Bagian 5, Drama

1058 Kata
Lalu, sampai kapan aku harus berjuang seorang diri? *** "Kemarin malem yah, gue ketemu Cessa sendirian di pinggir jalan." Ucapan Lino membuat mereka menoleh bersamaan. Termasuk Dennis yang sedang berkirim pesan dengan pujaan hatinya. Ia mengarahkan tatapan pada Cessa yang sedang duduk bersama Davina di depan kelasnya. Tak lupa beberapa cowok yang ikut bergerombol. "Ngapain?" tanya Radit sembari mengunyah kacang goreng milik Dennis. "Mangkal kali, kan malam minggu," canda Diran yang membuatnya mendapat jitakan dari Davian. "Sembarangan!" Diran mengusap kepalanya sambil menggerut. Percayalah, Davian adalah malaikat pelindung untuk tiga cewek bar-bar yang salah satunya adalah kembarannya sendiri. "Gue gak tau, ditanya juga gak mau jawab," jelas Lino mengingat kejadian tersebut. "Tapi yang buat gue terenyuh tuh, saat dia langsung meluk gue matanya berkaca-kaca gitu kayak mau nangis." "Wih Lino dipeluk!" seru Diran yang bertepuk tangan. "Diem!" Davian memberikan tatapan mengancam, beralih menatap Dennis yang jadi diam. "Lo gak tau dia abis dari mana, Den?" Dennis mengedikan bahu, "Gue bukan mamanya jadi dia gak- adaws sakit b**o!" "Elo ditanya serius juga," kesal Davian. "Udah deh kenapa malah ngurusin dia?" Dennis menunjuk ke arah sosok yang menjadi topik pembicaraan. "Tuh! Orangnya juga gak papa. Sekarang aja lagi haha hihi gak jelas." "Lo kenapa sih Den sinis terus kalau bahas dia?" tanya Radit bingung. Dennis berdecak. "Ya lo pikir aja apa yang udah dia lakuin sama gue." "Selalu alasan untuk itu." Radit tak kalah membalas ucapan sahabatnya. "Iya alasannya karena dia gak mau liat gue bahagia," tegas Dennis. "Terserah deh." Akhirnya cowok berambut ikal itu menyerah. Sifat keras kepala Dennis tak ada yang bisa mengalahkan. Suara merdu Davina mengalun lembut bersama iringan gitar Samudra. Di sebelahnya ada Cessa yang tampak sumringah. Mungkin senang dikerumuni para cowok. Pemikiran itu tentu hanya Dennis yang punya. "Giliran elo Ces nyanyi," ujar Sam. "Iya Cess, aa mau denger suara Incess!" Seru Lino yang sudah berlari ke arah kerumunan. Sontak cowok itu mendapat sorakan dari teman-teman sekelasnya. Lino mamang sekelas dengan Cessa. Dennis satu kelas dengan Diran dan Radit. Sedangkan Davian berbeda jurusan. Anak IPA yang selalu berkeliaran di koridor IPS. Persahabatan kelimanya terjalin sejak masa orientasi. "Gak ah suara gue jelek," tolak Cessa yang merasa kalah jauh dari suara Davina. "Ih gak papa jelek juga, yang penting 'kan Cessa cantik." "Huuuu modus lo Lina!" "Heh nama gue Lino ya pake 'o' sembarangan aja ganti nama orang." Protes Lino menjitak satu persatu teman-temannya. "Heh udah. Ini jadi nyanyi gak? Keburu bel." Davina berusaha menengahi dua orang yang selalu membuat keributan saat bertemu. "Ya jadi dong, ya gak sayang?" Kali ini Lino merangkul bahu Cessa yang tak berontak sama sekali. Cewek itu membisikan sesuatu pada Samudra. Sam, si anak band mulai mencoba kunci lagu dan menselaraskannya. Wajar curiga Tapi bukan curiga yang tak wajar Itu hanya akan membuat aku jadi hilang rasa Wajar cemburu Tapi bukan cemburu yang tak wajar Itu hanya akan membuat kita selalu bertengkar Haruskah ku jadi orang berbeda Hanya untuk membuat dirimu bahagia Jangan lakukan, hatiku bisa tertekan Aku juga mau kita bahagia Tanpa harus menjadi orang yang berbeda Percaya aku Hatiku dimilikimu Beberapa orang yang lewat menyempatkan diri untuk sekedar melirik. Suaranya memang tak semerdu Davina, tapi gerak gerik seorang Cessara memang selalu menjadi pusat perhatian. Termasuk gerombolan Dennis yang sedang duduk di pinggir lapangan selesai bermain futsal. Cessa memejamkan mata, begitu menghayati sampai yang ada di sana merasakan terhanyut. Ada getaran dalam nada suaranya. Davina sempat tertegun, ia menatap ke arah depan di mana hanya Dennis yang menundukan wajah, padahal semua sahabatnya terfokus pada Cessa. Lagu berakhir disusul bel masuk berbunyi. Tepuk riuh membuat Cessa terkekeh. Ia merasa baru selesai konser. "Elo dari dalem hati banget nyanyinya. Buat Caka ya?" tanya Lino yang masih duduk di sebelahnya. Cessa hendak menjawab ketika melihat Dennis dan yang lain mendekat. "Weits cah Ayu suaranya bikin merinding." Cesa memutar bola matanya. "Biasa aja!" Davian menarik lengan Davina yang masih mencoba mencocokan lagu bersama Samudra. "Heh masuk kelas! Udah bel." Davina berdecak, terlebih saat sang kakak mendorong tubuhnya dan Cessa untuk memasuki kelas. "Ian ish! Harusnya elo yang cepetan pergi. Kelas elo 'kan jauh." Davina yang tak terima balik mendorong tubuh cowok itu. "Iya juga ya?" "b**o sih!" Davian mendelik. Hendak menjiwil pipi Cessa yang bersembunyi di balik tubuh para sahabatnya. "Cessara," geramnya berusaha meraih tubuh cewek itu. "Udah gue bilang berkali-kali omongannya dijaga." "Gue keceplosan." Cessa yang tadinya bersembunyi di belakang tubuh Diran beralih saat Davian mendekat. Ia memegang lengan cowok di sebelah Diran. Namun, suara jutek seseorang membuatnya mematung. "Lepas." Cessa mendongak, bertatapan dengan mata tajam milik Dennis. Menormalkan raut terkejutnya, ia menurunkan tangannya dan berdehem. "Sorry, gue pikir bukan elo." Setelah mengatakan itu Cessa memasuki kelasnya, mengabaikan tatapan bingung orang-orang. Radit menggelengkan kepala. "Drama lagi, 'kan?" *** Cowok itu fokus mengarahkan kamera ponsel pada sosok yang beberapa minggu ini menarik perhatiannya. Hasil jepretannya tentu saja selalu memukau meski tanpa menggunakan kamera slr. Mendengar derap langkah yang mendekat, ia segera memasukan ponselnya ke saku seragam. Sang pengganggu datang. "Jadi anak kelas gue?" tanya cewek berpostur tubuh tinggi yang ikut mengarahkan pandangan ke tengah lapang. Mereka kini berada di lantai dua. Dennis tak menjawab, malah memperhatikan cewek di sebelahnya yang sedang menghapus keringat di dahi. Terlalu memaksakan diri padahal jam olahraga masih berlangsung. "Lo jauh-jauh cuma mau nanya ini?" Pertanyaan dengan sarat tak suka tersebut menciptakan kekehan. Cessa membalikan badan, balas menatap Dennis. "Raden Niswara, bukannya ini yang lo harepin?" Dennis sempat terdiam sebelum tersenyum sinis. "Ya," jawabnya mantap. "Gue pingin tau sampai sejauh mana lo bertindak hingga akhirnya lo sendiri yang hancur." Cessa tertawa, menyembunyikan rasa sakit yang menggerogoti dadanya. Ia menepuk bahu Dennis yang tampak enggan. "Jika mimpi lo itu jadi kenyataan, gue harap lo gak nyesel. Karena saat itu ... mungkin lo juga ikut hancur." Tergelak, Dennis menghempaskan tangannya dengan tak santai. "Gak akan pernah ada kata menyesal dalam hidup gue. Justru saat itu gue akan berpesta untuk merayakan kesakitan elo." "Oh ya?" tanya Cessa tercekat. "Kita liat aja nanti. Sekarang fokus aja sama tugas masing-masing. Lo lindungin cewek kesayangan lo dan gue- hm gak perlu gue kasih tau, 'kan?" Dennis mengedikan bahu dan melenggang pergi. Cessa menghela nafas berat, mengarahkan tatapan ke lapangan. Mencari sosok yang membuat Dennis lagi-lagi melewatkannya. "Sehebat apa dia?" tanyanya bermonolog. "Cessara! Ngapain? Cepetan turun, pak Darma lagi jalan ke sini," teriakan Davina membuyarkan lamunannya. Cessa berdecak, berjalan menuju lapangan dengan malas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN