Aku masih selalu berharap meski tak mampu menetap
***
Sebuah lagu bergenre k-pop terdengar memenuhi ruangan. Pas sekali dengan hentakan tubuh seseorang yang bergerak mengikuti irama lagi. Tanpa letih, cewek bertubuh langsing tersebut mengabaikan keringat yang mengalir di dahinya.
Kilasan-kilasan masa lalu ikut menari-nari di benaknya. Dulu ia hanya gadis kecil yang tak berdaya. Luka dan penolakanlah yang membuatnya seperti sekarang. Orang-orang mengakui keberadaannya, sekali menyebutkan namanya maka seluruh siswa SMA Kencana akan langsung mengenalnya. Cessara sang ketua club Tari, pemenang dance tingkat nasional, serta mayoret dari club marching band.
Jangan tanyakan berapa banyak cowok yang mengincarnya baik dari sekolahnya sendiri maupun sekolah tetangga. Meski sifatnya agak congkak dan seenaknya, mereka menganggap hal itu wajar mengingat cewek itu memiliki segalanya.
Setelah lagu berakhir, Cessa mendudukkan badannya dengan nafas terengah. Ia menatap wajahnya lewat pantulan cermin besar di depannya. Menelisik, apa yang kurang dari dirinya.
Bukankah apa yang dimilikinya cukup membuat kaum hawa iri?
Bukankah hal tersebut juga membuat kaum adam berlomba mendapatkan hatinya?
Tapi kenapa cowok itu tak pernah sedikit pun mau menoleh ke arahnya?
Hal apalagi yang harus ia lakukan untuk menarik perhatiannya?
Dan berapa banyak lagi cewek yang harus ia singkirkan agar cowok itu tak dimiliki siapapun, kecuali dirinya?
"Ces!"
Pintu ruangan terbuka lebar, menampilkan sosok bertubuh gempal dengan nafas menderu. Cessa melirik sekilas, menaikan sebelah alis sebelum kemudian berdiri, memakai kardigan dan membereskan barang-barangnya untuk dimasukan ke dalam tas.
"Itu cowok lo nyebelin banget, beneran. Dia maksa masuk untung Ian berhasil nahan, bisa berabe dia masuk kandang singa," cerocos cewek itu yang hanya dibalas helaan nafas. Cessa tampak tak berminat untuk menanggapi ucapan sahabatnya.
"Lagian kok bisa sih lo pacaran sama anak Erlangga?" tambah cewek itu berusaha menyamai langkah Cessa keluar ruangan. Keduanya melewati koridor yang sudah lenggang karena hari sudah sore. "Iya sih, Caka ganteng tapi you know lah dia brengseknya kayak apa?"
"Udah puas ngomongnya?" Cessa bertanya dengan raut kelewat datar.
Davina, cewek itu mengerucutkan bibir. Kembaran dari seorang Davian yang sempat disebut namanya tadi memang cerewetnya minta ampun. Jangan salah, kalau sedang bernyanyi suaranya dapat membuat orang-orang merinding saking merdunya. Dia bahkan berkali-kali menjadi juara dalam perlombaan tarik suara.
"Abis gue masih gak nyangka aja gitu lo pacaran sama tuh cowok, buaya tau gak?"
Cessa tak menjawab malah memilih berkutat dengan ponselnya.
"Kan? Pasti lo diem kalau kita bicarain ini. Emang kayaknya bener yang dibilang Rere kalau ada sesuatu yang gak wajar di antara kalian." Davina masih menilik-nilik apa yang terjadi. Masalahnya baru dua bulan ini Cessa mengenalkan cowok bernama Caraka sebagai pacarnya, padahal sebelumnya mereka tidak memperlihatkan kedekatan apa pun. "Lagian yah, bukannya lo selama ini naksir Aden? Terus tib-"
"Davina please!" potong Cessa dengan raut lelah, "harus gue bilang berapa kali kalau gue gak naksir Dennis?"
Davina berdecak pelan. Bahkan Cessa memberikan panggilan berbeda untuk cowok itu.
"Oke, pembicaraan kita tunda sampai sini," putus Davina meski masih banyak yang ingin ia katakan. Untuk apa Cessa selalu menggagalkan pedekate Dennis dengan cewek-cewek yang disukainya. Untuk alasan apa pula Cessa membuat down gebetan Dennis agar mundur secara teratur kalau bukan karena menyukai cowok itu.
"Enggak Dav, pem-"
"Gue cewek, Ayu. Jadi kasih gue panggilan yang semestinya," potong Davina dengan tampang kesal. Cessa memutar bola matanya. "Jadi, apa gue juga harus bilang stop panggil gue Ayu. It's not funny."
"Kenapa? Bukannya emang nama lo Cessara Ayu Azzalia? Dari pada gue panggil Azzal, kan gak lucu."
"s****n lo!" u*****n kasar keluar dari mulutnya, pun tangannya yang hendak mendorong dahi cewek pendek gempal di sampingnya.
"Uwuw kayaknya emang gue gak seharusnya ngasih panggilan itu. Ayu itu gambaran dari cewek cantik dan lemah lembut, gak bar-bar kayak lo."
Berdecih, Cessa berjalan cepat ke arah Caka yang berusaha berontak karena dipegangi Davian. Lebay sekali saudara kembar sahabatnya itu. Caka seperti seorang yang menghancurkan sekolahnya.
Cessa menghentikan langkah mendapati gerombolan cowok yang duduk di parkiran dekat pos satpam, tak jauh darinya. Salah satu dari mereka melemparkan senyuman sinis padanya. Setelah menghembuskan nafas kasar, Cessa menarik kedua sudut bibirnya, menghampiri Caka yang akhirnya terlepas. Bahkan cowok itu sempat memberikan gerakan menonjok pada Davian.
"Thanks, Ian," ujarnya yang diangguki cowok itu, tak lupa senyum lebarnya. "Oh ya jangan lupa anterin Vivin pulang, jangan kayak kemarin," peringatnya yang hanya dibalas anggukan oleh cowok itu. Davina sendiri malah merengut. Cessa memang selalu seenaknya memberikan nama panggilan.
"Biarin aja Ces, biar langsing kalau dia jalan kaki," ledeknya yang langsung mendapat bogeman di perut. "Sh, adek durhaka!"
Cessa hanya menggelengkan kepala, kemudian berjalan menghampiri Caka yang sudah membunyikan klakson tak sabaran.
Kendaraan mulai melaju. Sepanjang celah pagar sekolah, pandangan Cessa terus tertuju pada sosok yang balas menatapnya penuh benci. Diam-diam Cessa menghela nafas berat.
***
"Lo diundang makan malem," ujar cowok itu. Cessa mendengkus, lalu bersedekap d**a. "Gue capek, abis latihan."
"Lo pikir gue enggak?" balasnya tegas. "Gue harus jemput elo, hadepin temen-temen lo yang gak waras itu, bahkan gue sampai batalin kencan gue."
"Ya udah akhirin semuanya kalau gitu."
"Kalau mau, gue udah lakuin itu sejak awal." Sebuah seringaian muncul di bibir Caka, "untung lo cantik jadi gue gak rugi."
"Dan sayangnya gue gak tersanjung." Cessa berbalik membuka gerbang dan memasuki rumah megahnya yang sepi, meninggalkan seorang Caraka yang memberikan tatapan kesal karena diabaikan.
Cessa menatap ponselnya yang menampilkan panggilan masuk. Dengan malas ia menyentuh tombol hijau di layar benda miliknya.
"Halo, Ma?"
"Ca, udah pulang? Tadi Caka beneran jemput kamu, kan?"
Cessa menarik nafasnya dalam, perasaan kesal begitu menggembu di dadanya. "Iya, ma."
"Kalian gak pergi jalan-jalan dulu? Kenap-"
"Ma, Eca capek mau istirahat," potongnya.
"Ya udah kalau gitu, tapi jangan lupa undangan nanti malam. Bilangin juga, maaf mama sama papa gak bisa ikut, kita baru pulang minggu depan."
"Hm."
"Nanti mama minta Caka jemp-"
"Eca bisa berangkat sendiri, Ma." Cessa benar-benar sedang tidak ingin mendengar perkataan sang mama yang membuat mood-nya tambah buruk.
"Ya udah terserah kamu aja. Kalau gitu mama tutup ya?"
Cessa mengangguk. "Iya."
"Mama sama papa sayang kamu."
"Eca juga," ucap cewek itu lesu.
Kemudian panggilan terputus. Cessa mendesah pelan, pandangannya mengarah pada penjuru ruangan. Sepi.