Bagian 9, Seleksi

1002 Kata
Dennis sejak tadi fokus pada kamera slrnya. Mengabaikan para sahabatnya yang tampak rusuh karena free class. Kebetulan Sirly memintanya untuk menjadi fotografer dadakan di kegiatan seleksi pulang sekolah nanti. "Hoy, serius amat sih?" Radit menyenggol bahunya, memperhatikan Dennis yang sejak tadi mengotak atik benda di tangannya. "Enak banget sih jadi elo, bisa fotoin cewek cakep." Dennis mengernyit. "Maksudnya?" "Lah? Bukannya elo disuruh dokumentasiin seleksi dance?" Cowok itu malah mengedikan bahu. "Iya kali, bu Sirly cuma bilang gue dateng ke aula pulang sekolah." Melihat sahabatnya yang cuek, Radit menggelengkan kepala. Cowok itu kemudian tersenyum cerah. "Gue ikut deh." "Katanya mau ngerjain tugas kelompok? Lo kan anak rajin," sindir Dennis pada cowok itu. "Entaran deh mau nonton Cessa, dia ikutan seleksi juga," seru Radit mengerlingkan mata, entah apa maksudnya Dennis tidak ingin peduli. Tsk, ia lupa bahwa cewek itu takan pernah ketinggalan dengan yang namanya dance. "Elo nanti jangan lupa fotoin dia yang bagus yak? Ntar biar gue post di instragram biar tuh anak tambah nge-hits." Radit terus bercerita tanpa melihat raut enggan cowok di sebelahnya. "Tau gak? Tetangga elo itu banyak yang ngincer, sayang banget dia malah jadian sama si b******k Caraka. Gak ngerti lagi deh gue, kenapa Cessa masih pertahanin tuh cowok." Dennis yang mulai jengah menatap sahabatnya. "Elo bisa gak sih gak usah bahas dia?" "Kenapa sih? Kan dia temen gue," jawab Radit menatap bingung. "Heran deh. Kalian tuh sebenernya ada masalah apa? Apa kalian emang kayak gini sejak kecil?" Dennis sempat terhenyak sebelum akhirnya mengedikkan bahu dan berdiri dari duduknya. "Mau ke mana lo?" tanya Radit. Sahabatnya sedang menghindari pembahasan yang tak pernah menemukan titik terang tersebut. "Liat calon pacar. Kenapa? Mau ikut?" Radit mendelik. "Lo masih maksa sama cewek itu?" "Leana. Namanya Leana bukan cewek itu," tekan Dennis yang merasa tidak suka mendengar panggilan Radit terhadap gebetannya. "Den bukannya gue udah bilang, jangan dia. Mereka satu kelas." Radit menyesalkan keputusannya. "Terus apa masalahnya kalau gue sukanya sama Lea?" tanya Dennis tak paham. Bukannya bagus kalau mereka satu kelas? Ia dapat dengan mudah membuat Cessa merasa kalah. Cewek itu akan kebakaran jenggot dan tidak bisa berbuat apa-apa karena Dennis akan melindungi Lea tanpa memberi celah sedikitpun. "Den, haruskah gue tanyain ini sama lo?" Radit menatapnya sungguh-sungguh. "Lo bener-bener benci sama Cessa?" Dennis mendengkus. "Apa jawaban gue gak cukup jelas selama ini, Dit?" "Karena apa? Beri satu alasan untuk ngebuat gue bungkam. Elo deketin banyak cewek selama ini apa karena emang tertarik atau cuma buat mancing dia?" Mulut Dennis terbuka seperti hendak menyangkal. "Lo gak bis-" "Gue sengaja!" potong Dennis. "Gue pingin liat raut kekalahan dia karena gagal hancurin kebahagiaan gue." "Den, lo-" "Tapi pengecualian buat Lea." Denis kembali memotong ucapan sahabatnya. "Gue bener-bener tertarik sama dia. Gue bakal lindungin Lea dan buat dia menyerah ganggu hidup gue." *** Cessa berusaha menenangkan gejolak dalam dadanya. Tatapannya terarah pada beberapa siswa yang ikut menonton seleksi, bahkan para cowok tampak bersorak menikmati pertunjukan. Ada Davina dan Renata yang berdiri paling depan. Cewek bertubuh gempal itu mengangkat kepalan tangannya, mengucapkan kata semangat tanpa suara. Sedangkan Renata hanya tersenyum dan mengangguk, percaya penuh padanya. Pandangan Cessa terarah pada cowok yang sedang memegangi kamera. Tatapan mereka sempat bertemu sebelum kemudian Dennis membuang muka. Berpura-pura memotret keadaan sekitar. "Cessara semangat!" teriakan Samudra diikuti anak buah Davian membuatnya tersenyum kecil. Hingga akhirnya lagu Let's Kill This Love memenuhi pendengarannya. Cessa dengan energik menggerakan badannya. Tepuk riuh penonton seolah bukan apa-apa. Yang ia rasakan dirinya sedang menari sendirian, hanya ada iringan lagu. Dirinya bisa. Mungkin dulu menari hanyalah jalan untuk menarik perhatian sosok yang disukainya, tapi kini Cessa sadar kalau menari adalah sebagian dari mimpinya. Ia tidak boleh kehilangan itu. Setidaknya sebagai penawar karena dirinya tidak bisa menggapai Dennis. *** "Ayu! Congratulation sayang." Davina memeluk tubuh ramping Cessa, pun Renata yang tak kalah mendekap erat. Mereka berpelukan sambil melompat-lompat seperti teletubies. Davian dan kawan-kawan menggelengkan kepala melihat kelakuan mereka. Sedang Dennis hanya menatap sekilas sebelum keluar aula. "Selamat berjuang, entar gue beliin teh kotak kalau menang lomba nanti," canda Renata yang tersenyum bangga padanya. Cessa terkekeh, melirik sekitar kemudian kembali pada kedua sahabatnya. Yang dicari tidak ada. Panggilan Davian membuat ketiganya tersadar bahwa hari sudah mulai gelap. Renata memutuskan pulang dengan Diran yang menawarkan diri sebagai ojek dadakan. Lalu Davina yang pasti bersama sang kembaran. Dirinya? Cessa diam-diam menghela nafas. Pasti akan menyenangkan sekali bisa pulang dengan tetangga depan rumah. Hh, in your dream Eca. "Lo pulang bareng siapa?" tanya Davian yang sudah berdiri di sebelahnya. Cessa tergagap, beruntung Samudra tiba-tiba datang dan menawarkan diri. Di tengah perjalanan, ia melihat sosok Dennis sedang membonceng cewek. Cessa menyipitkan mata, tidak bisa melihat wajah cewek itu karena duduk menyamping dan membelakanginya. Cessa yakin bukan Una, karena ia sangat tahu bentuk tubuh gadis belia itu. Lagian Dennis juga sepertinya tidak akan sempat pulang dalam waktu singkat untuk menjemput sang adik. "Udah sampe." Cessa tersentak, turun dari motor dan mengucapkan terima kasih. Seperginya Samudra, Cessa berdiri sejenak di depan gerbang, memandangi bangunan di depannya. Motor Dennis belum ada, pasti cowok itu baru pulang malam nanti. Mendesah pelan, Cessa memasuki rumahnya. Setelah mengucapkan salam, ia melangkah menuju ruang keluarga. Mamanya pasti bangga mengetahui ia menjadi perwakilan sekolah untuk perlombaan nanti. "Ma ak-" "Pulang sama siapa?" Langkahnya terhenti. Kalau sudah begini, Cessa tahu bukan waktu yang tepat berbagi kebahagiaan dengan sang mama. "Samudra, Ma. Temen sekelas yang pernah aku ceritain dulu," jelasnya menciptakan kernyitan di dahi wanita paruh baya itu. "Kenapa gak minta Caka yang jemput kamu?" Marisa bertanya dengan penuh penekanan. Karena dia pasti lagi seneng-seneng sama ceweknya. Ingin sekali Cessa mengatakan itu, tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah hembusan nafas pelan. "Ma, kalau nungguin Caka jemput bakal lama. Lagian apa salahnya pulang bareng Sam? Dia temen aku dan kebetulan rumah kita searah." Marisa terdiam sejenak lalu mengangguk. "Ya udah, lain kali kalau mau pulang chat Cakanya jangan dadakan." Cessa mengangguk malas. "Aku ke kamar dulu." Cewek itu menaiki undakan tangga dengan lesu. Seharusnya ia bahagia hari ini, tapi perkataan sang mama membuat suasana hatinya menjadi buruk. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN