Bagian 3, Rasa dan Luka

1080 Kata
Karena sekeras apa pun mencoba, hanya luka yang tercipta. *** Cessa menatap tajam gambar yang baru diunggah Dennis di instagramnya. Hanya tangan perempuan yang sedang memegangi n****+, berdekatan dengan sebelah tangannya yang memegang pulpen. Sesuatu dalam dadanya terasa panas membaca caption yang ditulis cowok itu. Untuk kita yang secepatnya akan menjadi nyata. Kedua tangannya terkepal membaca komentar berisi godaan pada cowok itu. Cessa menggebrak mejanya membuat Davina yang baru terlelap terperanjat. Mengabaikan keterkejutan sahabatnya, ia berjalam keluar kelas menuju tempat di mana Dennis berada. Perpustakaan. Memasuki ruangan tersebut, Cessa berjalan melewati rak berisi buku-buku yang seketika membuatnya mual. Cessa tidak suka membaca. Ia lebih menyukai aktivitas di luar ruangan yang membuatnya bergerak bebas. Cewek itu memperhatikan beberapa siswa yang sedang fokus pada buku masing-masing. "Eh, Cessa?" Cessa mengernyit, mendapati teman sekelasnya yang hampir ia tabrak. "Nyari siapa?" tanya cewek itu melihat Cessa yang kentara sekali sedang mencari seseorang. "Ah enggak kok," elaknya lalu beranjak. Namun, panggilan cewek berkaca mata itu membuatnya berbalik. "Kamu mau ke kelas, kan? Boleh titip sesuatu?" Cessa memandangi teman sekelasnya yang bernama Leana. "Ces?" Tersadar, Cessa akhirnya mengangguk. "Tolong kasihin ke Dendi ya? Ini bukunya ketinggalan. Aku masih lama di sininya." Mengambil buku tersebut, Cessa melangkah keluar perpustakaan. Ia jarang berbicara dengan Leana karena mereka tidak dekat. Cessa menghembuskan nafasnya kasar karena tidak mendapati keberadaan Dennis. "Udah gue duga." Suara tersebut membuatnya menoleh. Cowok yang dicarinya sedang bersandar di tiang penyangga. Dennis tersenyum sinis. "Sayangnya lo terlambat." Cessa balas menyeringai. "Kenapa? Takut kalau gue bakal gagalin lagi aksi pedekate lo?" Dennis menegakan badan, menghampirinya hingga mereka saling berhadapan. Cowok itu bersedekap d**a. "Se-gak suka itu lo liat gue bahagia?" "Kalau iya, kenapa?" balas Cessa membuat rahang Dennis mengeras. "Gue bakal lakuin hal yang buat lo nyesel." Cessa tertawa renyah. "Kenyataannya semua itu gak pernah terbukti. Lo gak bakal tega, Den." "Siapa bilang? Gak selamanya gue bisa tolelir sikap lo." "Kenapa gue ragu?" tanya Cessa balik. "Ah ya, mungkin karena lo masih nganggap gue-" "Temen?" Dennis mendengkus. "Lo pikir setelah apa yang lo lakuin, gue bakal tetep diem aja?" Cessa bungkam. "Setelah buat orang yang gue suka ngejauh, lo dengan gampangnya bilang kata teman?" Dennis tertawa, tak menyadari tatapan cewek di depannya yang berubah sendu. "Gue lakuin ini karena-" Gerakan bibirnya berhenti. Cessa tak mampu melanjutkan perkataannya. "Karena apa?" Karena gue cemburu. "Lo gak bisa jawab, kan?" Apa sebuah jawaban bakal buat lo mau ngeliat ke arah gue? "Jadi mending lo berhenti ngerecokin hidup gue." Cewek itu menggeleng. "Gue gak bakal berhenti sampai-" "Sampai?" Dennis menatapnya penuh selidik. Cessa membasahi tenggorokannya yang terasa kering. "Sampai gue puas." "Hah, sesakit hati itu lo sama ucapan gue dulu." "Iya, sakit hati." Tapi lebih sakit dibenci sama lo, tambahnya dalam hati. "Kebencian gue ... lo harusnya gak lupa kalau semua itu karena ulah lo sendiri." Cessa tersenyum getir. "Lo yakin bilang itu?" Dennis mengedikan bahu. "Lo harusnya intropeksi diri," tegas cowok itu. "Udahlah. Gue jadi makin benci kalau keinget apa yang udah lo lakuin selama ini." Dennis memajukan wajahnya, membisikan sesuatu di dekat telinga Cessa. "Kali ini usaha lo bakal gagal. Gue gak akan nyerah buat dapetin cinta gue. Silahkan lakuin apapun yang lo mau, karena gue gak bakal biarin lo sakitin 'dia' barang sedikit pun." Dengan perasaan mencelos, Cessa menoleh hingga wajah mereka saling berhadapan. Ada kesenduan di matanya, tapi Dennis terlalu dibutakan dengan kebencian hingga tak dapat melihat itu. *** Dennis Dennis Dennis Cewek dengan rambut hitam legam itu menidurkan kepalanya sambil menulis satu nama yang membuatnya malas melakukan apapun. Ia membanting pulpennya, menegakan badan dan mengarahkan pandangan ke penjuru ruangan kelas yang kosong. Bel sudah berbunyi lima belas menit lalu. Cessa sedang berusaha menenangkan dirinya. Emosinya selalu meledak-ledak jika ada hal yang bertentangan dengan keinginannya. Maka dari itu, Cessa menyuruh kedua sahabatnya pulang terlebih dahulu karena tidak ingin mereka terkena dampaknya. "Gue harus gimana biar lo ngerti?" lirihnya memandang kosong ke arah whiteboard. "Bersikap lembut di hadapan lo udah gak mungkin." "Ucapan elo selalu bikin gue sakit, tapi bodohnya gue gak bisa berhenti." Cessa mengusap wajahnya kasar. Ia menyukai Dennis sejak lama. Jauh sebelum ia membuat kesalahan dan berakhir dengan hubungan mereka yang memburuk. Cessa menghembuskan nafas berat. Karena nyatanya satu kesalahan yang ia perbuat dulu, berhasil membutakan mata Dennis. Bodohnya kini Cessa malah melakukan kesalahan lagi, terus mengulangnya hanya untuk menjaga hatinya. Menjaganya untuk tak semakin patah melihat Dennis bersama cewek lain. Yah, Cessa memang sebucin itu. "Lo gak pernah nyadar kalau perkataan elo sebelum-sebelumnya yang buat gue berubah, Den. Lo pikir gue gak tau apa yang lo omongin waktu itu?" "Lo pikir gue sakit hati cuma karena masalah Citra?" *** "Jawab aja apa susahnya sih?" "Gue gak tau, Cah Ayu!" Cessa mendelik mendengar panggilan cowok berambut cepak di depannya. Ia baru selesai latihan dance sendirian karena memang hari ini tidak ada jadwal untuk ekskul tersebut. Cessa memang selalu melakukan itu saat sedang memiliki masalah. Hanya dance yang membuatnya merasa lebih baik. Bebannya seperti berjatuhan ketika ia melakukan berbagai gerakan. "Ian, gue tau lo bohong." Cessa mengangkat tangannya, jari telunjuknya sudah berada di depan wajah cowok itu bahkan seperti hendak menusuk matanya. Davian langsung memundurkan langkah. "Jangan buat gue serba salah, Ces," ujar Davian, "gue udah janji sama Aden." "Gue gak akan bilang lo yang ngasih tau. Lo temen gue bukan sih?" Davian menggeleng. "Lo temennya si gendut." "Gue bilangin sama Vivin nih, lo ngatain dia gendut," ancam Cessa. Sontak Davian menahan tangannya yang hendak beranjak. "Jangan Ces, bisa berabe nanti. Dia kalau marah kayak banteng ngamuk." Cessa mendengkus. Davian tidak tahu saja kalau amukannya lebih dahsyat. "Davian, please!" "Ces, gue boleh ngutarain apa yang mengganjal di hati gue gak?" tanya Davian tak nyambung. Cewek itu memutar bola matanya. "Gue bukan mama Dedeh. Jadi maaf, gak ada sesi curhat." "Gue bingung sama satu soal dalam pelajaran cinta." "Lo ngomong apasih?" tanya Cessa di sela langkahnya. "Pertanyaannya begini, apa alasan seorang Cessara Ayu Azzalia selalu menjauhkan Raden Niswara Pratama dari cewek-cewek?" Cessa berusaha tak peduli. Namun, Davian malah terus berbicara. "Pilihan jawabannya ada dua. Poin a, karena Cessa benci Aden dan tidak ingin melihatnya bahagia. Poin b, karena Cessa mencintai Aden dan dia cemburu." Cessa seketika menghentikan langkah, tatapannya berubah tajam. Sedangkan Davian malah balas dengan senyuman hangat. "Elo bisa bantu jawab? Biar gue paham dan gak terus menerka-nerka." Melengos, Cessa kembali melangkah. "Liat respon lo, gue tau jawabannya." Cessa memicingkan mata. "Jawabannya ... bisa jadi." LO PIKIR INDONESIA PINTAR?!! Cessa baru tahu kalau seorang Davian bisa ngelawak dan itu tidak lucu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN