Bisma tak pernah betah tinggal di rumah, dia selalu merasa bosan dengan kondisi keluarga yang selalu sibuk melakukan pencitraan.
Satu-satunya orang yang selalu di nanti Bisma pulang hanyalah abangnya, Arga Bramantyo Angkasa. Arga mendapatkan nama besar Ayah dan Kakeknya. Hanya Arga yang mewarisi nama Bramantyo di belakang namanya.
Bisma selalu patuh pada Arga, sebandel apapun dia. Sesibuk apapun, Bisma. Saat Abangnya memintanya datang. Bisma akan langsung meluncur.
Dengan langkah gontai, Bisma kembali ke rumah. Pemuda itu langsung masuk karena pintu utama tak pernah di kunci.
"Bi! Buatkan minum," ucap Bisma dan melempar tas sekolahnya ke sembarang arah.
Jam segini, ibunya masih dalam pertemuan arisan dengan istri para pejabat.
Bisma tidak pernah mencari kedua orangtuanya saat pulang dari sekolah. Dia tahu betul kalau itu adalah hal yang mustahil. Sangat mustahil bagi Bisma di sambut dengan manis saat pulang sekolah.
Pemuda itu merebahkan diri di sofa dengan sepatu yang entah melayang di mana.
"Bi! Buruan, lama banget sih."
Bram pulang lebih awal hari ini demi memberi pelajaran pada Bisma.
Tepuk tangan terdengar nyaring, Bisma bangkit dan mencari sumber suara itu.
"Wah, pantas nilaimu selalu buruk. Pulang sekolah, bukannya kau mengganti baju malah bertingkah seperti berandalan."
Bisma memutar bola matanya, lelah mendengar ceramah yang akan keluar dari mulut ayahnya.
"Kau tahu, kabar apa yang Ayah dengar di kantor? Kenapa kau tidak bisa menjadi siswa yang bisa Ayah banggakan, Bis. Semau staf yang ada di bawah Ayah memuji putra dan putri mereka dan membicarakan keburukan kamu," ucapnya kecewa.
"Udahlah, Yah. Sebelum pindah juga emang udah kayak gini kan? Kenapa Ayah baru mengeluh sekarang, Ayah ini sangat lucu," ucap Bisma mengejek.
Emosi Bram semakin memuncak kala Bisma tak bisa menunjukan sikap hormatnya sedikit pun.
Plak
Satu tamparan mendarat di pipinya. Bisma terluka di sudut bibir akibat perbuatan Ayahnya.
"Kau sangat kurang ajar, dosa apa yang telah kulakukan hingga mendapatkan putra seperti dirimu. Kenapa kau tidak bisa mengikuti jejak Abangmu. Kau harusnya sudah kuliah, Bis. Kau harusnya sudah melanjutkan pendidikanmu dan memulai usahamu sendiri. Apa yang telah kau lakukan pada dirimu? Kau menyia-nyiakan kesempatan yang ada."
Bram gemetar menahan amarah yang berkecamuk di hatinya. Sedang, Bisma pemuda itu merasa terbakar. Sakit hati semakin menjadi.
"Ayah dengar, ada seorang siswi yang selalu menyabet prestasi dari sekolahmu. Lakukan sesuatu kepadanya, Ayah tidak mau tahu, kau harus bisa mengalahkannya atau kau akan kehilangan fasilitasmu sebagai anak sang Walikota."
Bisma menyentuh bibirnya yang terluka, dia tertawa mendengar perintah yang baru saja keluar dari mulut ayahnya.
"Ha ha ha ha, aku bukan dirimu, Yah. Tidak ada yang akan hengkang dari posisinya, tidak dengan cara yang tidak benar. Aku tidak peduli jika harus tinggal dan tidak naik kelas lagi. Ini hidupku, pilihanku," ucap Bisma tegas.
Amarah Bram kian menjadi.
Bug
Kali ini Bram memukul Bisma telak di perut putranya. Bisma jatuh dan terkapar, meski begitu dia tidak mengeluh.
"Kurang ajar, kau mau menyindir siapa, ha! Kau pikir. Semua yang kau nikmati ini berasal dari mana? Jangan sok suci kamu!"
Bram melangkahi tubuh Bisma, apapun yang berhubungan dengan putranya tak pernah berakhir dengan baik.
Bram mati akal untuk meyakinkan Bisma, semua cara telah ditempuh. Dari cara paling lembut hingga cara yang kasar.
"Kau akan menuruti ayah atau ayah yang akan melakukan semuanya sendiri."
Bisma diam dan duduk memikirkan ucapan ayahnya. Pemuda itu bingung dan tidak mengerti maksudnya. Bisma menganggap semua itu hanya gertakan semata.
"Kau tidak mengenal Ayah, Bis. Jangan sampai kau menyesal nanti." Bram berlalu setelah mengatakannya.
Bisma yang tersungkur, memegangi lukanya.
"Apa maksudnya?"
"Untuk apa aku pusing. Ayah memang seperti itu dia selalu bertindak semaunya. Lebih baik sekarang, aku party dari pada tinggal di rumah."
