Bisma yang baru tiba dan melihat kejadian itu terbelalak. Dia jatuh tersungkur. Pemuda itu melihat sosok yang telah membunuh ayah Zui. Pandangan mereka bertemu walau jarak mereka berjauhan. “Hey, apa yang kau lakukan! Siapa kau?” teriak Bisma. Sosok itu tak menjawab dan segera pergi sebelum orang-orang datang dan menghakiminya. Pisau yang telah dipakai membunuh di bawahnya ikut serta. "Hey! Mau kemana kau. Pembunuh, tolong!" teriak Bisma. Jalanan sangat sepi. Sosok itu segera berlari karena merasa terancam. Bisma mendekat dengan tubuh gemetar. Mahendra sudah tak bernyawa lagi, banyaknya tusukan di perut membuat nyawanya melayang. “Oh tidak, dia adalah Ayah Zui,” ucap Bisma shock. Bisma pernah berpapasan dengan Mahendra kala itu. Pemuda itu sangat yakin jika dia adalah orang yang sama. Bisma memberanikan diri mengecek urat nadi Mahendra. Tidak ada denyut di sana membuat Bisma gemetar ketakutan dengan raut wajah pias. Pemuda itu segera berteriak. “Tolong! Tolong ada yang butuh bantuan di sini." Teriakan Bisma bagai angin lalu. Tidak ada siapapun, hanya ada dirinya yang kebetulan lewat. Pemuda itu lalu teringat Zui. “Bagaimana caranya untuk menghubunginya?” ucapnya berfikir. Tidak lama, supir taksi yang membawa Mahendra tiba di tempat itu. Tas kerja Mahendra ketinggalan di taksi dan dia berniat mengembalikannya. “Tolong! Ada korban pembunuhan di sini!” teriak Bisma lagi. Kepalanya berdenyut, membuat lelaki itu kesakitan. Bisma belum pulih seutuhnya. Supir taksi yang melihatnya segera mendekat. Lelaki itu kaget luar biasa melihat wajah yang tergeletak di sana. “Ada apa ini? Kenapa hal ini bisa terjadi?” ucap lelaki itu tak percaya. Bisma hanya bisa menggeleng. Ponsel Mahendra berdering membuat keduanya saling menatap. Bisma meraih ponsel yang ada di saku jas Mahendra, Bunda, kata yang tertera di sana. Bisma tidak bisa menyampaikan berita duka itu dan menyerahkannya pada supir taksi. “Sepertinya keluarganya, Pak. Saya tidak bisa memberitahunya. Lelaki itu telah meninggal baru saja." Supir taksi itu menerima ponsel dan menjawabnya. Ini sangat berat, menyampaikan berita duka adalah sesuatu yang sangat menguras perasaan. [Hallo,] Rihana yang merasa asing dengan suara itu, mempertanyakan siapa dia. [Hallo, maaf anda siapa? Bisa saya berbicara dengan pemilik ponsel ini?] ucapnya sopan. Bisma dan supir itu saling memandang, hanya ada mereka berdua di sana. [Maaf, tapi ... pemilik ponsel ini baru saja meninggal dunia] [Apa!] Rihana terbelalak. [Anda jangan main-main, ya. Suami saya baru saja mengobrol dengan saya.] Seketika lutut Rihana merasa lemas, pandangannya gelap. [Suami ibu terkapar di pinggir jalan, ini di jalan Asoka, Bu.] Rihana jatuh pinsan, dunianya runtuh. Dia sangat terluka setelah mendengarnya. Zui yang tidak tahu apa-apa segera masuk setelah mendengar suara benda yang terjatuh. “Bunda!” Zui menghampiri Rihana tergeletak di lantai. “Bunda kenapa?” tanya Zui panik. Duwi dan Nana segera membantu Zui untuk membangunkan Bundanya. Panggilan masih berlangsung, Zui yang melihat ponsel itu mengankat panggilannya. [Halo ini siapa?] Panggilan terputus bersamaan dengan pertanyaan Zui.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN