Bisma tiba di kantin dan segera bergabung di meja Zui. Nana dan Duwi yang melihat Bisma merasa risih dengan kemunculan Bisma yang tiba-tiba.
Zui menatapnya lekat dan menunduk sedikit untuk melihat sepatu pemuda itu.
"Udah ketemu sepatu, lo?" ucapnya dan memakan bakso yang ada di hadapannya.
Nana dan Duwi melongo dengan mulut berbentuk o sempurna.
"Jadi, tadi yang lo bilang orang gila kehilangan sepatunya, itu, dia?" tebak Nana sambil menunjuk ke arah Bisma.
"Ih, cerdas banget temen gue," ucap Zui mencubit sayang pipi Nana.
Bisma semakin kesal mendengarnya, hal itu terlihat jelas dari raut wajah lelaki itu.
"Iya, dan orang yang nggak kalah gila itu temen lo ini, yang lempar sepatu gua seenaknya," ucap Bisma tidak mau kalah.
Nana dan Duwi tercengang mendengar itu.
"Lo, nggak ada niat untuk meminta maaf ke gua?" tanya Bisma menatap Zui. Gadis itu mengerutkan kening mendengar ucapan Bisma.
"Kenapa gue harus minta maaf?"
"Bener-bener sakit, lo," umpat Bisma.
Zui emosi mendengarnya dan langsung menggeprak meja.
Prak.
Kantin yang begitu ramai mendadak hening mendengarnya.
"Gue nggak ada masalah sama, lo," ucap Zui lantang.
Semua penghuni kantin melihat ke arah mereka, Bisma tertawa kecil mendengar gertakan Zui, amarah jelas terlihat di mata gadis itu, tapi Bisma tidak peduli.
"Ampun deh, dilihat dari luar, lo, kalem banget. Gua nggak tau lo bisa sejahat itu."
Bisma membuat amarah Zui semakin menjadi.
Zui menjadi pusat perhatian. Gadis itu menatap kesekeliling. Bahkan kedua sahabatnya menatapnya tak percaya.
Seorang Zui yang lemah lembut tidak pernah memiliki musuh kini menggeprak meja di hadapan semua orang.
Duwi dan Nana pun melongo, mereka telah bersahabat sejak lama, mereka tidak pernah mendapati Zui bertingkah kurang ajar kepada orang lain. Apa lagi menggertak seperti tadi.
"Diem, deh, lo. Apa orang kota semuanya rese kayak lo, jelas-jelas lo yang nimpuk gue duluan." Mereka saling bersih tegang.
"Gua kan nggak sengaja," Bisma masih merasa benar dan tidak mau kalah, lelaki itu sibuk membela dirinya sendiri.
Keduanya saling melotot di depan semua orang.
"Sekarang gue tanya, lo tadi minta maaf nggak sama gue?" ucap Zui menatapnya lekat, sorot mata seorang Zui yang jarang terlihat.
Bisma diam menyadari kesalahannya.
"Nggak kan, lo malah hardik gue, lo ngatain gue aneh, budek dan lain-lain. Sekarang yang nggak punya tata krama gua apa elo? Yang jahat gua apa elo!" Bisma bungkam.
"Ngeselin banget, gue nggak akan buang sepatu lo, kalau lo juga sopan sama gue."
Rizuka menjauh dari tempat duduknya, meninggalkan bakso yang baru di makan beberapa sendok, Bisma termenung sejenak.
Nana memandang Bisma dari bawa hingga kepala.
"Fix, Lo nggak tertolong," Nana menatapnya jengkel.
"Hmmm, ganteng doang," ucap Duwi.
"Ralat deh, nggak ganteng." Duwi dan Nana meninggalkan kantin dan mengejar Zui yang sudah jauh, tinggallah Bisma dan di tatap oleh semua orang.
"Apa, lo!" Hardik Bisma kesal.
'Ish, nyebelin banget tu cewe,' Batin Bisma.
Hari pertama di sekolah, pemuda itu mencetak sejarah yang luar biasa.
Duwi dan Nana langsung mengintrogasi Zui saat mereka berhasil menghampirinya.
"Duh, Zui. Kok bisa sih, lo ketimpuk sama dia, mana dia nyolot dan nggak punya sedikit empati sama kaum wanita yang cantik kayak bidadari kayak lo," ucap Nana menghiburnya.
Suasana hati Zui sangat kacau, bahkan pujian pun terdengar menggelikan di telinganya.
"Udahlah, nggak usah di bahas. Gue lagi nggak mood tau nggak," ucap Zui.
"Padahal tadinya Gua kira sekolah kita nambah koleksi cowo ganteng, loh," ungkap Duwi.
"Apaan sih, Wi." Nana memberi isyarat agar tidak memuji Bisma di depan Rizuka.
"Ya, iya. Dia sebenarnya ganteng, fix. Tapi, kelakuannya minus, ha ha ha ha," tawa Duwi menggema di lorong menuju kelas.
Zui mengacuhkannya sedang Nana hanya menggeleng.
Zui mengikuti pelajaran seperti biasa, Bisma sesekali mencuri pandang memperhatikan gadis itu.
Hingga kelas bubar Bisma tidak berani menegur gadis itu.
Flashback off.
Bisma Angkasa tidak menganggap penting sebuah pendidikan. Baginya, semua bisa dibeli dengan uang. Ayahnya memiliki pengaruh yang besar di kota itu. Tak ada yang tidak mungkin baginya jika Bisma menginginkan sesuatu.
Karena menganggap semua hal bisa di nilai dengan uang, semua teman tongkrongan Bisma palsu, dia tak memiliki seseorang yang benar-benar tulus. Anak-anak para pejabat menjadi teman sepermainannya. Tentu, semua itu terjadi karena pengaruh besar dari sang ayah yang merupakan walikota.
Hanya ada hura-hura dan juga senang-senang, ngeband dari satu panggung ke panggung yang lain.
Bisma sangat menikmati hidupnya, baginya kapan lagi. Toh, kedua orangtuanya dan Abang yang selalu di banggakan tidak peduli dengannya.
Prestasi pemuda itu sangat menurun dari hari ke hari. Jadwal party hampir setiap malam dihadiri. Bau alkohol dan ketenaran membuat Bisma lupa. Bahwa pendidikan amat sangatlah penting.
Karena kenakalannya yang kian menjadi, Bisma menjadi topik pembicaraan di tengah pertumbuhan bisnis sang ayah.
Bram Angkasa walikota yang menjabat di kota itu, dia adalah Ayah dari Bisma Angkasa.
Nasib buruk menyertainya saat Bram mengetahui Mahendra yang menjabat sebagai staf biasa di kantor yang di pimpinannya memiliki putri yang cerdas.
"Selamat, Pak Mahendra. Ku dengar Zui memenangkan beberapa olimpiade bulan lalu," ucap salah satu staf saat Mahendra tiba di kantor pagi ini.
Wajah Ayah Zui selalu ceria dan bahagia saat teman kantor memuji putrinya.
Mahendra seorang pria yang jujur, semua teman kantor dan yang mengenalnya mengetahui hal itu.
"Terimakasih, Pak." Mahendra menjabat tangan para staf lainnya.
"Anak Pak Mahendra ini selalu menyabet semua prestasi, kecilnya di kasih makan apa sih?" tanya salah satu staf yang melempar pujian.
"Bapak, bisa saja. Saya juga tidak tahu, Pak. Mungkin cerdasnya turun dari Bundanya."
"Bagaimana kalau kita berbesan, Pak. Menjadi mertua dari Zui sepertinya menyenangkan. Kata putra saya, anak Bapak sangat menjaga pergaulan, tidak ada anak lelaki yang berani menggodanya. Sungguh calon mantu idaman." Pujian demi pujian didapatkan Mahendra membuat lelaki itu terus memancarkan aura kebahagiaan.
"Tidak bisa seperti itu, Pak Adri. Jika Pak Mahendra ingin menikahkan putrinya, anak saya siap melamar untuk yang pertama, anak kalian di belakang saja," ucap Pak Syamsul.
Telinga Bram terasa sangat panas mendengarnya.
"Ya, terserah saja. Asal Pak Mahendra nggak terima lamaran dari Pak Bram,"
"Huss!" Pak Syamsul langsung menghentikan ucapan Pak Adri.
Bram mengepalkan tangan mendengar hal itu.
"Apa yang Bapak katakan, tidak ada yang tahu jodoh seseorang itu siapa dan dimana, Pak." Mahendra menghentikan percakapan mereka.
"Bukan begitu, Pak. Anak Pak Bram itu sudah berapa kali tidak naik kelas, kenakalannya menjadi buah bibir. Saya sendiri menggeleng mendengar Party yang selalu dihadirinya." Pak Adri tetap berkeras.
"Sudah, Pak. Stop. Itu urusan keluarga Pak Bram, kita tidak berhak mencampuri. Sebaiknya kita kembali bekerja," Mahendra meninggalkan Pak Adri dan Pak Syamsul dengan tatapan kecewa.
Bram yang berada tak jauh dari tempat mereka merasa sangat malu.
Bukan hanya, sekali, dua kali, putranya menjadi bahan omongan para staf yang lain. Tapi, sudah berulang kali.
Bram selalu gerah saat Mahendra mendapatkan pujian, walau lelaki itu sering membelanya. Sakit hati itu telah mendarah daging.
Bram membenci segala pujian yang di sematkan untuk Rizuka dan dia lebih membenci lagi kelakuan putra bungsunya yang selalu menuai kontroversi.