Leana

1034 Kata
Cewek berambut curly itu mengikuti langkah teman sekelasnya yang berjalan menuju toilet. Ia ikut berdiri di sebelah sosok tersebut berpura-pura merapihkan rambutnya lewat pantulan cermin. "Udah sejauh mana lo sama Aden?" Pertanyaan tersebut membuat cewek itu terkejut. "Gue liat kalian di toko buku kemarin," ucap Renata. "Re-Renata t-tolong jangan bilang siapa-siapa." Leana terbata-bata padahal Renata hanya bertanya. "Kalian pacaran?" Mata Leana membeliak, kemudian menggeleng. Renata memutar badan menghadap cewek itu. "Sukur deh," ujar Renata bersedekap d**a. "Berarti gue boleh minta satu hal sama lo?" Leana yang menciut memberanikan diri menatapnya. "A-apa?" "Jauhin Aden!" perintanya mengintimidasi. "Gue tau lo tipe orang yang suka nyari aman. Dan terikat dengan Aden cuma bakal bikin hidup lo gak sebaik sebelumnya." Leana terpengkur. "Sebelum semuanya semakin rumit dan lo gak bisa mundur lagi, gue minta dari sekarang berhenti." Lea menatap cewek di depannya bingung. "Kenapa gue harus berhenti?" "Karena lo baik, gak akan bisa menyakiti hati orang lain," terang Renata menatapnya penuh kesungguhan. "Kalau lo lanjutin ini, akan ada yang tersakiti." "Siapa?" tanya Leana sendu. Terang saja Renata merasa tak tega. Namun, tak ada pilihan lain. "Lo gak perlu tau. Cuma kalau lo tetep maksa, jangan kaget dengan apa yang terjadi nanti." Setelah itu Renata keluar dari toilet dengan perasaan bersalah di benaknya. *** Beberapa hari ini Leana menghindarinya. Hal tersebut membuat Dennis kelabakan. Padahal sebelumnya cewek itu sudah mau ia ajak pergi untuk hunting foto. Apa mungkin Cessa sudah tahu dan mengancamnya? "Udahlah, mungkin dia lagi gak mau diganggu," ucapan Diran membuatnya mendelik. "Gue yakin pasti karena cewek itu," ucap Dennis dengan raut kesal. Lino yang duduk di sebelahnya melirik Diran lalu menghembuskan nafas lelah. Entah sampai kapan pertarungan sengit mereka berakhir. "Dia kayaknya belum tau cewek itu Lea." Lino merasa yakin akan hal tersebut. "Tadi gue liat Cessa sempet minjem tip-x ke Lea, dia biasa aja kok. Bahkan sempet senyum gitu." "Mungkin aja dia cuma acting. Lo gak usah ngebela dia." Larangan tersebut membuat Lino berdecak. "Ya udah terserah apa kata lo." Dennis mengedikkan bahu lalu berdiri, hendak menemui Lea. Meninggalkan kedua sahabatnya yang tak bisa melakukan apapun. Awalnya Dennis ingin melihat Cessa kelabakan dalam waktu yang lama. Namun, sepertinya ada perubahan dalam rencananya. Dennis memang menyukai Lea, meski mungkin ia juga memanfaatkan cewek itu sebagai alat untuk menghancurkan pengacau hidupnya. Dennis menghentikan langkah bertepatan dengan Cessa yang ikut berhenti. Cewek yang sedang berbicara lewat telepon itu memicingkan mata. Dennis menyeringai mendapati Lea baru keluar dari kelasnya. Ia berjalan melewati Cessa yang kini ikut berbalik, mengikuti arah langkahnya. Cewek itu membeliakan mata, bahkan hampir menjatuhkan ponselnya saat melihat Dennis menghampiri teman sekelasnya. "A-Aden? Ngapain ke sini?" tanya Leana yang berubah gusar. Dennis tak peduli, malah mendekat dan membisikan sesuatu pada pujaan hatinya. "Jangan khawatin apapun, ada gue yang bakal lindungin lo." Barulah setelah itu Lea perlahan tenang. Bahkan pasrah saja saat ia membawanya pergi. Ketika bertemu pandang dengan Cessa, ia tersenyum miring. Merasa sangat puas melihat raut terkejut cewek itu. Berbeda dengan Cessa kini bergeming. Suara Renata dibalik telepon sudah tak ia pedulikan lagi. Cessa mengepalkan genggaman pada ponselnya, menyalurkan rasa sakit yang menghantam dadanya. Seharusnya