Chapter 7 Mie buatan Arga

1152 Kata
Bisma kembali saat hari sudah gelap, pemuda itu langsung masuk ke rumah dan naik ke lantai dua mengunci dirinya di dalam kamar. Tidak ada salam atau sekedar mencium tangan, Bisma melalui Mamanya di ruang tamu begitu saja. "Bisma, Mama mau bicara, Nak." Yuliana, Mama Bisma langsung menyusul putranya. Semalaman tidak kembali membuat wanita berparas cantik itu sangat khawatir. "Bisma, sayang. Kamu nggak makan dulu, Nak?" tanya sang Mama dari luar. Bisma mengabaikannya sekali lagi, lelaki itu meraih headset dan mendengarkan musik. Volumenya full membuat semua suara tenggelam. "Bisma, buka pintunya," panggilnya lagi. Usaha wanita itu tidak menuai hasil. Hubungan mereka tidak sedekat dulu. "Sebaiknya jangan diganggu, Bu. Den Bisma kalau pulang sekolah memang begini, orangnya langsung istrahat dan tidak ingin diganggu." Bibi yang bekerja di rumah itu mencoba melapangkan hati Yuliana. "Baiklah, Bi. Semoga makan malam nanti, dia mau keluar." Yuliana sadar, semenjak terpilihnya sang suami menjadi walikota. Perhatian terhadap Bisma ikut tersita. Wanita itu harus ikut andil mengikuti kegiatan penting yang diselenggarakan ibu-ibu pejabat. Mengikuti segala rutinitas membosankan yang dia pun tak mau. Namun, apa boleh buat semua harus dijalani demi reputasi sang suami. Malam pun tiba, Bisma masih menyendiri di dalam kamar. Bram dan Arga baru saja kembali dari kantor. Lelah seharian bekerja membuat mereka duduk rehat sejenak di ruang tengah. "Ayah dan Arga udah pulang, Mama buatkan minum dulu, ya," ucap Yuli dan akan segera berlalu. "Tidak perlu, Ma. Minta Bibi saja yang buatkan. Mama di sini saja. Bagaimana dengan kabar Bisma? Apa ulangannya lancar hari ini?" tanya Bram. Yuliana hanya bisa mematung, Bram sangat lelah dan melonggarkan dasi serta menarik tangan kemejanya hingga ke siku. Arga pemuda yang patuh. Dia tidak berani menyela saat orang tuanya sedang bicara. "Kenapa Mama diam saja? Apa anak itu berulah lagi?" tanya Bram. Suara Ayah dua anak itu kini naik beberapa oktaf. "Yah," ucap Arga. Arga tidak bisa diam jika hal itu berhubungan dengan Mamanya. "Adikmu itu sudah tidak mampu di atur, Ga. Ayah menyesal memilikinya!" "Astaga, Ayah!" Yuliana menutup mulutnya dengan kedua tangan, airmata wanita itu luruh. Dia tidak menyangka Bram akan mengatakan hal sesensitif itu. Demi menghindari pertengkaran, Bram membawa tas kerjanya menuju ke kamar. Penat di kantor ditambah dengan masalah yang terjadi di rumah membuat lelaki itu hampir gila. Arga menghela napas, dahulu keluarganya tidak seperti ini. Bram sosok Ayah yang bijaksana, Bisma pun selalu masuk sepuluh besar. Semuanya berubah sejak sang Ayah terpilih menjadi walikota. "Mama nggak apa-apa, kan?" tanya Arga. Yuliana terseduh meratapi ucapan suaminya. "Apa yang harus Mama lakukan, Ga? Mama sendiri nggak tahu kenapa Bisma seperti ini. Bisma memang nggak secerdas kamu, Nak. Tetapi, dia juga tidak sehancur ini. Mama nggak sempat bertanya soal ulangannya, pulang sekolah adikmu langsung memasuki kamar dan belum keluar sampai saat ini." Arga membantu Yuliana duduk di sofa, dia berusaha menenangkan hati wanita itu. "Sudahlah, Ma. Bisma bukan anak kecil lagi, dia pasti tahu segala konsekuensi dari perbuatannya." Setelah Yuliana berhenti menangis, Arga pun pamit untuk ke kamar. "Arga ganti baju dulu, ya, Ma," pintanya. Sang Mama hanya bisa mengangguk, anak sulungnya itu terlihat sempurna. Tidak ada kekurangan sama sekali pada dirinya. Yuliana sangat bersyukur, karena Arga mampu memenuhi standar yang diinginkan sang suami. Pukul 08:00 malam. Yuliana kembali menggedor kamar Bisma, putranya itu belum keluar juga. "Bisma, Sayang. Makan malam dulu, Nak," panggilnya. Arga yang berada tepat di samping kamar Bisma mendengar usaha keras Mamanya. "Bisma, bangun udah malam, Nak. Mama udah masak makanan kesukaan kamu, Abang juga udah pulang, kita makan malam bersama, ya." Arga tidak tahan, lelaki itu keluar dari kamar setelah mengganti pakaiannya, Mamanya masih setia di depan pintu kamar Bisma berusaha membujuk sang Adik. "Mama makan malam aja duluan sama Ayah, biar Bisma nanti sama Arga." Arga tahu Bisma menghindari Ayah mereka. "Tapi, Ga." "Percaya sama Arga, Ma. Arga akan bawa makanan ke atas dan makan bersama Bisma nanti." Yuliana tersenyum dan mengusap kepala putranya, netra wanita itu kembali berkaca-kaca. "Terima kasih telah kembali," ucap Yuliana penuh haru. "Sama-sama, Ma." Yuliana menuruti ucapan Arga, dia hanya melayani suaminya makan. Tidak ada yang menyinggung kemana Arga dan Bisma yang tidak hadir. Bram terlalu mumet untuk membuat anak-anaknya turun dan duduk bersama. Setelah makan malam, Bram langsung istrahat. Besok pagi lelaki itu harus melakukan perjalanan keluar kota dan harus menyimpan tenaga lebih untuk itu. Yuliana hanya bisa diam sebagai pendamping yang penurut dan patuh, Arga yang melihat keadaan keluarganya makin prihatin. Terutama pada Mamanya. Yuliana masih duduk di kursi meja makan. Setelah kepergian Bram ke kamar, wanita dua anak itu merenungi nasib rumah tangganya. "Mama, Mama makan malam dulu, ya." Arga memeluknya dari belakang. Yuliana tersentak, tak lama dia pun tersenyum. "Jangan khawatiran Mama, Nak. Mama baik-baik saja, khawatirkan Adikmu." Arga berlalu dan membuat mie kuah dengan extra pedas kesukaannya bersama sang adik. "Mama tenang saja, tu bocah pasti makan malam, yakin aja sama Arga, Ma." Arga membuat porsi jumbo, dia sadar Bisma belum makan seharian. Buat porsi normal hanya akan membuat dirinya tidak kebagian. Mie kuah pedas dengan toping andalan, di sajikan di atas mangkuk besar pula. "Ga, kamu ngapain buatnya sebanyak ini?" tanya Mama Yuli. Arga hanya cengengesan. "Mama nggak tahu aja kalau anak Mama ngambek makanya kayak porsi kuli." "Hush, nggak sopan bicara begitu." "Sorry, Ma. Kalau begitu Arga antar makanan ini keatas dulu." Arga berlalu dan menuju ke kamar Bisma, pemuda itu memiliki kunci kamar adiknya. Begitupun dengan Bisma yang memiliki kunci kamar Abangnya. Yuliana mengikut dari belakang untuk memastikan Arga benar-benar masuk ke kamar Bisma atau tidak. Tok tok tok Arga menggedor pintu. "Bis, Abang masuk, ya." ucapnya dari luar. Tak lama, Arga meraih kenop pintu dan membuat Mamanya percaya. Arga telah memutar kunci kamar Bisma sebelum turun memasak mie instan. "Syukurlah, Arga bisa meluluhkan hati Bisma." Wanita itu akhirnya lega dan berjalan turun ke dapur. Arga yang ada di dalam kamar meletakkan makanan yang di bawanya ke atas meja. Bisma tertidur dengan headset di telinga. "Pantes nggak bangun-bangun," ucap Arga menggelengkan kepala. Adiknya itu masih tertidur dengan headset di telinga. Perlahan dia mendekati dan membangunkan Bisma untuk makan. "Bis, bangun. Ini aku buatkan mie selera pedas kesukaankamu," ucapnya setelah menarik headset itu menjauh. "Apasih, Bang," keluh Bisma. "Bangun, Bokap udah pulang jangan sampai Beliau yang naik ke sini dan bangunin kamu makan." Mata Bisma terbuka sempurna, dia menatap Arga jengkel karena selalu berhasil membuatnya bergidik. "Cuci muka lalu ikut makan bersama," titah Arga. Bisma lagi-lagi menurut dengan wajah kesalnya, pemuda itu masih menggunakan seragam sekolah. Setelah dari kamar mandi Bisma pun duduk di samping abangnya dengan malas. "Nih makan," ucap Arga menyendok kan semangkuk mie instan untuk Bisma. Jika sedang kesal atau sedih, mereka selalu melakukan hal konyol ini. Makan mie instan dengan level paling nampol pedasnya. Cara jitu menghilangkan kekesalan. "Gimana, enak nggak?" tanya Arga. Bisma mengangguk dengan lahap. "Enaklah, orang laper ditanya," sungutnya. "Ngambek boleh, bloon jangan. Ngapain ngurung diri sampai malam gini, mau diet?" Bisma menggeleng kuat, aroma mie instan sangat menggugah seleranya. "Gua nggak ngambek, gua ketiduran."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN