Clare dan Grace yang sudah mendandani Caramella mengajaknya ke ruang makan. Di sana para pelayan sudah menyajikan hidangan makan malam untuk mereka. Caramella duduk di salah satu kursi meja makan sambil menunggu kedatangan yang lain.
"Aku akan memanggil Tristan, Rohan, dan Owen,"kara Clare.
Clare meninggalkan ruang makan dan kembali membaur dengan tamu-tamu pesta lainnya. Ia mencari keberadaan mereka dan tersenyum saat melihat mereka bertiga ada di balkon sedang mengobrol. Ia berjalan terburu-buru menuju balkon.
"Makan malam telah siap."
"Akhirnya kamu selesai juga membantu Miss Hewitt berganti pakaian,"kata Rohan.
Tristan beranjak dari kursinya dan sudah tidak sabar ingin segera menemui Caramella yang sudah menunggunya di ruang makan.
"Semoga kamu berhasil,"bisik Owen menyemangatinya. "Kami tidak ikut makan bersama kalian. Kalian berdua saja."
"Baiklah."
Sepanjang perjalanan menuju ruang makan, Tristan tersenyum-senyum sendirian dan ia sudah menyiapkan banyak kata untuk disampaikan kepada Caramella. Ia ingin memberitahu wanita itu tentang segala hal dalam hidupnya. Tidak masalah, ia akan punya waktu seumur hidup untuk berbagi dan menciptakan kenangan dengannya. Ia berusaha mengabaikan suara-suara pesta dan cepat-cepat menuju ruang makan, tidak bisa mengabaikan perutnya yang keroncongan.
Ia tersenyum melihat Caramella yang sedang melihat berbagai macam hidangan di meja. Seperti biasa wanita itu terlihat cantik dan juga anggun. Sejenak tadi Tristan sempat terpesona oleh kecantikannya. Ia berjalan mengendap-endap di belakangnya.
"Hai!"sapanya.
Caramella terkesiap kaget. Tristan mengawasi dengan senang ketika kepanikan di mata wanita itu mencair menjadi senyuman indah yang pernah dilihat Tristan.
"Kamu mengejutkanku saja."
Caramella menyentuh dadanya berusaha menenangkan debaran kencang jantungnya.
"Kamu terlihat lebih baik sekarang. Gaun yang kamu kenakan itu sangat indah."
"Ini milik Clare dan dia memberikannya untukku. Maafkan aku! Gaunku yang aku kenakan sebelumnya telah rusak."
Tristan duduk di depan Caramella. "Kenapa kamu minta maaf padaku?"
"Karena kamu sudah membelikan gaun itu untukku, tapi sekarang rusak."
Tristan nampak bingung. "Aku tidak membelikan gaun itu.'
"Eehh,"serunya terkejut. "Tapi ada pesan kalau gaun itu darimu."
Dahi Tristan berkerut. "Aku tidak bohong kepadamu bukan aku yang membelikan gaun itu padamu."
"Lalu siapa?"
Tristan mengangkat kedua bahunya. "Tidak tahu."
Caramella melipat tangannya di atas meja dan memikirkan siapa orang yang sudah membelikan gaun itu.
"Kamu jangan memikirkan siapa orang itu. Kita bicarakan yang lain saja "
"Baiklah."
"Apa kamu sudah merasa tenang sekarang setelah kejadian tadi?"
"Iya, tapi aku masih takut pria itu akan datang lagi."
"Kamu tak perlu cemas. Pria itu tidak akan pernah datang lagi menemui."
Perasaan Caramella menjadi lebih lega setelah mendengar perkataan Tristan.
"Apa kalian mau minum anggur?"tanya seorang pelayan yang membuat Caramella terkejut, karena pelayan itu tiba-tiba berada di sana. Jangan-jangan perhatiannya terlalu terkonsentrasi pada pria di depannya hingga semua hal lain di dunia ini seolah lenyap begitu saja.
"Tidak terima kasih."
"Aku mau minum."
"Sebaiknya jangan aku tidak ingin kamu mabuk malam ini."
"Ayolah sedikit saja itu tidak akan membuat mabuk. Lagi pula kita sedang berada di pesta."
Pelayan tampak bingung. Ia memandang Tristan dan Caramella berganti-ganti. Tristan menghela napas panjang.
"Terserah kamu saja."
"Kami mau minum wine yang terbaik,"kata Caramella pada pelayan itu.
"Baik Nona."
Pelayan itu segera memberi isyarat kepada anak buahnya untuk melaksanakan perintahnya mengambil wine di gudang penyimpanan.
"Aku harap kamu tidak mabuk malam ini."
Bibir Caramella terasa berat saat ia berusaha tersenyum.
"Kita lihat saja nanti."
Caramella mulai mengambil makanan dan ia baru menyadari selera makan mereka hampir sama. Buah segar, sayuran, dan daging tampak lemak.
"Buka mulutmu!"
Tristan memegang sebuah buah anggur. Wanita itu tampak ragu-ragu, karena selama ini belum ada seorang pria pun yang menyuapinya, kecuali ayahnya.
"Ayo buka mulutmu!"
Caramella membuka mulutnya. Dengan hati-hati Tristan meletakkan buah anggur di mulut wanita itu dan membiarkan wanita itu menggerakkan bibirnya mengambil buah itu sampai bibir itu menyentuh jari Tristan, lalu dikunyahnya.
"Terima kasih."
"Sama-sama."
Mereka berpandang-pandangan lama sekali sampai dikejutkan oleh suara dehaman pelayan yang datang kembali membawa botol wine dan ia menunggu persetujuan Tristan untuk menuangkannya ke gelas masing-masing. Setelah mendapat persetujuan, pelayan itu menuangkannya ke gelas, lalu meninggalkan mereka berdua lagi.
Caramella mengambil gelas wine miliknya dan memejamkan matanya, merasakan kesegaran dan kehangatan wine menjalari tenggorokannya. Mereka kemudian makan perlahan-lahan. Wine itu benar-benar sangat keras dan langsung naik ke kepalanya, membuat dirinya serasa melayang-layang. Ia mengamati Tristan yang sedang makan dan ia berharap Tristan mau membicarakan tentang ciuman itu.
"Kenapa kamu tadi menciumku?"
Seketika Tristan berhenti makan, menatap Caramella yang sedang mempermainkan gagang gelas wine-nya.
"Tidak ada alasan khusus. Itu karena aku menginginkannya."
"Hanya karena kamu menginginkannya?"
"Iya. Jika kamu tidak suka, aku minta maaf."
"Aku yakin pasti ada alasan lain. Kamu tidak mungkin tiba-tiba menciumku begitu saja."
Caramella kembali meminum wine-nya yang tersisa di gelas, lalu menuangkannya lagi.
"Sekarang katakan kepadaku, penjelasan apa yang ingin kamu dengar dariku?"
"Ya misalnya kamu tertarik padaku."
Caramella menunggu jawaban pria itu.
Napasnya tercekat ketika ia menatap pria itu. Senyuman samar tersungging di bibir Tristan.
"Apa kamu mengharapkan aku tertarik padamu?"
"Entahlah mungkin iya dan mungkin juga tidak."
"Bagaimana kalau aku memang tertarik padamu, Miss Hewitt?"
Caramella terdiam, lalu tertawa terbahak.
"Kamu tidak mungkin tertarik padaku. Itu tidak mungkin."
"Kenapa tidak? Itu bisa saja terjadi. Kamu wanita yang cantik dan seorang wanita karier yang sukses. Banyak pria yang menyukaimu."
"Itu benar, tapi jika aku membayangkan kamu tertarik padaku rasanya hampir tidak percaya. Kamu adalah klienku."
"Jika seorang klien tertarik pada pengacaranya yang masih lajang dan cantik, aku rasa itu tidak masalah atau kamu sudah tertarik pada pria lain."
"Tidak ada pria lain."
Tristan tersenyum. Caramella meminum wine-nya lagi. Setelah mereka selesai makan, Tristan mengajaknya jalan-jalan di luar di bawah langit yang penuh bintang untuk mencari udara segar. Musik dansa terdengar sampai keluar. Tristan mengulurkan tangannya.
"Apa kamu mau berdansa denganku?"
Meskipun sempat ragu, Caramella menerima uluran tangan Tristan.
"Aku tidak pandai berdansa."
"Itu tidak masalah."
Sorot mata Tristan yang lembut dan serius seperti menghunjam langsung ke jiwanya. Pria itu menatapnya dengan penuh perhatian sehingga sekilas Caramella mendadak ingin meringkuk di pelukannya. Ia berusaha setenang mungkin dalam keadaan yang canggung itu.
Tristan membimbingnya ke lantai dansa yang berupa tanah berumput. Ia membuka tangannya lebar-lebar, membiarkan Caramella menyelinap ke dalam pelukannya. Dengan satu Telapak tangan ditempelkan di punggung wanita itu, ia menariknya hingga tubuh mereka sangat dekat satu sama lain. Tristan akan melakukan apa pun supaya berdekatan dengan Caramella, merasakan kehangatan tubuh wanita itu.
Mereka berdansa seirama dengan musik waltz. Beberapa kali Caramella menginjak kaki Tristan dan berkali-kali ia meminta maaf. Pria itu lalu mendekapnya dan alangkah nikmatnya berada dalam pelukan seorang pria. Caramella menyadari betapa rindunya ia didekap seperti ini. Ia teringat dengan pelukan hangat ayahnya yang sebenarnya ia rindukan. Tidak ada orang yang memeluknya seperti ini kecuali ayahnya, ketika ia masih kecil dan takut kegelapan. Tenggorokannya tersekat menahan air mata.
Tristan menempelkan bibirnya di kening Caramella dan membiarkannya di situ sementara mereka terus berdansa. Suara bersin yang terdengar terus menerus dari Caramella, Tristan menyudahi berdansanya.
"Sebaiknya kita masuk. Aku tidak ingin kamu sakit lagi."
Caramella mengangguk dan ia juga sudah merasa kedinginan terlalu lama terpapar udara dingin malam hari. Mereka duduk di ruangan lain dan Caramella meminum wine lagi yang dimintanya pada pelayan.
"Kamu sudah terlalu banyak minum malam ini."
"Tidak apa-apa. Aku tidak akan mudah cepat mabuk."
Tristan juga meminum wine bersama Caramella. Malam sudah semakin larut, para tamu satu persatu pulang. Tristan mengajak Caramella pulang. Sepertinya wanita itu sudah mabuk dan ia juga sedikit mabuk. Ia tidak mungkin mengemudi mobil saat ini. Rohan meminjamkan sopir pribadinya untuk mengantarkan mereka berdua.
***
Sesampainya di rumah, suasana rumah sudah sangat sepi. Penghuninya sudah terlelap tidur. Tristan membawa Caramella ke kamarnya. Wajah wanita itu tampak pucat. Wajah Tristan berkerut penuh ke khawatiran. Mereka tiba di kamar dan pria itu membantu Caramella berbaring di tempat tidur. Saat Tristan berbalik untuk pergi, Caramella mengangkat tangannya seakan memohon agar Tristan tetap tinggal.
Tristan memutuskan tetap tinggal sampai Caramella tertidur. Ia mengawasi wanita itu berbaring dengan kepala mendongak ke atas, leher melengkung dan tampak menggairahkan, mata separo terpejam serta bibirnya yang terlihat begitu menggodanya. Ia masih belum melupakan rasa bibir itu saat berciuman di pesta.
Tiba-tiba mata wanita itu terbuka dan menoleh pada Tristan. Ia tersenyum.
"Kamu tampan sekali,"celetuknya sambil bersendawa, lalu terkekeh.
"Terima kasih. Sebaiknya kamu tidur saja. Kamu sudah sangat mabuk."
"Aku tidak bisa tidur. Aku takut ada hantu menggangguku."
Caramella tiba-tiba menangis dengan sangat keras membuat Tristan tidak tahu harus berbuat apa.
"Tidak ada hantu di sini yang mengganggumu. Kamu Sudah terlalu banyak minum, jadi pikiranmu melayang kemana-mana."
"Ada hantu di sini. Wajahnya seram. Kamu tidak tahu saja."
Tristan hanya diam mendengarkan celotehan Caramella yang semakin melantur kemana-mana.
"Kamu pria yang sangat menarik, seksi, dan tampan. Aku menyukaimu,"katanya sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Tristan bereaksi. "Benarkah kamu menyukaiku?"
Caramella mengangguk sambil tersenyum lebar.
"Aku juga menyukaimu. Sangat menyukaimu,"kata Tristan dengan sorot mata sayu.
"Kalau begitu ciium aku lagi."
Caramella memonyongkan bibirnya. Tristan menjadi geli dan menahan tawanya. Tak menyangka saat mabuk wanita itu menjadi bertingkah aneh dan ini pemandangan yang sangat langka baginya.
"Ayo ciium!"
Tristan mendekatkan wajahnya dan mengecup bibirnya sekilas. Caramella Tersenyum kekanak-kanakan. Pria itu menyentuh rambut lembut Caramella dan menyusurkan jemarinya turun ke pipi. Ia juga mulai menghujani kecupan-kecupan ringan di rambut dan pipinya. Saat jari Tristan menyentuh dagu dan mendongakkan wajah Caramella hal itu serasa wajar. Bibirnya kemudian menyapu ringan bibir wanita itu sebelum melumatnya. Ia mencecap aroma wine yang masih menempel di sana dan semakin menekankan bibirnya di bibir Caramella.
Sesaat tubuh Caramella menegang, tapi tak berapa lama kembali rileks. Pelan-pelan lidah Tristan menyelinap masuk dan bibir Caramella merekah. Pada awalnya pria itu ragu, tapi setelah Caramella merespon sentuhan lidahnya, kendali dirinya lepas. Sembari menggeram keras, Tristan menjadi semakin agersif dan menguasai. Ia menjelajah ke seluruh rongga mulut Caramella.
Tangan Caramella memeluk erat tubuh Tristan dan pria itu membalas pelukannya. Ia menggeliat dalam pelukan Tristan. Pria itu sangat kuat dan hangat, debar jantungnya yang teratur terdengar di telinga Caramella.
Tristan terus mencium bibir wanita itu tanpa henti. Kebutuhan yang diduganya telah lama mati sejak sekarang muncul kembali dengan begitu hebatnya. Ia ingin membawa Caramella ke tempat tidurnya dan menahannya di sana. Selamanya.