bukan Leana. Cewek itu berbeda jauh dari Citra. Sosok yang begitu Dennis kagumi. Pula yang menciptakan perasaan dengki dalam diri Cessa hingga berakhir dengan kesalahan besar yang sampai saat ini membuatnya tersiksa akan sebuah penyesalan. Setelah bertahun-tahun Cessa dengan suka rela menjadi bayangan cewek itu, haruskah semua berakhir sia-sia? *** Cessa menyandarkan punggungnya, menatap langit yang sudah mulai gelap. Hampir dua puluh menit ia berdiri di depan rumah Dennis. Menunggu cowok itu pulang. Deru kendaraan yang mendekat membuatnya mendongka. Dennis dengan raut kesal menghentikan motornya. Cessa berdiri tepat di pintu gerbang menghalangi jalannya. Cessa berjalan mendekat dengan tangan bersedekap. Menatap Dennis yang tampak muak dengan kehadirannya. "Ada apa? Mau ngaku kalah?" Dennis menyeringai sinis. "Kalian belum jadian, jadi apa itu bisa disebut menang?" tanya Cessa yang dibalas decakan oleh cowok itu. "Sebenarnya apa yang lo mau?" "Elo." Mata Dennis membola. "Kehancuran lo mungkin?" ulang Cessa. Seolah ucapan sebelumnya hanya candaan tak berarti padahal ia mengatakannya dari hati. Cowok itu mendengkus, kesabarannya mulai menipis. "Gue peringatin, jangan pernah sekalipun lo ngakitin Lea atau-" "Atau apa? Mau ngasih gue pelajaran?" potong Cessa lalu terkekeh. "Lo gak akan bisa. Selama ini ancaman lo cuma omong kosong." Dennis tertawa mendengar ucapan Cessa. Meski sebenarnya ia tidak mengerti kenapa semuanya menjadi serumit ini. Cewek di depannya semakin hari menjadi sosok yang tak ia kenali. Pula rasa muaknya yang membuat Dennis ingin membuat Cessa pergi jauh dari hidupnya. Dennis turun dari motor, mendorong bahu Cessa untuk membuka gerbang. Setelah itu ia kembali menatap Cessa. "Elo yang ancam Lea kemarin sampai di-" "Ancam?" Cessa mengernyit tak mengerti. Sedetik kemudian ia bersikap tak peduli. "Thanks." Giliran Dennis yang kebingungan. "Karena prasangka lo, gue bisa tau dengan cepat siapa cewek itu. Dan Leana ... lo harus terus berada di dekatnya." Dennis memandangnya tajam. "Don't you dare!" "Sayangnya gue bukan gadis belia yang mau aja nurutin apa yang lo mau." Perkataan Cessa seperti sebuah sindiran untuknya. "Semakin lo larang gue, maka gue akan tambah nekat." Cessa berbalik untuk memasuki halaman rumahnya, tapi pertanyaan Dennis membuatnya terpaku. "Lo lagi balas dendam?" Kepalan tangannya menguat. Cessa tak mampu menjawab. "Harus gue yang ngelakuin ini hingga lo gak bisa bahagia sebagaimana lo hancurin gue dulu." Terpaksa, Cessa kembali berbalik. "Harusnya juga gue gak mikir-mikir untuk ngebuat lo merasakan apa yang Citra rasakan dulu. Gue salah udah pernah menganggap lo sebagai temen gue, cewek monst-" "Cukup!" teriak Cessa tertahan. Tak ingin para tetangga mendengar pertengkaran mereka. "Lo pikir diri lo suci?" Mata Dennis membeliak, terlebih melihat air mata yang mengalir di wajah cewek itu. "Harusnya lo sadar kalau cewek monster ini adalah hasil dari perbuatan lo sendiri," ujarnya dengan nada bergetar. "Jauh, jauh sebelum Citra hancur, lo udah hancurin gue duluan Radennis. Lo gak pernah ngerasa berbuat salah, 'kan?" Cowok itu tampak kebingungan. Berusaha mengingat setiap kejadian beberapa tahun silam. "Dan jawabannya akan tetap sama. Lo selalu merasa diri lo benar dan cuma gue satu-satu orang yang salah di sini." Dennis terperangah sampai tak sadar dengan langkah cepat Cessara diikuti bunyi gerbang yang ditutup keras. "Jauh, jauh sebelum Citra hancur." "Jauh, jauh sebelum Citra hancur." "Apa yang gue lakuin?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN