Ulangan harian berlanjut, sama seperti biasanya. Zui menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat, berbeda dengan Bisma, hingga lonceng bel berbunyi. Pemuda itu masih menatap lembar jawabannya.
Ting ting ting ting.
Suara lonceng bel berbunyi. Semua wajah mendongak, ada yang tersenyum senang karena mereka akan pulang, ada pula yang kusut karena ulangannya tidak terjawab semua.
"Oke, Anak-anak. Silahkan kumpul semua tugas kalian dan jangan lupa belajar yang rajin di rumah," ucap Bu Vita sang wali kelas.
"Baik, Bu." Semua murid menjawab serentak.
Satu per satu siswa keluar setelah mengumpulkan tugas mereka.
Bisma pun ikut bangkit dengan malas mengumpulkan kertas ulangan miliknya. Bersamaan dengan itu, Zui berdiri dan tidak sengaja bertabrakan dengan Bisma.
Brug
Dert (suara meja dan kursi yang berderet)
Zui terjatuh dan Bisma mencoba menolongnya. Kurangnya keseimbangan membuat Bisma berakhir tepat di atas tubuh Zui yang terlentang. Keduanya melotot seketika menyadari posisi masing-masing yang tidak berjarak.
Jantung keduanya berdetak hebat, entah kenapa Zui kehilangan kata dan diam mematung. Pandangan mereka bertemu, Bisma menahan napas saat menyadari raut kecantikan Zui.
Semua murid menatap ke arah mereka.
"Woy, lo apa-apaan sih. Kalau jalan hati-hati dong," ucap Nana dan membantu Zui bangun. Tubuh Bisma di dorong begitu saja membuat pemuda itu berguling dan menabrak meja.
Bisma meringis di tempatnya. Geng Zui memang ajaib. Gadis-gadis yang memiliki tenaga kuda.
"Lo nggak apa-apa kan?" tanya Nana khawatir.
"Ah, eh iya, gue nggak apa-apa, Na."
Duwi iba dan akan menolong Bisma.
"Mana diem aja lagi, lu. Minta maaf, kek!" seru Nana galak.
Bisma tidak mood berantem, hari ini dia sangat gusar. Pemuda itu menatap Zui datar.
"Nana." Duwi mengkode sahabatnya karena sudah sangat keterlaluan.
"Apaan sih, Wi."
"Sorry," ucap Bisma.
Satu kata yang membuat Nana dan Zui terperangah, mereka tidak percaya jika seorang Bisma yang terkenal badung meminta maaf pada mereka.
Zui tertegun, Bisma bangkit dan mengambil kertas ulangan miliknya. Dia memilih hengkang dari sana. Bermasalah dengan Gengnya Zui membuat Bisma muak. Apalagi Nana yang terkenal kelewat cerewet.
"Caper banget, ya wajar lah. Bisma kan ganteng," seloroh siswi penggemar Bisma. Mereka menyudutkan Zui dan menganggap gadis itu kecentilan.
Nana menatap garang.
"Kenapa, lo! Ambil sono ganteng lo!" ucapnya kasar.
"Udah, Na. Nggak usah di tanggepin," ucap Zui.
"Kalian dengar, tadi cowok itu bilang apa?" tanya Nana dengan ekspresi di buat-buat.
"Apa?" tanya Zui.
"Dia bilang, sorry." Duwi mengulang ucapan Bisma dengan lugas.
"Kepentok apaan kepalanya, kok bisa sopan gitu," ucap Nana.
Zui memilih membereskan barang-barangnya dan tidak ikut riuh menafsirkan gelagat yang tidak biasa dari Bisma.
"Aneh lu, Na. Kalau dia galak lu kesel, kalau dia sopan lu geger, lu sebenarnya maunya apa sih. Heran," ucap Duwi.
"Ih, Duwi. Bukan gitu maksudnya," ucap Nana ngambek.
Zui berjalan menuju ke meja Bu Vita, gadis itu mengumpulkan kertas ulangan miliknya di susul oleh kedua sahabatnya. Zui berjalan keluar dan melihat mobil Bisma melaju meninggalkan sekolah.
Tatapan Bisma terlintas membuat Zui menggeleng. Jantungnya kembali berdetak, Zui meraba dadanya.
"Oh tidak, kenapa sekarang aku memikirkannya."
Kedua sahabatnya segera menyusul, mereka sepakat akan belajar bersama di rumah Zui saat pulang sekolah.
"Rizuka!" Panggil Bu Vita.
Zui dan teman-temannya menoleh bersamaan ke arah belakang.
"Ya, Bu."
"Bisa ke ruangan Ibu sebentar?" pinta wanita itu.
Zui menatap kedua sahabatnya.
"Ya, gimana sih. Kita kan mau belajar bareng," keluh Nana.
Zui tidak bisa mengabaikan permintaan Bu Vita.
"Baik, Bu. Saya akan segera kesana."
Nana dan Duwi tampak memelas.
"Kita belajarnya besok-besok aja, ya. Jangan sekarang. Belajarnya nanti via VC aja," bujuk Zui.
"Ya, nggak asyik dong. Mana masuk di otak gue ini," keluh Nana.
Zui dan Duwi tertawa bersamaan.
"Ha ha ha, ada-ada aja sih, Na."
"Baiklah, kita lihat nanti. Gue harus menemui Bu Vita, jarang-jarang kan Beliau manggil."
"Iya sih, bener. Baiklah, kita balik duluan." Nana dan Duwi pamit dan berlalu dari sana.
"Hati-hati," ucap Zui melambaikan tangan. Gadis itu segera menemui Bu Vita di ruang guru.
