Bagian 2, Yang Terpendam

1312 Kata
Tidak semua orang bisa mengungkapkan perasaannya dengan dengan baik. *** Cowok itu sibuk dengan kameranya. Langit terang ditaburi bintang-bintang membuatnya tertarik untuk mengabadikan pemandangan di atas sana. Sesekali ia berdecak kagum dengan keindahan alam di malam hari. Bunyi roda kendaraan yang bergesekan dengan aspal membuatnya yang berada di balkon kamar mengalihkan tatapan. Seorang cewek dengan dress selutut keluar dari mobil tersebut, memasuki kediamannya yang tepat berhadapan dengan rumahnya. Ia mendengkus sinis sebelum kemudian memasuki kamarnya. "Kak Dennis! Dipanggil mama tuh!" suara gadis belia membuatnya menghela nafas. Adiknya yang satu itu memang tidak bisa sedikit saja menurunkam volume suaranya. Dennis menyimpan kamera dan beranjak keluar kamar. "Kenapa, Ma?" tanya Dennis berdiri di samping sang mama yang sedang menyetrika pakaian. Wanita paruh baya itu menghentikan kegiatannya. "Eca kayakanya baru pulang, coba kamu ajak dia nginep di sini. Kasian di rumahnya gak ada siapa-siapa." Dennis mengernyitkan dahi. "Kenapa harus, Ma? Lagian ada pembantunya, 'kan?" "Lagi pulang kampung, katanya anaknya sakit. Makanya mama minta kamu aja dia ke sini, kasian." Denis berdecak, raut tak suka begitu kentara menghiasi wajahnya. Ia tidak tahu mengapa mamanya begitu perhatian pada cewek itu. "Kalau mama jadi orang tuanya Eca, mama gak bakal ninggalin dia sendirian." Nada prihatin sang mama tak membuat Dennis tersentuh. Ia malah mencari ide agar tidak bertemu cewek menyebalkan yang merupakan tetangganya. "Mama kenapa gak suruh Ratuna aja?" kesalnya kemudian menatap ke ruang televisi. "Una! Kata Ma- aws sakit, Ma." Dennis mengusap telinganya yang sempat terkena jeweran sang mama. "Mama nyuruh kamu. Lagian ini udah jam sembilan, masa kamu tega biarin Una keluar malam." Denis memutar bola matanya, mamanya lebay sekali padahal adiknya hanya perlu berjalan beberapa meter untuk sampai rumah cewek itu. "Dia mungkin udah tidur, Ma. Udah malem." "Belum, mama liat lampu kamarnya masih nyala. Dia juga kayaknya baru pulang," kukuh sang mama yang membuatnya tak punya pilihan. "Udah sana! Lagian kenapa kamu jadi kayak gak suka gitu sih tiap dia ke sini? Perasaan dul-" "Iya Ma, Dennis pergi. Gak usah bahas yang udah-udah deh." Dengan raut bertekuk cowok itu melangkah keluar rumah, menyebrangi jalanan kompleks yang sudah sepi. Setelah memencet bel, harus menunggu beberapa saat untuk mendapat respon si penghuni rumah. Pintu rumah terbuka, menampilkan sosok cantik yang membeliakan mata mendapati kedatangannya. Berbeda dengan Dennis yang malah menampilkan wajah datarnya. "Dennis," gumamnya tak percaya meski kemudian cewek itu berdehem pelan, berusaha bersikap normal. "Ada apa?" Dennis berdecih. "Gak usah kegeeran. Gue cuma disuruh mama buat ajak lo nginep." Raut kecewa seketika tampak di wajahnya. "Oh, terus kenapa repot-repot ke sini? Kuota lo abis atau wifi di rumah lo mati sampai gak bisa kirim chat?" Dennis sempat terperangah sebelum mengedikan bahu. "Kalau gak mau juga gak papa. Gue malah bersukur." "Ya udah, gue juga lagi gak mood nginep di rumah orang yang gak nerima kehadiran gue." Cessa berusaha menekan rasa kecewanya. "Bilangin ke tante makasih tawarannya." Setelah itu pintu tertutup dengan sempurna. Bukannya merasa bersalah, Dennis malah tersenyum. Ia tidak perlu melihat wajah cewek itu yang selalu membuat emosinya naik. "Loh kak Ayu mana? Kata mama mau nginep?" Ini lagi anak upil, bikin kesel aja. Batin Dennis yang sudah dibuat kesal padahal baru memasuki rumah. Una masih celingukan mencari sosok yang sering dipanggilnya Ayu tersebut. "Kak!" Una menggoyangkan lengannya. Dennis melepaskan tangan sang adik, menatap jengah. "Dia gak bakal nginep. Udah sana tidur! Nanti kesiangan." "Tapi kata Ma-" "Una!" Bentak Dennis membuat adiknya cemberut. "Tidur udah malem!" "Kakak ish!" Gadis yang baru beranjak remaja itu menghentakan kakinya. "Pokoknya Una mau tidur sama kak Ayu, gak mau tau! Kak Dennis pasti sengaja, kan buat Kak Ayu gak jadi nginep?" "Terserah deh ya, kamu emang susah diomongin. Lagian tinggal tidur aja apa susahnya sih? Ada atau gak ada dia, gak bakal ngaruh." "Kok kejam banget sih? Kalau Kak Ayu denger gimana?" Una sudah menatap tak suka. Melihat kakaknya yang tampak tak berniat menanggapi ucapannya, ia kembali berbicara. "Pokoknya Una mau tidur sama Kak Ayu. Una mau nginep." "Ya udah sana! Emang berani keluar sendirian? Udah malem loh ini. Mama sama papa juga kayaknya udah tidur." Dennis tersenyum mengejek. Ia sangat tahu kalau adiknya penakut. Gadis itu terdiam sejenak, menatapnya ragu. "Em berani kok, lagian Una udah gede. Cuma ke depan doang mah kecil." "Oh ya udah. Silahkan kalau mau pergi, kakak gak bakal larang." Una mencebik dan memasuki kamarnya. Dennis pikir adiknya menyerah, ternyata dugaannya salah. Una kembali sambil memeluk boneka keropi kesayangannya. "Heh mau ke mana?" Memutar bola matanya, Una berjalan menuju pintu utama. "Kamu beneran mau nginep?" tanyanya melirik benda di pelukan sang adik yang ia tahu pemberian dari siapa. "Ini apa lagi boneka jelek dibawa ke mana-mana." "Emang kakak pikir Una bercanda?" sinisnya membuat Dennis berdecak. Pasti gara-gara adiknya sering bergaul dengan Cessa sehingga jadi berani membantah ucapannya. "Oh ya satu lagi." Una yang sudah meraih handle pintu menoleh. "Boneka ini gak jelek, Kak Dennis tuh yang jelek." Mata Dennis membola, ia hendak menepuk mulut pedas adiknya tapi Una sudah meleset pergi menuju bangunan megah di seberang rumahnya. Dennis menghembuskan nafasnya, memperhatikan sang adik yang menunggu dibukakan pintu. Melihat Una memasuki kediaman cewek itu, barulah ia menutup pintu rumah. *** "Yang mana orangnya?" tanya cewek berambut sepunggung celingukan. Banyaknya para murid yang sedang berolahraga menyulitkannya menemukan seseorang. "Kurus, pendek, rambut kucir kuda di samping cowok cakep bermata sipit." Cessa melengos mendengar kalimat terakhir Renata. Sahabatnya yang satu itu memang tidak pernah bisa mengabaikan cowok tampan. Ia membenarkan posisi berdirinya setelah menemukan sosok yang dicari. "Yakin cewek yang kemarin dibonceng Dennis itu dia?" Cessa memastikan sekali lagi. Cewek bernama Renata atau bisa disapa Rere itu mengangguk. "Namanya Anggita, dia temen sekelasnya adik mantan gue." "Ribet amat," ujar Cessa. "Kalau mau lakuin sesuatu, mending jangan deh. Masih kebayang marahnya Aden minggu kemarin saat lo ngancem si Gelsa." Rere bergidik ngeri. Dennis itu kadang jail dan petakilan, tapi kalau sudah berhadapan dengan Cessa auranya beda lagi. Me-nye-ram-kan. "Itu karena kemarin lo salah ngasih info," elak Cessa tak ingin disalahkan. Jelas Rere mengatakan kalau cowok itu sedang dekat dengan cewek dan kebetulan melihatnya sedang bersama Gelsa. Padahal mereka hanya sedang membahas seputar ekskul. "Gue takut salah lagi, kali aja Aden cuma nganterin tuh anak karena searah." Rere mengikuti isyarat sahabatnya untuk meninggalkan lapangan. Cessa membenarkan dalam hati. Ia harusnya tidak kebakaran jenggot mendengar Dennis mengantar cewek. "Sampe sekarang gue ngerasa aneh deh," ujar Renata menatap sahabatnya. "Lo beneran lakuin ini karena gak suka liat Aden bahagia atau ada hal lain?" "Hal lain?" Cessa terkekeh. "Imajinasi lo terlalu tinggi kayaknya." Renata menaikan sebelah alis, menatap Cessa yang berbicara tanpa memandangnya, malah sibuk dengan ponsel ditangannya. Ia dan Davina sebenarnya tahu, tapi mereka membiarkan Cessa mengaku dengan sendirinya. "Tuh yang diomongin lagi jalan ke sini." Rere menggerakan dagu pada dua cowok yang berjalan berlawanan arah. Cessa mengibaskan rambutnya, melangkah riang. "Hai Diran!" Diran balas menepukan tangannya pada telapak Cessa. "Hai juga, Incess! Kok keliaran di luar?" Cessa dapat mendengar decihan dari cowok di samping Diran. Namun, ia tetap mempertahankan senyumnya. "Di kelas berisik, lagian bu Endang juga gak masuk," jawabnya ringan. Cowok itu mengangguk, lalu melirik sahabatnya. "Den lo kenapa dah diem terus?" Dennis melirik tak suka ke arah Cessa. "Tiba-tiba aja mual." Cessa mendengkus sinis. Sedangkan cowok itu balas melemparkan tatapan tajam. Kalau sudah seperti ini, dua orang lain di dekat mereka harus siap siaga. Diran dengan sigap merangkul bahu Dennis yang hendak mendekat. Renata sendiri langsung bersuara, "Ces, gue kebelet nih. Anterin ke toilet yuk!" Cessa hendak menolak, tapi Renata segera menariknya pergi. Cewek itu kemudian menatap bingung Renata yang membawa ke kelas. "Loh katanya mau ke toilet?" "Apa lo gak capek?" tanya Renata tak nyambung. Cessa yang paham ke mana arah pembicaraan sahabatnya berbalik melanjutkan langkah. "Gue gak lagi lari-larian." "Sembunyi," tekan Rere. "Apa susahnya mengakui itu? Sikap lo yang kayak gini malah ngebuat dia makin menjauh." Cessa menatap tajam cewek dengan rambut bergelombang tersebut. "Re, tau apa lo tentang perasaan gue?" TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN