Pesta berlangsung meriah, uforia terjadi saat Bisma melantunkan lagu andalan membuat wanita dan gadis remaja histeris bersamaan.
"I love you, Bisma!" Sorak terdengar mengiringi penampilan pemuda itu.
Penggemar Bisma kebanyakan dari kalangan remaja, wajah tampan dan karismatik. Pembawaan yang cool saat berada di atas panggung membuat kalangan hawa terpanah melihatnya.
Satu dua lagu di tembangkan, hingga waktu yang disepakati selesai.
Mitha puas atas party yang sudah di adakan. Megah dan heboh sesuai prediksinya.
"Dia emang menawan, sayang nggak mau jadi cowok gue," ucap Mitha pada teman wanitanya.
Pandangan gadis itu tidak beralih dari Bisma.
"Dia bukan hanya anak Band, Mi. Dia juga anak Pak Walikota. Lo jangan lupa akan hal itu,"
"Ya, itulah tantangannya. Gue ingin dia jadi milik gue suatu saat nanti."
Mitha sangat mengangumi Bisma. Apalagi pemuda itu cuek dan membuat Mitha seolah tertantang untuk menaklukkannya.
"Jangan panggil gue Mitha kalau gue nggak bisa dapetin dia."
"Uhuuu, sadis merinding kita," kelakar teman party Mitha.
The Genk Bisma bubar dan langsung keluar menuju mobil masing-masing. Bisma yang tidak suka berbasa-basi segera meninggalkan Klub dan melalui Mitha yang menunggunya sedari tadi.
"Hey, Bis. Lo nggak ngasih gue ucapan gitu, main pergi aja," sahut Mita dan menggapai tangan Bisma manja sebelum masuk ke dalam mobil.
Pandangan gadis remaja yang berada di sekitar Mitha membuat Bisma cukup risih.
"Sorry, jam kerja gua udah habis dan gua ngantuk."
Bisma menjauhkan tangan Mitha dan masuk ke mobilnya.
"Hey, lain kali gue ajak makan boleh dong,"
Gadis itu masih berusaha. Bisma melihat bagaimana gadis-gadis itu saling berbisik.
Bukan hal yang baru bagi Bisma menjadi populer di tengah gadis remaja.
"Kita lihat nanti,"
"Aih, gua suka gaya lo, Bis. Lo harus jadi cowok gue," bisik Mitha sembari melihat lelaki itu berlalu.
Bisma menyalahkan mesin mobil dan meninggalkan klub. Pemuda itu menuju ke hotel untuk menginap. Gengnya sudah tiba lebih dulu dan Bisma tinggal menyusul.
Beberapa menit kemudian, Bisma tiba di hotel dan menuju ke kamar yang sudah di pesan. Wajahnya di tengkuk karena kesal.
"Nggak setia kawan lo pada! Main tinggal aja." Lelaki itu merebahkan tubuhnya di atas kasur.
"Ets, sorry, Bis. Kita kira lo mau kencan," celetuk Riki menahan tawa.
"a***y, gila aja lo mau kencan jam segini."
Bisma memasang alarm untuk bangun jam enam pagi. Pemuda itu bahkan tidak melihat banyaknya panggilan dari Abangnya saking lelahnya.
"Udah, sebaiknya kita tidur agar besok bangun lebih awal."
"Jika besok kita sampai kesiangan maka habislah kita semua," ucap salah satu teman Bisma.
"Baiknya lu nggak tidur, jadi nggak kesiangan," timpal Bisma.
"Kira-kira aja lo, ini aja, mata udah sepet. Ya udah good nigt."
Mereka memilih tidur di kamar yang sama agar bisa saling membangunkan. Bisma menarik selimut lalu terlelap dengan cepat.
Tiga jam kemudian ...
Pagi menyinsing rutinitas penduduk ibu kota kembali memenuhi jalan. Geng Bisma masih terlelap. Bahkan alarm yang terpasang tidak menganggu tidur mereka yang nyenyak. Ponsel yang ada di atas nakas terus berbunyi tanda ada panggilan masuk. Arga telah menghubunginya berulang kali tetapi tak mendapatkan jawaban.
"Ponsel siapa itu woi, berisik tau nggak!" Riki menarik selimut dan menutupi wajahnya.
Bisma perlahan membuka mata, pemuda itu bangun dan melihat jam. Nyawa yang belum terkumpul sempurna membuatnya sedikit oleng.
Pukul 07:17 menit.
Pemuda itu terbelalak dan panik.
"Woi bangun kita telat! Bangun! Bangun! Gua duluan, ya." Bisma segera mencari barang-barangnya sesekali menendang tubuh teman-temannya agar sadar dari mimpi indah.
"Woy ulangan! Gua cauw duluan." Yang lain ikut membuka mata dan melihat jam tangan mereka. Semuanya langsung berhamburan dengan cepat.
"Aissh, bisa telat nih," Kamar itu berubah gaduh. Ada yang mencari baju mereka ada pula yang cari celana.
"Mati kita! Buruan bangun woi!"