Setelah mengetuk pintu, Zui pun masuk ke ruangn.
"Selamat siang, Bu. Ibu manggil saya," ucap Zui sopan.
"Iya, silahkan masuk, Zui."
Zui duduk di kursi, Bu Vita mengeluarkan selembar kertas ulangan.
"Zui, Ibu sebenarnya mau meminta tolong padamu. Ibu ingin kau membantu Ibu untuk mengajari Bisma besok saat pulang sekolah."
Zui kaget, dia tentu saja shock mendengarnya. Bagaimana mungkin Bu Vita memintanya sedang dia dan Bisma tidak pernah akur.
"Bagaimana, kamu bisa, 'kan?" tanya Bu Vita.
Zui mengumpulkan keberanian untuk menolak rencana Bu Vita. Dia tidak yakin untuk duduk bersama dengan pemuda itu.
"Maaf, Bu. Saya tidak bisa."
"Kenapa? Zui tolonglah, hanya kau harapan kami untuk mengubah Bisma. Kami juga nggak nyangka jika dia memiliki nilai serendah ini." Bu Vita menyerahkan kertas jawaban Bisma ke Zui.
"Tapi, Bu. Saya dan dia tidak pernah akur. Ibu bisa minta tolong ke murid yang lain," ucap Zui.
Bu Vita menggeleng, dia tak bisa percaya pada orang lain selain pada gadis itu.
"Kau salah, Bisma tidak seperti itu. Kau ingat saat kau pinsan di tengah lapangan?" Bu Vita mengingatkan kejadian beberapa hari yang lalu.
Zui mengangguk, dia sudah tahu jika Bisma yang menggendongnya, tapi itu bukan patokan jika dia harus menerima tawaran yang ada.
"Ibu melihat bagaimana dia mengkhawatirkanmu, Bisma menyimpan dua s**u kotak vanilla di samping brangkar sebelum kau sadar. Bisma sepertinya tidak senakal itu, Zui."
Rizuka tertegun mendengarnya.
'Benarkah,' Batinnya.
"Ibu harap kau mau membantu, besok soal dia mau atau tidak nanti jadi urusan pihak sekolah."
Zui masih melamun dan tidak mendengarkan dengan baik.
"Mau, ya, Zui?" pinta Bu Vita.
Lama tidak mendapatkan jawaban, Bu Vita menganggap Zui menyetujui.
"Kalau begitu Ibu pamit, kita bertemu di sini besok saat pulang sekolah." Bu Vita keluar ruangan meninggalkan Rizuka yang masih mematung. Beberapa menit kemudian gadis itu tersadar dan mengejar Bu Vita, sayangnya wali kelasnya itu telah pergi dengan mengendarai mobilnya.
"Ya Tuhan, apa yang telah aku lakukan. Bu Vita pasti mengira aku setuju belajar bersama dengan Bisma." Zui melangkah dengan gontai pulang ke rumah.
Pikiran tentang Bisma kini bersarang di kepala.
***
Di tempat yang berbeda.
Bisma kini duduk di sebuah Cafe menunggu Arga datang menemuinya.
Ice cream vanilla dengan lelehan coklat yang melting telah berada di hadapan, Bisma menikmati ice cream itu seperti anak kecil.
"Bagaimana ulanganmu?" tanya Arga dan menepuk pundak adiknya.
"Eh, Bang. Kapan nyampainya?" tanya Bisma kaget.
Arga duduk di kursi dengan melipat kedua tangannya.
Akhirnya pertemuan terjadi setelah sekian lama terpisah.
"Itu tidak penting sekarang, yang penting itu adalah ulangan kamu."
Bisma bersandar di kursinya, suasana Cafe tampak sepi karena waktu makan siang telah berlalu.
"Malas, ah. Abang nanyanya itu mulu, itu nggak penting. Toh, Ayah selalu bisa mengatasi segalanya dengan uang."
Arga menghela napas mendengar ucapan Bisma.
"Bis, kenapa kau berpikir sepicik itu. Kau tahu, Mama bertengkar hebat dengan Ayah karena Beliau tahu kalian berantem di rumah. Apa susahnya sih, nurut, Bis. Hanya sampai kamu lulus, setelah ini terserah kamu mau kuliah atau nggak. Yang penting sekarang, kamu harus menyelesaikan sekolah dengan nilai yang memadai," ucap Arga menjelaskan.
"Lo nggak asyik, Bang. Lo udah mulai ceramah, kenapa sih kalian sangat berpatokan pada nilai! Heran." Bisma kehilangan selera makan mendengar ucapan Arga.
Pertemuan yang di kira akan menyenangkan, setelah sekian lama terpisah. Menjadi kaku dan saling bersih tegang.
"Lihat diri kamu, Bis. Nilai ini sangat penting untuk masa depan kamu, jangan bilang kamu mau tinggal kelas lagi."
Bisma merasa panas mendengar semua petuah Arga.
"Terserah, gua mau cabut. Gua males di sini." Bisma mengeluarkan beberapa lembar uang merah dan menyimpannya di atas meja.
"Kamu mau kemana?" tanya Arga.
Bisma tidak menjawab dan memilih mengabaikan, Bisma tidak suka di kekang. Ayah dan Mamanya sudah cukup tapi tidak dengan Abangnya.
"Hey, bukannya kita akan makan siang bersama?"
Bisma meninggalkan Cafe dan mengemudi kemana saja untuk menghilangkan kedongkolannya.
Arga merasa jika Bisma memang telah berubah. Pemuda itu telah di luar kendali, adiknya sekarang sangat berbeda dan tidak sepatuh dulu.