Bisma mengabaikan ucapan Bram, dan memilih bersenang-senang. Party dan ngeband mampu membuat Bisma lupa dengan masalah yang ada. Walau suasana hati Bisma sedang tidak karuan.
Pemuda itu tetap menuju ke Klub.
Hari ini Band mereka di booking oleh artis remaja ibukota yang merayakan ulang tahun, Bisma serta Gengnya di undang untuk mengisi acara. Lumayan untuk pendapatan sekalian untuk bersenang-senang.
Ponsel Bisma berbunyi, panggilan datang dari Ibunya. Pemuda itu berdecih dan tersenyum kecut.
"Paling juga mau Introgasi, males." Bisma melempar ponselnya ke kursi belakang. Pemuda itu segera keluar dari mobil dan menemui teman-temannya.
Dentuman musik beradu dengan riuhnya pengunjung. Inilah surga bagi mereka yang telah penat dengan rutinitas. Lari dari masalah dan mampir hanya untuk bersenang-senang.
"Hey, Bro. Kita disini," seru teman Band Bisma yang mengankat tangan di kejauhan.
Bisma tersenyum kala melihat semuanya sudah berkumpul.
"Oh, oke."
Bisma menuju ke sudut ruangan tempat Gengnya sedang nongkrong.
"Widih, kenapa tu muka? Kok, bisa bonyok gitu?" tanya Riki salah satu Geng Bisma.
Wajah Bisma membiru akibat tinju Ayahnya.
"Lo, kayak nggak tahu siapa gua aja. Cowok tu kayak gini, tau nggak lo."
Teman-teman Bisma hanya tertawa mendengarnya.
"Ya, harus kita akui di antara kita semua hanya lo yang paling jagoan," seru Riki.
"Sialan, lo."
Mitha Asyla artis remaja yang sedang naik daun kini tiba di tengah mereka. Gadis itu langsung duduk di samping Bisma yang asyik mengobrol dengan Gengnya.
"Hay, hay. Thank you karena udah datang. Gua nggak nyangka kalian mau mengisi party gue. Ini imbalannya dan gue gandahin dengan catatan kalian harus hibur kami hingga jam 3 pagi."
Geng Bisma terbelalak, besok adalah ujian sekolah dan mereka belum belajar. Tidak mungkin menerima tawaran itu saat ini.
"Gua rundingin dulu sama temen-temen gua. Lo tunggu aja keputusan kita di meja lain," ucap Bisma pada Mitha.
"Oke, jangan lama-lama berpikirnya guys," Mitha mengerlip manja, siapapun tahu jika gadis itu menyukai Bisma. Dengan anggun Mitha melangkah pergi menemui tamu-tamunya.
"Gimana?" Bisma bertanya pada Gengnya yang sedari tadi tampak berpikir keras.
"Nggak bisalah, Bro. Kita ada ujian besok gimana caranya lo mau ngeband sampai jam tiga."
Bisma menatap ke empat Gengnya dan menggeleng seolah meremehkan. Bisma tidak heran dengan penolakan itu. Teman-temannya adalah anak yang patuh tidak membangkang sepertinya.
"Ah elah. Gini loh, ujian bisa tiap hari kesempatan ini nggak akan datang dua kali. Gini aja deh, gimana kalau gua hanya ambil komisi perjanjian awal jadi bonus gandahan itu buat kalian saja."
Sekumpulan pemuda itu terbelalak, komisi mereka bukan lah uang yang sedikit, di tambah dengan bonus. Beberapa mulai goyah dan menuruti kemauan Bisma.
"Oke gua ikut," ucap salah satu Gengnya.
Bisma spontan mengajaknya bersulang.
"Cess, lo emang cerdas," puji Bisma.
"Tapi, kalau kita nggak pulang kita bakalan di cariin, Bis," protes Riki.
"Bilang aja kali, kalau lo lagi kerja kelompok, buat alasan yang kompak rumah siapa yang kalian tempati, udah beres."
"Iya juga, ya. Baiklah, kita bisalah belajarnya besok pagi aja sebelum masuk sekolah," seru yang lain.
"Ok dill."
Pesta pun di mulai, Bisma senang karena tidak hanya dirinya yang akan memecahkan rekor nilai anjlok di ulangan besok.
Suara musik menjadi irama yang memabukkan, kesenangan jiwa muda yang sedang membara.
Mereka pun naik panggung setelah Bisma memberi kode pada Mitha bahwa dia menyanggupi keinginan gadis itu. Bisma memulai aksinya dengan menyanyikan beberapa lagu andalannya.
Party berjalan lancar tanpa di sadari oleh Bisma jika panggilan masuk begitu banyak di ponselnya. Kali ini Arga yang menghubunginya karena sang adik belum juga kembali. Arga baru tiba dari Singapura. Ayahnya memintanya kembali karena kejadian tadi siang. Bram berharap Arga bisa membantu mendidik Bisma karena pemuda itu hanya patuh pada Abangnya.