Bisma berlari keluar dan menuju parkiran. Saat berada di mobil, Arga kembali menelponnya. Bisma langsung mengankat panggilan itu dan segera menyalakan mesin mobil.
[Halo, Bang. Maaf gua nggak lihat panggilan lu,] ucapnya ngos-ngosan.
[Segera ke sekolah Abang tunggu di sana.]
Bisma terperangah, dia bingung kenapa Abangnya memintanya ke sekolah sekarang.
Ting.
Pesan masuk dari Arga.
[Aku membawa seragammu dan perlengkapan sekolah, jangan pulang ke rumah. Ayah dan Mama sedang berantem.]
Tanpa pikir panjang, Bisma langsung tancap gas memenuhi permintaan Arga.
"Thank you, Bang." Bisik Bisma sembari mendendarai mobilnya.
Pemuda itu senang mengetahui Arga telah kembali, Abangnya satu-satunya alasan Bisma tidak kabur dari rumah.
Tidak ingin terjebak macet, Bisma mengendara di atas kecepatan rata-rata agar tidak telat sampai di lokasi. Di kejauhan pemuda itu melihat Arga yang telah berdiri dan bersandar di mobilnya. Senyum Bisma terbit melihat Abangnya yang selalu tampak menawan. Arga memakai kemeja abu-abu dengan celana jeans dan tidak lupa kacamata hitam bertengger di hidung mancungnya.
Kedatangan Arga membuat teman sekolah Bisma terus menatap lelaki itu. Gadis-gadis cantik, teman-teman Zui pun menatap Arga dengan takjub.
"Na, apa dia guru baru?" bisik Duwi penasaran.
"Entahlah, kalau iya asyik banget dapat guru ganteng."
Arga menoleh ke Nana saat mendengar gadis itu kegirangan.
"Selamat pagi, Pak," sapa Nana manja.
Duwi melongo melihat tingkah sahabatnya.
"Aduh, Na. Malu-maluin aja sih." Duwi membawa Nana menjauh karena malu.
"Apaan sih, cakep tau nggak. Kayak cha eun wo."
Arga hanya tersenyum, lelaki itu memang ramah dan sopan.
Bisma yang baru menepikan mobil, segera turun menemui Arga.
"Hey, kapan Abang datang? Kenapa nggak ngabarin?" Bisma langsung memeluk Arga erat.
Abangnya itu terlihat cuek dan kecewa.
"Idih, si badung kenapa bisa kenal sama Mas Ganteng," seloroh Nana cemberut.
"Udah sih, mungkin temennya," timpal Duwi.
"Kamu habis dugem di mana?" tanya Arga dan menyodorkan paper bag yang berisi seragam sekolah Bisma.
Tidak ingin ketahuan, Bisma pun berpura-pura tidak tahu dengan maksud dari pertanyaan yang di lontarkan.
"Maksudnya Abang gimana, sih?" tanya Bisma dan masuk ke dalam mobil Arga untuk mengganti pakaiannya.
Tidak lama, pemuda itu keluar dengan pakaian rapi.
"Kau masih bau alkohol, Abang yakin kau pun tidak mandi."
Bisma mencium kembali napasnya dengan cara menghembuskan di tangan lalu menghirupnya kembali.
'Gila, Abang detail banget koreksinya,' Batin Bisma.
"Bang, Bisma telat nih. Kita bicara lagi nanti. Okey." Hanya dengan cara itu dia bisa lolos dari Introgasi.
Ting Ting Ting Ting.
"Tu, kan bel berbunyi. Thank you karena Abang sudah bawain seragam." Bisma memeluk Arga dan berlalu memasuki kelas.
"Tapi, Bis!"
"Ntar gue susul ke kantor deh," seru Bisma.
Arga pun mengalah dan pergi dari sana setelah memastikan Bisma masuk dalam sekolah.
"Buset, lo denger nggak, Wi? Masa iya cowok cakep tadi Abangnya." Nana melongo dan tidak ingin percaya.
"Bisa jadi, sih. Udah deh, kita udah telat nih." Duwi menarik tangan Nana dan berlalu secepat yang dia bisa.
Suasana kelas pagi hari, riuh dan berisik. Semua orang sudah duduk di meja masing-masing. Begitupun dengan Zui. Gadis itu sedang asyik menikmati bacaan di tangannya.
Nana dan Duwi sesekali mencuri pandang pada Bisma. Pemuda itu tak pernah akur dengan Zui, ada saja yang membuat keduanya saling cekcok.
'Bahkan saat-saat seperti ini dia masih belajar dasar muka buku!' Batin Bisma.
Zui sadar jika Bisma sedang menatapnya. Gadis itu memilih cuek dan mengabaikan. Seolah Bisma sosok yang tidak terlihat.
"Baiklah, anak-anak. Kalian tahu kan jika hari ini, hari apa?" ucap wali kelas yang bertugas hari ini.
"Tahu, Bu!" Seru siswa dan siswi yang hadir.
"Bagus, itu artinya kalian telah belajar dengan baik di rumah."
Bu Vita membagikan kertas ulangan beberapa lembar di bangku pertama. Sampai di situ, siswa yang di berikan akan mengoper ke belakang. Zui mendapatkan kertas ulangan milik Bisma. Alih-alih menoleh, Zui memberikan kertas tanpa menatap lelaki itu.
Bisma menatap kesal pinggung Zui dan menarik kertas ulangannya.
"Ibu beri waktu sembilan puluh menit untuk mengisi kertasnya. Kerjakan dengan benar dan jangan ada yang berisik," ucap Bu Vita menjelaskan.
"Baik, Bu." Seru murid yang lain.
Terdengar suara riuh di luar kelas, semua murid melihat ke arah pintu. Bisma tahu, suara itu berasal dari mana. Gengnya baru saja tiba dan terlambat.
Terlihat seringai puas di wajah lelaki itu.
"Kalian kerjakan tugasnya, Ibu keluar dulu." Bu Vita meninggalkan kelas dan semuanya mengisi lembar jawaban dengan tertib.
Bisma memainkan pulpen di tangannya. Tak ada satupun yang masuk dalam otak kecilnya.
"Gila, ini yang buat pertanyaan kek dendam banget ma gua. Kenapa semuanya sulit begini," keluhnya.
Zui hanya mendengarkan, pemuda itu memang ajaib menurut Zui. Ajaib dalam hal mengeluh.
Zui menyelesaikan ulangannya dengan cepat, Bisma tahu karena Zui langsung melanjutkan membaca buku.
"Udah selesai aja, dia. Mungkin kalau malam dia minum ramuan rumus atau materi lain yang di rendam." Bisma tersenyum sendiri membayangkan apa yang di lakukan Zui.
Plak,
Meja di tendang pelan.
Zui menatap Bisma lekat.
"Bisa diem nggak!" Gadis itu melotot ke arahnya.
Bisma berdecih.
"Dasar Nenek Lampir!"
Pemuda itu kembali mengisi lembar jawabannya. Bisma memutuskan mengisi dengan jawaban seadanya.
"Baiklah, waktunya hanya tinggal beberapa menit lagi. Silahkan selesaikan." Bu Vita memperingatkan mereka.
Bisma panik dan tidak memiliki pilihan. Pemuda itu mengisi kertas ulangannya dengan segera.
"Bodoh amat deh kalau salah," ucapnya santai.
"Oke, semuanya. Silahkan kertasnya di kumpulkan. Setelah ini kalian boleh istrahat,"
"Baik, Bu." Seru semua murid.
Nana dan Duwi bersiap mengajak Zui keluar.
"Sudah, 'kan?" tanya Nana
Zui mengangguk dan tersenyum, Bisma yang ada tepat di belakangnya memutar bola mata dengan malas.
"Soalnya nggak terlalu susah sih, semalam aku dapat materinya dan kebetulan hari ini itu yang naik di kertas ulangan," sahut Duwi.
"Berarti lancar dong, ya," ucap Zui. Kedua sahabatnya langsung mengangguki ucapannya.
Kuping Bisma rasanya terbakar mendengar obrolan mereka, pemuda itu bangkit dan mengumpulkan kertas jawaban seperti yang lainnya.
Bisma mengumpat pelan saat melalui gadis itu.
"Sok pinter banget!" Ucapan Bisma terdengar di telinga Zui. Pemuda itu langsung keluar setelah mengumpulkan tugasnya.
"Ayo, ke kantin, yee." Nana dan Duwi heboh merayakan keberhasilan mereka, Zui ikut keluar dan melihat Bisma tengah berbincang dengan teman-temannya. Segerombolan pemuda itu tampak kusut membuat Zui penasaran dengan apa yang terjadi.
"Kalau Bonyok kita sampai tahu soal ini, mati kita. Apa yang harus di lakukan sekarang?" sekilas Zui mendengar keresahan mereka.
Bisma menatap Zui tajam saat pandangan mereka bertemu, tidak ingin mencari keributan Zui memilih meninggalkan tempat itu.
"Bis, lo harus tanggung jawab kalau orang tua kita marah karena keterlambatan ini." Seru salah satu dari Gengnya.
"Idih, kenapa gua? Nggak jelas lo!" Bisma tidak terima disalahkan.
"Semua ini salah lo, Bis. Andai lo nggak pengaruhi kita untuk tetap tinggal. Semua nggak akan berakhir kayak gini."
Bisma berdecih mendengarnya,
"Lo semua jangan asal bicara, ya. Lo semua yang ngambil keuntungannya dan
semuanya atas keputusan kalian. Kenapa sekarang kalian nyalahin gua? Kagak, silahkan hadapi orangtua kalian masing-masing. Jangan bawa-bawa nama gua atau Band kita, itu jika kalian tidak ingin di keluarkan. Banyak kok di luar sana yang bisa ganti posisi lu pada," ungkapan Bisma membuat Gengnya melongo.
Bisma pergi dari hadapan mereka, pemuda itu tidak sabar mendengar kabar tentang anak pejabat yang nilainya ikut anjlok. Tentu, akan heboh sama seperti dirinya.