Rihana dan Rizuka duduk di kursi menunggu hasil pemeriksaan atas jasad Mahendra-Ayah Zui. Sedang di lobby Rumah sakit, ada Bisma yang baru saja tiba. Demi mengetahui keadaan Zui. Bisma kembali ke rumah sakit itu dengan sendirinya.
“Ya Tuhan, Adek ini dari mana saja? Kami sudah mencari sampai ke semua tempat sampai ke sudut Rumah Sakit seharian ini untuk mencari Adek," omel suster yang di tugaskan Arga menjaga pemuda itu.
Bisma tidak menjawab, tubuhnya begitu lemah karena berkeliaran seharian. Pemuda itu ambruk, dia jatuh pinsan di depan semua orang.
Brakk.
“Astaga, tolong bantu saya bawa pasien kembali ke kamarnya," panggil suster.
Beberapa petugas kesehatan datang untuk menggotong tubuh Bisma dan di larikan ke ruang rawat. Rizuka tidak menyadari kehadiran lelaki itu saat Bisma melewatinya. Rizuka tengah tertunduk sedih dan tidak memperhatikan orang-orang di sekitarnya.
Dokter dan pihak polisi keluar dari ruang pemeriksaan, Rihana yang melihatnya segera menghampiri.
“Bagaimana?” tanya wanita itu.
Wajah Rihana terlihat pucat, wanita itu berharap polisi mendapatkan sesuatu. Agar khasus pembunuhan ini segera di tindak lanjuti. Rizuka ikut berdiri di samping ibundanya. Gadis itu berusaha tegar, di hadapan semua orang.
“Almarhum meninggal karena tusukan yang di lakukan merobek organ bagian dalam secara berutal.” Rizuka menutup telinganya. Kabar itu begitu mengerikan.
“Suami ibu meninggal karena 6 kali tusukan di perut yang sangat fatal dan kehilangan banyak darah.”
Rihana hanya bisa mematung, tetes bening itu kembali membasahi wajahnya. Wanita itu membayangkan bagaimana kesakitan yang di lalui sang suami sebelum mengembuskan napas terakhirnya.
“Bunda!” Rizuka mengigil dia gemetar.
“Iya, sayang. Bunda di sini.”
Rihana memeluk putrinya, sesak yang di rasakan begitu hebat.
“Apa sudah ada bukti yang akan membuat polisi menemukan pelakunya, Pak?” tanya Rihana.
Kedua polisi itu terlihat sangat percaya diri.
“Kebetulan, salah satu bangunan yang berdekatan dengan lokasi pembunuhan berada, terdapat cctv. Tim kami sedang meluncur ke sana. Kami akan melaporkan perkembangan khasus ini kepada ibu nanti.”
Rihana sedikit lega mendengar kabar baik itu.
"Syukurlah."
“Ibu silahkan pulang dulu, jenazah suami ibu masih di Rumah Sakit untuk di lakukan autopsi. Setelah semuanya selesai kami akan mengantarkan jenazah suami ibu pulang.”
Rizuka semakin gemetar mendengarnya.
“Jangan apa-apakan Ayah Zui, jangan sakiti dia,” ucapnya.
Rihana tidak kuat berada terlalu lama di tempat itu. Kondisi Zui yang begitu ketakutan membuat Rihana setuju untuk segera pergi.
“Baik, Pak.”
"Ayo, Nak."
Rihana membantu Rizuka berdiri. Anak gadisnya itu terlihat sangat lemah dan tidak berdaya.
“Ayo pulang, Nak. Zui jangan nangis, ya.”
Rizuka menggeleng dengan tangis teramat pilu.
“Zui ingin Ayah, Bunda. Zui, ingin melihat wajah Ayah.”
Rihana tidak bisa mengabulkan permintaan Zui. Dia sangat yakin, putrinya tidak akan sanggup melihatnya.
“Zui, ini sudah sore. Sebentar lagi magrib, Bunda tidak ingin kita kemalaman.”
“Biarkan saja jika putri Ibu ingin melihat jenazah ayahnya,"ucapan dokter membuat Zui segera bangkit dan masuk ke dalam ruangan, gadis itu tidak mempedulikan kedua polisi yang berdiri di depan pintu.
“Zui!” Rihana tak dapat menahannya. Dia ikut masuk dan melihat Zui membuka kain penutup jenazah suaminya.
Zui terseduh melihat wajah sang ayah. Tangisnya kembali menangis untuk kesekian kalinya.
“Ayah, kenapa ayah ninggalin Zui?” Rizuka mencium wajah Mahendra.
Pemandangan yang sangat mengharu biru bagi Rihana saat ini, Rizuka tergugu. Suaranya mulai serak karena terlalu lama menangis.
“Ayah bangun, Zui dan Bunda akan gimana nanti. Ayah tahu kami tidak bisa apa-apa tanpa ayah.”
Rihana tak kuat menahan bulir bening yang melesak keluar, sakit teramat sakit. Dia tidak kuat melihat putrinya terus memanggil suaminya.
“Zui akan buat perhitungan dengan orang itu, Yah. Zui akan membuat dia bertanggung jawab, Tuhan akan menghukumnya. Dia sangat jahat.”
Rizuka menyumpahi orang itu, walau mereka belum pernah bertemu.
“Manusia seperti apa yang bisa melakukan semua ini, bahkan dia menusuk Ayahku berulang kali. Tuhan akan membalasnya, aku mengutuk orang itu. Dia tidak akan pernah bahagia selama hidupnya!” teriak Zui.
Suara gadis itu melengking membuat Rihana mendekat dan memeluknya.
“Sayang, sudahlah.”
Zui mencium kening sang ayah lalu jatuh tidak sadarkan diri.
Rihana yang melihatnya, langsung panik dan segera meminta pertolongan.
“Tolong! Anak saya pinsan.”
Polisi yang bertugas di luar, segera masuk dan membantu membaringkan Zui di atas brangkar. Tepat di samping sang ayah di ruang pemeriksaan. Rihana melihat kedua orang yang di kasihinya terkapar.
“Anak ibu, shock. Sebaiknya jangan di bawah ke Rumah Sakit lagi,” ucap polisi itu.
Rihana sangat mengerti maksud lelaki itu.
“Terimakasih, Pak. Tolong tinggalkan saya sebentar.”
Dokter dan Polisi keluar dari ruangan itu, mereka mengerti jika keluarga korban butuh waktu untuk menenangkan diri.
Rihana menatap sang suami, hari ini begitu berat baginya. Tidak tersirat sekalipun jika sang suami akan meninggalkannya untuk selamanya.
“Mas, kau bilang agar aku menunggumu,” ucapnya.
Tangis wanita itu tak tertahankan.
“Aku masak makanan kesukaanmu, kau bilang hari ini akan pulang cepat dan akan makan siang bersama. Lalu ini apa, Mas?” tanyanya.
Rihana mengenggam tangan sang suami, tangan kekar yang telah bekerja keras untuk menafkahinya selama ini. Wajah Mahendra tetap cerah, lelaki itu seperti hanya sedang tertidur membuat Rihana mengusap kepalanya dan berusaha membangunkan.
“Mas, tolong bangunlah. Mas, jangan tinggalkan kami,” ucapnya.
Mahendra tak kunjung bangun membuat Rihana sadar bahwa semua ini hanya sia-sia.
"Siapa pelakunya? Kenapa semua ini harus menimpa kita."
Setengah jam di dalam ruangan, Rihana pun memutuskan membawa Rizuka pulang, tapi sebelum itu. Rihana penasaran dan ingin melihat luka tusukan yang menimpah sang suami.
Ibunda Zui, membuka kain penutup itu agar lebih rendah, wajahnya berubah pias dengan netra terbelalak. Luka itu terlihat mengerikan, Rihana tidak kuat untuk terus berada di sana.
“Polisi akan menangkapnya, Mas. Tenanglah di alam sana, tunggu kami.” Bisiknya.
Wanita itu sangat rapuh, namun dia bertekad untuk selalu kuat di hadapan semua orang terutama di hadapan putrinya.
"Bu, apa Anda telah selesai?" tanya Polisi yang berjaga.
Rihana mengangguk.
"Kami akan membantu ibu membawa putri ibu ke mobil. Serahkan semuanya pada kami. Ibu yang sabar, ya."
Rihana mengangguk lemah.