Bagian 4, Saling

1292 Kata
Seandainya ada kata 'saling' untuk menyadari kesalahan *** "Lo bisa gak sih nurut sama gue?" Cessa memutar bola mata malas. Ia baru pulang latihan dan Caka malah memaksa untuk menemaninya pergi. "Gue capek, baru pulang latihan. Lagian ini udah malem," tolak Cessa dengan raut lelah yang kentara. Caka mencengkram tangan Cessa hingga meringis. "Sakit Caraka, lepasin!" Cowok itu malah terkekeh melihatnya kesakitan. "Makanya nurut!" Cessa menghembuskan nafasnya berat. Harusnya Caka tidak bersikap seenaknya. "Oke, sekarang lepas." Tersenyum puas, Caka melepaskan cengkaramannya. "Gue kasih waktu sepuluh menit buat siap-siap. Dandan yang cantik." Cessa memasuki rumah setelah menghentakan kakinya. Segera berganti baju dan kembali menghampiri Caka yang menatap tak suka. "Lo gak ada baju lain? Gue bilang dandan yang cantik!" Padahal Cessa sudah cantik meski hanya memakai jeans dan kaos lengan pendek dilapisi cardigan bergaris. "Gue gak suka diatur-atur! Jadi, kita berangkat sekarang atau gue masuk ke dalam lagi!" ancam Cessa membuat Caka menyerah. Akhirnya mereka berangkat menuju sebuah cafe. Dengan ogah-ogahan Cessa mengikuti Caka yang tampak antusias bertemu dengan teman-temannya. Cowok itu merangkulnya, memperkenalkan Cessa sebagai pacarnya. "Wuih cantik bener cewek lo yang ini!" Cessa menaikan sebelah alis mendengar ucapan cowok berambut pirang. Senggolan dibahu membuatnya menoleh. Dengan senyum paksa ia membalas sodoran tangan dari teman Caka. "Lo bisa gak sih sopan dikit?" bisik Caka kesal. Cessa hanya balas mendengkus. Merasa tidak nyaman duduk di antara para cowok yang sejak tadi memberikan tatapan yang-ugh! ingin sekali ia menusuk mata mereka satu-satu. "Gak nyaman ya?" Cessa yang sedang menyeruput minumannya menoleh pada teman Caka. Namanya Aryan kalau tidak salah dan cowok itu sedikit lebih baik dari yang lain karena menatapnya biasa. "Sedikit," ringis Cessa. Aryan mengangguk paham. "Mending lo pulang aja." "Hm?" "Caka biasanya lama. Abis ini juga dia mau pergi ke suatu tempat." "Ke mana?" tanya Cessa penasaran. Aryan hanya tersenyum, "Lo gak perlu tau. Lebih baik lo pulang sebelum dipaksa ikut. Bahaya." Cessa semakin tidak mengerti. Ia hendak kembali bertanya, tapi Aryan sudah ikut bergabung dengan teman-temannya. Mendengar suara tak asing seseorang, ia mengarahkan tatapan. Matanya bersibobok dengan obsidian berwarna cokelat milik Dennis yang langsung melengos, berjalan ke arah kasir. Melihat Dennis beranjak keluar, Cessa segera berdiri membuat para cowok itu menoleh. "Gue mau pulang," ujarnya mendapat tatapan tajam Caka. "Gue belum ngerjain tugas." Tanpa menunggu respon Caka, Cessa berlari keluar cafe dan menemukan Dennis hendak melajukan motornya. "Dennis!" Cowok itu menoleh malas. Sedangkan Cessa menghampiri dengan raut lega. "Lo mau pulang?" "Kenapa? Mau numpang?" tanyanya sarkas. "Boleh? Ini udah malem." Cowok itu terkekeh. "Bukannya emang lo suka pulang lebih malem dari ini?" Tahu bahwa Dennis tidak akan pernah bersikap baik padanya, Cessa memundurkan langkah.  "Ya udah kalau gak mau, gue gak maksa." Cessa berjalan menuju halte. Kuotanya habis sehingga tidak bisa memesan kendaraan online. Tak lama kemudian Dennis melewatinya begitu saja dan seharusnya Cessa sudah terbiasa, tapi tetap saja rasanya sakit. Cessa tertawa hambar. Satu tangannya terangkat, menghapus sesuatu yang jatuh dari pelupuk matanya. *** Dennis baru membuka pintu rumah ketika sang mama langsung memarahinya karena pergi tanpa pamit. Ratuna malah tertawa melihatnya mendapat ceramahan. "Mama udah bilang kalau mau ke mana-mana itu pamit dulu." "Iya mamaku sayang. Dennis lupa tadi buru-buru." ujarnya membela diri. "Lagian Dennis bukan kecil lagi. Mama suka lebay deh." "Bukannya lebay, mama khawatir. Akhir-akhir ini banyak terjadi kejahatan apalagi di malam hari." Ucapan sang mama membuatnya terdiam. Dennis menggelengkan kepala, menepis pemikiran konyolnya. "Udah deh, Ma. Yang penting Dennis udah pulang." Cowok itu memeluk mamanya yang hendak kembali berbicara. "Lain kali Dennis bakal ijin dulu." "Ya udah sana mandi, abis itu makan." "Dennis udah makan di luar, Ma." Dennis mencium pipi mamanya lalu beranjak setelah menyempatkan diri menjitak Ratuna yang sedang asik menonton.  "Mama kak Dennis jahat! Dia jitak Una!" "Dennis! Kamu yah jail banget!" Teriakan sang adik dan mamanya terdengar bersahutan. Dennis tertawa dan memasuki kamarnya. Ia mengambil handuk untuk membersihkan diri. Namun, langkahnya terhenti. Dennis memutar arah, berjalan ke jendela kamar, tatapannya terfokus pada bangunan di depannya. Kamarnya masih gelap. *** Cessa baru sampai rumah jam sepuluh malam karena ia tidak menemukan kendaraan umum yang lewat. Beruntung ketika ia mencoba berjalan sedikit ke pertigaan, Cessa bertemu Lino yang baru selesai mengisi bensin. Ia sampai memeluk cowok itu dengan mata berkaca-kaca. Terang saja Lino bingung, tapi Cessa tidak memberitahu kenapa dirinya bisa terdampar di tempat itu. Cessa menghidupkan musik. Hal yang sering dilakukan saat kepalanya terasa berat. Merasa gerah, ia mengikat rambutnya lalu membuka pintu balkon. Menemukan sosok Dennis di seberangnya, Cessa mendengkus, kembali menutup pintu kamarnya rapat. Cewek itu mendudukan badan, membuka laci meja dan mengambil album foto yang tampak usang. Ia memandangi gambar dua orang anak dengan background gajah dalam kandang. Yah, mereka sedang berada di kebun binatang. "Kenapa? Kenapa gue gak bisa lama-lama benci sama lo?" lirihnya. "Kenapa usia harus bertambah kalau akhirnya kita akan semakin jauh?" Membuka lembar berikutnya, di sana  Cessa kecil sedang tersenyum dengan matanya yang merah. Saat itu ia diejek teman-temannya karena Cessa manja dan bodoh. Dennis datang sebagai penyelamat. Membelikannya permen kapas agar tangisnya berhenti. "Kesalahan itu, gue nyesel. Andai aja gue bisa nahan diri, mungkin semua gak akan seperti ini." Ia menyimpan kembali album tersebut. Tak sanggup mengingat kenangan masa kecilnya terlalu banyak. "Gimana caranya biar lo bisa kembali? Gue udah kayak Citra, Den." *** "Kak Ayu!" Cessa sedang menyiram bunga ketika Ratuna yang baru pulang joging memanggilnya. Ia menoleh, tapi malah bersitatap dengan Dennis yang berdiri di belakang Ratuna. "Kak Ayu rajin banget!" pujinya hendak mendekat. Namun, Dennis segera menarik ujung rambutnya hingga sang adik meringis. Cowok itu kemudian memasuki pekarangan rumah. "Una abis joging di mana?" tanya Cessa lembut. "Di alun-alun. Lain kali Kak Ayu ikut ya? Una suka males kalau sama kak Dennis, nyeb-" "Una! Kata mama cepet masuk! Malah ngegosip." Teriakan cowok itu membuat Ratuna menggerutu, "Tuh, kan, Kak?" Cessa hanya tersenyum melihat raut kesal gadis itu. "Heh anak kutil! Kata mama cepet mandi keburu airnya abis!" teriak Dennis lagi. Ratuna menghentakan kakinya kesal. Kakaknya tidak suka ia bergaul dengan Cessa. Katanya nanti ia akan berubah jadi nenek sihir. Memang mereka sedang berada di dunia dongeng? "Udah sana masuk. Entar malah kakak yang diamuk sama cowok nyebelin itu." "Huh, padahal Una pingin ngobrol sama kak Ayu," sesal Ratuna. "Nanti Una ke sini lagi. Katanya mau belajar nari, kan? Entar kakak ajarin." Wajah Ratuna berubah cerah. "Yang bener kak?" Anggukan Cessa membuat gadis itu berjingkrak senang. "Ratuna! Mama bilang hari ini gak boleh main sama siapa-siapa. Diem aja di rumah." Teriakan kesekian membuat Ratuna mencebik. Dennis masih duduk di teras rumah. Belum juga selesai melepas sepatunya sejak tadi. "Aku masuk dulu deh, kak." Pamit Ratuna yang hanya Cessa balas dengan anggukan. "Ratuna!" "Iya elah, berisik banget sih lo?" "Heh omongannya yah! Kakak bilangin nih ke mama." "Bilangin aja dasar tukang ngadu." "Ih punya adik kok nyebelin banget sih? Gue loakin tau rasa." "Mama! Kak Dennis katanya mau loakin Una!" "Eh enggak, Ma! Una bohong." Kemudian terdengar pintu tertutup keras. Cessa tersenyum mendengar perdebatan sepasang kakak beradik tersebut. Setiap hari rumah di seberangnya selalu ramai. Berbanding terbalik dengan kediamannya. "Non Eca." Cessa menoleh pada wanita paruh baya yang berdiri di pintu. "Iya kenapa bi?" "Ada telepon dari nyonya." Mata Cessa berbinar seketika. Ia berlari kecil ke dalam rumah. "Ya ma? Mama sama papa udah sampai mana?" Senyum di wajahnya lenyap. "Iya gak papa." Cessa menatap pembantu rumah tangganya yang kini menatapnya prihatin. Ia tersenyum tipis berusaha tampak baik-baik saja. "Udah dulu ya, Ma? Eca lagi beres-beres." Cessa mematikan panggilan begitu saja, menghembuskan nafas kasar. "Non-" "Eca gak papa bi," potongnya. "Bibi lanjutin aja masaknya." "Tapi nanti malem gimana? Bibi gak bisa ngi-" "Bi." Cessa menyentuh bahu wanita berusia setengah abad tersebut. "Gak usah khawatir. Nanti Eca bisa ajak Una atau temen-temen nginep." Dan pada akhirnya, Cessa kembali melewati malam-malamnya sendiri.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN