"Mama!" seru Cessa saat melihat sosok Marisa duduk di sofa, menonton televisi. Melihat keberadaan wanita yang melahirkannya membuat cewek itu senang bukan main. Rasanya lama sekali mereka tidak berjumpa.
"Eca kangen!" seru Cessa memeluk mamanya yang balas tersenyum hangat. "Mama juga kangen Eca."
"Oh ya papa mana?" tanyanya saat tidak mendapati keberadaan sang papa.
"Ke kantor, bentar lagi pulang."
"Kalian di rumah lama, 'kan?" Tentu Cessa ingin jawaban memuaskan yang keluar dari mulut wanita itu meski yang ia dapati hanya senyuman.
"Ma?"
"Satu minggu lagi papa kamu ada tugas ke Batam," ujar sang mama membuat Cessa menghembuskan nafasnya. Namun, beberapa detik kemudian ia menatap mamanya penuh harap. "Mama ikut lagi?"
Gelengan kepala Marisa membuat Cessa tersenyum.
"Tapi mama harus nemenin kakek kamu berobat ke Singapura."
Senyum Cessa lenyap, ia merapatkan bibirnya menahan rasa kecewa. Marisa mengusap lembut kepala putrinya. "Maaf ya? Kamu tau sendiri kalau perusahaan kakek sedang failit. Itu juga yang buat kesehatan kakek kamu menurun dan mama gak bisa diam saja."
Bukannya mama emang dari dulu gak pernah gak sibuk? Batinnya lirih. Cessa tidak bisa protes lagi jika mamanya sudah membahas hasil kerja keras sang kakek yang didirikan dari nol. Penyebab perasaannya menjadi taruhan untuk menyelamatkan perusahaan tersebut.
"Gimana kamu sama Caka?" Pertanyaan sang mama membuat badmood seketika.
"Kita baik," jawabnya singkat.
"Caka gak jahatin kamu, 'kan?"
Ingin sekali Cessa bilang bahwa Caraka itu temprament dan selalu menyakitinya, tapi untuk saat ini ia tidak bisa melakukan itu. Cessa menggelengkan kepala hingga menciptakan helaan nafas lega. "Syukurlah, gak salah mama percayain kamu sama Caka."
Cessa tersenyum kecut, tidak pernah lupa bagaimana Marisa pernah memarahinya karena laporan tidak benar Caka.
"Kamu harus bersikap baik sama dia, jangan pernah khianatin dia lagi ya?"
Mengangguk. Hanya itu yang Cessa lakukan agar Marisa segera mengakhiri pembicaraan mereka. Percuma mengelak, mamanya lebih mempercayai cowok ular itu.
"Good, ini baru anak mama." Marisa menepuk bahu putrinya dan berdiri. "Mama masak dulu ya, kamu ganti baju sana. Nanti anterin oleh-oleh ke rumah Una."
Cessa meangagguk, memandangi punggung sang mama yang hilang di pintu dapur. Ia mendesah pelan. Sampai kapan dirinya terjebak bersama Caraka?
***
"Ngapain ke sini?"
Kalimat pertama yang terlontar dari bibir Dennis saat mendapati Cessa berdiri di depan pintu rumahnya. Tak menjawab, Cessa malah memandangi cowok itu yang terlihat tampan dengan rambut basahnya.
Jengah, Dennis membuang muka. Hal tersebut membuat Cessa tersenyum dalam hati. Cowok itu tampak salah tingkah.
Melihat pergerakan Dennis yang hendak menutup pintu rumahnya, Cessa segera menahan dan melewati Dennis tanpa berkata apapun.
"Gak sopan banget main masuk aja!" ketusnya membuat Cessa menatapnya datar. "Tante yang nyuruh langsung masuk aja kalau mau main."
Cowok itu mendengkus. "Kalau ada barang yang hilang gue tau siapa yang bakal gue seret ke kantor polisi."
Cessa mengedikan bahu tak peduli. Ia hendak melangkah mencari Marisa, tapi Dennis malah menahan lengannya. "Mau ke mana?"
"Tante mana?" tanyanya balik.
"Lagi keluar." Dennis menjawab dengan ketus.
"Una?"
"Gak ada. Lagi main sama temen-temennya, mending lo pulang aja!" usir Dennis terang-terangan. Bukan Cessa jika percaya begitu saja. "Gue tau lo bohong."
Dennis tertawa mendengar tuduhan cewek itu. "Buat apa gue bohong? Udah deh mending lo pulang, alergi gue kambuh liat cewek munaf-" Dennis tak melanjutkan ucapannya melihat tatapan Cessa yang meredup. Cowok itu mendesis pelan, kembali menatap cewek itu. "Pintunya sengaja gak gue tutup, biar lo bis-"
"Kak Ayu!" teriakan gadis belia membuat keduanya menoleh. Raut pilu Cessa berubah ceria. Una menuruni tangga terakhir, menatap sang kakak dan Cessa bergantian. Sebuah senyuman tersungging di bibirnya. "Ciee udah akur aja, pake pegangan tangan segala."
Godaan Una membuat mereka sontak melihat ke arah tangan masing-masing. Dennis mengumpat disusul dengan menyentakan pergelangan Cessa yang hanya diam memperhatikan raut tak sudi cowok itu.
"Kakak mau kasih ini buat Una." Cessa menyodorkan paperbag berisi roti kesukaan gadis yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri.
Una berseru dengan semangat penuh. "Wah, makasih Kak. Tante Risa ada di rumah?"
Cessa mengangguk. "Kalau gitu kakak pulang ya."
"Yah, padahal Una masih pingin ngobrol sama kak Ayu." Ratuna tampak kecewa.
"Nanti Una ke rumah kakak aja," ujar Cessa membuat mata Una berbinar. "Oke deh, Una mau ijin ke mama buat nginep."
Keluguan di wajah Una membuatnya terkekeh. "Ya udah kakak tunggu ya."
Setelah itu ia berbalik, mengabaikan Dennis yang sejak tadi hanya diam memperhatikan interaksi keduanya. Cessa menghela nafas dalam, menekan dadanya kuat sambil berlalu.
***
"Kak Dennis sering senyum-senyum sambil chat-an sama seseorang. Terus kemarin juga dia abis hunting foto. Kayaknya sama gebetannya soalnya pas aku intip, dia lagi liatin foto cewek gitu di kameranya."
Helaan nafas kembali terdengar. Ucapan Ratuna tadi malam terus terngiang diingatannya. Cessa tidak menyangka kalau hubungan Dennis dengan cewek itu sudah begitu dekat.
Kali ini Dennis melakukan semuanya dengan rapi. Jika biasanya terang-terangan memperlihatkan kedekatannya dengan sang gebetan, sekarang cowok itu mengubah taktik. Cessa yakin kalau lawannya bukan cewek sembarangan. Entah Dennis yang sangat berusaha melindunginya atau hanya rencananya saja untuk memberi kejutan padanya.
"Heh, ponsel lo bunyi noh!"
Suara Diran membuat Cessa menoleh, beralih pada ponselnya yang menampilkan nama sang pacar. Ia terdiam sejenak sebelum menolak panggilan tersebut.
"Lah, kenapa direject?" tanya cowok kurus yang tersesat ke kelasnya itu. Cessa hanya mengedikan bahu, kembali melamun.
"Btw Renata ke mana?"
Merasa terganggu, Cessa berdecak. "Lo ke sini sebenernya mau nyari Lino apa Renata?"
Diran mengerjap, kemudian menggaruk tengkuknya salah tingkah. "Y-ya Lino lah. Kenapa sih lo ketus banget?"
Cessa tahu perasaan cowok itu. Diran sering datang ke kelasnya dengan alasan mencari Lino, padahal ingin bertemu sahabatnya. Sayang sekali Renata tidak peka.
"Kalau suka kenapa gak jujur?"
Mata Diran terbelalak sebelum kemudian berdehem. "Kalau gue balik pertanyaan, apa lo bisa jawab?"
Cessa dibuat terpengkur. Ia mengalihkan perhatian pada lalu lalang di depannya. "Lo ngomong apa Diran?"
Cewek itu menaikan sebelah alis, berpura-pura tak paham, sedangkan Diran hanya tersenyum miring, tak berniat menjawab.
Bunyi ponsel kembali terdengar. Diran berdecak, menatap Cessa yang masih enggan mengangkat telepon. Cewek itu malah mematikan ponselnya.
"Lagi marahan?" tanya Diran.
"Lo kepo banget sih jadi orang!"
"Napa sih lo ketus terus? Gue juga nanya baik-baik!" Diran yang terus mengajak bicara membuatnya jengah. Cessa mendorong bahu Diran. "Udah sana lo balik ke kandang! Gue mau tidur."
"Ya elah, lo cewek tapi kasar banget pantesan dia gak-" Cowok itu menghentikan ucapannya melihat Cessa yang sudah memandang tajam. "Maksudnya pantesan diselingkuhin."
"Anjir! Elo ya kalau ngomong suka nyablak!" teriak Cessa tak terima. Diran segera berdiri dan berlari kecil keluar kelasnya. Cessa sendiri kini memukul pelan meja dengan tangannya. Kali ini bukan karena tak suka terlihat menyedihkan, melainkan Diran yang seperti tahu tentang perasaannya.