Di antara rasa benci yang menggembu, masih ada yang tersisa
***
"Gimana lo sama Caka?"
Cessa yang sedang mengunyah strowberry menoleh pada Renata. Sebelah alisnya terangkat. Aneh saja, biasanya cewek itu tidak mau peduli dengan hubungannya dengan cowok b******k itu.
"Tumben perhatian," ujar Cessa mengambil satu buah berwarna merah yang melihatnya saja membuat Renata bergidik. Cewek itu sering memakan strowberry kalau mood-nya sedang tidak baik.
Renata sedikit tergagu, ia memilih mengalihkan perhatian dengan mengetuk meja di depannya. "Ya tadinya kalau kalian lagi gak baik-baik aja, gue mau kenalin lo sama temen-temen cowok gue."
Cessa menyandarkan punggung, menatap penuh selidik. "Bilang aja kalau lo mau gue putus sama Caka."
Renata ingin menyangkal, tapi mulutnya malah terkunci rapat. Tidak mungkin ia mengatakan yang sebenarnya.
"Kalau ada yang lebih baik kenapa enggak?" tanya cewek itu membuat Cessa termangu. "Gue tau gak pantas bilang ini disaat kelakuan gue sendiri gak bener. Cuma gimanapun gue mau yang terbaik buat sahabat gue."
"Makasih, Re. Tapi gue sama Caka gak ada masalah, jadi lo tenang aja." Cessa menepuk bahunya dan beranjak keluar kelas untuk membuang sampah.
Cewek itu memandangi Cessa yang sedang ngobrol dengan Gian, tetangga kelasnya. Ia menghembuskan nafa berat. Hal tersebut tak luput dari perhatian Davina yang baru selesai menyalin tugas.
"Kenapa sih lo? Baru diputusin Dio atau Erlan?"
Renata melotot. "Dio udah gue putusin dua minggu lalu kalau lo lupa dan Erlan? Gue gak pernah punya mantan atau pacar dengan nama itu."
Cewek bertubuh gempal itu tertawa. "Sorry, abis mantan dan pacar lo kebanyakan jadi susah inget."
Mendengkus, Renata menarik lengan Davina hingga wajah cewek itu condong ke arahnya. "Mau ngomong apa si-"
Renata membungkam bibir sahabatnya, melirik Cessa yang tampak asik berbicara dengan cowok yang pernah ditolaknya.
"Gue tau cewek yang lagi dideketin Aden," bisiknya membuat mata Davina membola. Belum sempat bertanya lebih, Renata sudah mengatakan satu nama hingga cewek itu memekik tak percaya.
"Gak mungkin! Masa Aden suka modelan kayak gitu?!" teriaknya membuat beberapa siswa menoleh, termasuk Leana yang raut wajahnya berubah tegang mendengar cowok nama itu disebut.
"Vivin ish! Lo b**o apa gimana?" Renata memukul lengannya hingga Davina mengaduh. "Tuh si Leana langsung pucet gitu denger omongan elo."
"Ya abis gue kagetlah. Terus Cessa tau?"
"Itu dia gue jadi bingung. Mereka keliatan akrab banget," ujar Renata dengan raut penuh sesal. "Gak bisa gue bayangin kalau Cessa tau."
Davina yang mendengar ucapan Renata ikut bingung. "Ya udah."
"Apanya udah?" tanya Renata.
"Biarin aja dia tau dengan sendirinya."
Renata menatap cewek itu tak terima. "Vin, are you serious?"
"Terus mau lo gimana? Bahkan apa yang berusaha kita sembunyiin kayak yang sebelumnya dia tetep tau, 'kan?" Davina bertanya balik.
"Gue bakal berusaha ngebuat dia lupa sama Aden," terang Renata akhirnya. "Gue mau kenalin dia ke temen cowok gue. Lo gak perlu khawatir, gue gak bakalan tega deketin dia sama cowok brengsek."
"Tapi dia udah punya Caka. Lo pikir Cessa bakal mau dikenalin?"
"Dan lo kira Cessa sama Caka itu bener-argh! Bingung gue bahas asal mula mereka pacaran," kesal Renata yang masih belum mendapat jawaban memuaskan dari terjalinnya hubungan kedua insan itu.
"Mereka pasti dijodohin gue yakin."
Renata menggeleng. "Duh Vin, ini bukan sinetron ya jadi stop berpikir hal mustahil kayak gitu."
"Terus yang ada dalam benak lo apa? Cessa diancam sama Caka buat jadi ceweknya? Please deh Re, Cessa gak selemah itu." Davina mulai tampak kesal. "Udah deh mending sekarang kita cari cara agar Cessa gak lakuin hal yang buat Aden marah lagi."
"Ya apa makanya?" tanya Renata mulai putus asa.
Davina hendak menjawab ketika mendapati Cessa memasuki kelas. "Kita bicarain lagi ini nanti."
"Ah lo mah, kenap-"
"Ngomongin apa sih? Serius amat!"
Renata yang tidak menyadari kedatangan sagabatanya jadi tergagu.
"Ini, Rere mau putusin Miko besok." ucap Davina membuat Cessa mengernyit. Tatapannya beralih pada Renata yang kini merutuk dalam hati. "Re, bukannya tadi bilang yang mau lo putusin besok itu Andra ya?"
"Hahaha." Renata tertawa sumbang, kakinya tak henti menendangi kaki milik Davina di bawah meja. "I-itu gue mau putusin dua-duanya besok, iya."
"Emang lo punya pacar namanya Miko?"
Sial! Renata kembali tertawa menyembunyikan kegelisahannya. "Ada, masa lo lupa sih? Atau mungkin gue yang belum cerita ya?"
"Iya kali. Udahlah males banget ngomongin pacar lo yang segudang itu. Mending tidur." Cessa melangkah menuju kursi kosong di samping Lino. Ia tidak pernah repot-repot mengusir siapapun yang menduduki kursinya. Lino yang melihat kedatangannya hanya melirik sekilas, kemudian kembali sibuk dengan ponselnya. Membiarkan Cessa memejamkan mata sembari menunggu guru yang biasanya datang terlambat.
***
"Kenapa lo malah ajak mereka sih?" tanya Cessa dengan raut sebal. Seharusnya ia bisa mengerjakan tugas hanya berdua saja, tapi cowok berambut ikal tersebut malah mengajak gerombolannya.
"Udahlah Cessaraku yang cantik nan jelita, gak usah comment karena itu tugasnya gue sebagai netizen. Mending sekarang lo selesain nih tugas dikit lagi."
Cessa yang masih memakai seragam putih abunya hanya mendengkus. Bukan masalah teman-teman Lino yang berisik sampai membuat pengunjung kafe terganggu, melainkan sosok Dennis yang membuat konsentransinya buyar. Cowok itu tertawa lepas. Membalas candaan para sahabatnya tanpa sekalipun meliriknya.
Cessa tersenyum miris. Berusaha menyelesaikan tugas dengan cepat agar ia bisa segera pergi.
"Cah Ayu, pacar lo tuh!"
Cessa mengikuti arah pandang Davian lalu membeliakan mata melihat Caka menggandeng seorang cewek. s**l! Seharusnya cowok itu tidak datang ke tempat ini.
"Lo ... diselingkuhin Ces?" tanya Radit dengan hati-hati. Di antara kelima sahabat itu memang Radit yang paling lembut padanya.
Cessa tergagap, melirik Dennis yang kini ikut memperhatikannya. Seolah melihatnya malu adalah hal yang ditunggunya.
"Haha, kalau gue diselingkuhin tinggal selingkuhin balik aja." Setelah itu Cessa mengaduh mendapat toyoran dari Davian yang selalu berlagak sebagai kakaknya.
"Jangan ngikuti jejak Rere. Cukup temen lo yang satu itu yang susah dibilangin."
Ia hanya mengangguk malas. Lanjut menyimpan file tugasnya yang sudah selesai. Melihat Caka berjalan keluar cafe setelah menatapnya, ia mendesis pelan lalu mendorong laptop milik Lino.
"Udah selesai tinggal lo print dan jilid. Gue pulang, bye!"
Cessa meraih tasnya tanpa melihat tatapan beragam mereka yang mungkin iba padanya, padahal Cessa sendiri tidak masalah, ia hanya tak ingin terlihat lemah di hadapan Dennis.
Cewek itu berjalan cepat mengejar Caka, memanggilnya. Cowok itu menoleh dan melepas rangkulan pada cewek di sebelahnya. Membisikan sesuatu hingga si cewek melenggang pergi.
"Hai baby! Aku kira kamu gak bakalan nyusul." Caka tersenyum manis bergerak seperti hendak memeluknya, tapi Cessa dengan segera mengindar.
"Najis!" umpatnya hingga Caka terkekeh. "Ow kasar!"
"Lo bisa gak sih kalau main sama cewek pilih tempat yang jauh dari sekolah gue?"
"Kenapa? Takut orang-orang tau kalau lo diselingkuhin?" tanya Caka dengan senyum menyebalkannya.
"Gue gak ngerti, kenapa bisa dijodohin sama cowok b******k kayak lo!" ucapannya membuat rahang Caka mengeras.
"Cowok yang cuma modal uang doang dengan perilaku yang nol bes- Aws!" Cessa meringis merasaka cengkraman di lengannya.
"Kenapa? Sakit?" tanya Caka disertai seringaian menakutkannya. Ia menarik Cessa mendekat. "Udah gue bilang berkali-kali, jaga ucapan lo cantik."
Cessa berusaha berontak meski hasilnya nihil. "Caraka lepas gak?"
Caka malah mendekatkan wajahnya, berbisik di dekat telinganya. "Lo gak mau keliatan menyedihkan di depan temen sekolah elo, 'kan?" tanya cowok itu. Cessa mengernyit bingung, apalagi melihat Caka yang tiba-tiba tersenyum manis. "Gue bakal bantu asal lo nurut sama gue."
Belum sempat bertanya, Caka sudah mengusap pelan pucuk kepalanya, beralih merangkulnya. Ketika berbalik, ia dibuat tertegun mendapati Dennis berdiri di depan pintu Cafe dengan ponsel di telinganya.
Cessa memalingkan wajah, memaksakan senyum pada Caka yang menuntun menuju mobilnya. Kendaraan yang berjalan menjauh, tak membuat keyakinan Cessa pudar. Dennis memperhatikan dirinya lebih lama dari biasanya.