12. Pesta

2274 Kata
Kristin yang sore itu sedang menikmati waktu santainya dengan menonton Tv di apartemennya dikejutkan oleh suara ketukan di keras berkali-kali di pintu. Ia kesal dengan ketidaksabaran tamunya itu. Sebelum membuka pintu ia mengintip dulu siapa yang datang. "Robie,"gumamnya. "Mau apa lagi dia datang." Kristin membuka pintunya dan Robie langsung masuk begitu saja dan menatap kesal pada wanita itu. "Ada apa lagi?" "Tolong berikan aku segelas air! Aku haus sekali." Kristin mengambilkan segelas air untuknya. Pria itu langsung merebutnya dari tangan wanita itu dan langsung meneguknya sampai habis. "Sekarang katakan ada apa kamu datang ke sini?" "Aku ingin tahu apakah kamu sudah bercerai dengan suamimu?" "Apa kamu sudah gila tidak secepat itu, lagi pula kamu baru aku beritahu dua hari yang lalu sambil memberikan gelang Cleopatra itu." "Ah ya kamu benar. Dua hari terasa sangat lama. Aku sudah tidak sabar ingin segera menikah denganmu." Kristin memandang Robie dengan jengkel. "Sebaiknya kamu tidak sering-sering datang ke sini dan menemuiku hanya untuk menanyakan apa aku sidah bercerai. Jika aku sudah resemi bercerai aku yang akan menghubungimu." "Tentu." "Sekarang pergilah! Aku ingin sendirian dan tidak ingin diganggu oleh siapa pun saat ini." Robie berdiri dan memberikan tatapan mengancam pada Kristin. "Jangan coba-coba melarikan diri dariku! Aku akan mencarimu kemana pun kamu berada." "Aku tidak akan pergi ke mana-mana sana pergi." Kristin mendorong Robie sampai keluar pintu dan cepat-cepat menutupnya. Ia menghela napas kesal. "Lama-lama Robie bisa mengganggu ketentraman hidupku." Ia kembali duduk di sofa dan menonton TV. *** Robie yang baru saja keluar dari apartemen Kristin bertemu dengan seorang detektif partikelir yang sedang menanyakan keberadaan seorang wanita. "Apa Anda melihatnya wanita ini?"tanyanya sambil memperlihatkan sebuah foto seorang wanita. Robie terkejut saat melihat foto itu dan ia cepat-cepat menyembunyikan keterkejutannya itu. "Aku tidak mengenalnya,"katanya berbohong sambil terus melihat foto itu. "Apa anda yakin?" "Sangat yakin. Jika aku boleh tahu, kenapa Anda mencarinya? Apa dia adalah wanita yang lari dari rumah?" "Dia tersangka pembunuhan." Mata Robie membelalak lebar. "Apaa?!"serunya terkejut. Detektif itu menjadi curiga, karena Robie terkejut terlalu berlebihan dam pria itu menyadari hal itu. Cepat-cepat ia menjelaskan pada detektif itu. "Aku sangat terkejut, karena ada pembunuh yang berkeliaran di sekitar sini dan aku merasa tidak aman. Pasti orang-orang pun begitu." "Anda mungkin benar." "Jika Anda melihatnya di suatu tempat atau ada yang mirip dengan wajah wanita ini segera hubungi aku." Detektif itu menyerahkan kartu namanya dan di sana tertulis detektif Jason Emerson. "Baiklah. Aku permisi dulu." Robie berjalan menjauhi wilayah apartemen Kristin dan berusaha meredakan debaran jantungnya. Tadi ia hampir saja mati berdiri melihat foto Kristin. Wanita yang ada di foto itu masih terlihat sangat muda mungkin sekitar 20 tahunan, tapi ia masih mengenali wajahnya Kristin dengan jelas sebelum wanita itu operasi plastik. Ia mengenal Kristin di sebuah klub malam ketika wanita itu masih berumur 20 tahunan. Ia jatuh cinta pada wanita itu dan hanya bisa memendam perasaannya selama beberapa tahun sampai akhirnya ia mendengar wanita itu menikah dengan Derick Hewitt dan ia menyadari tidak ingin kehilangan Kristin lagi setelah mendengar wanita itu bermasalah dengan suaminya dan pisah. Apa Kristin sudah terlibat suatu pembunuhan dan menjadi buronan sampai sekarang? Pertanyaan itu terus menari-nari dipikiran Robie. *** Tristan berjalan tak tentu arah. Ia terus melangkah sampai mendapati dirinya di kamar tidurnya. Ranjangnya yang besar berlapis sprei sutra, ia duduk di sana. Kepalanya dipenuhi musik tadi. Melodi itu mengentak-entak benaknya sampai ia mengerang. Ia mencengkeram kepalanya seolah-olah hal itu bisa mencegah kenangan-kenangan buruk tentang apa yang terjadi pada orang tuanya muncul kembali. Dulu ibunya sering memainkan musik itu dan menjadi salah satu musik favoritnya. Ia memainkannya sehari sebelum kematiannya. Setiap kali ia mendengarkan musik itu, rasa sedih kembali menghantuinya. Mengingat itu, ia merasa bibirnya melengkung membentuk senyum pahit. Walaupun sulit, ia telah menerima kematian orang tuanya. Ia sudah keluar dari masa berkabung sejak lama. Sekarang ia memiliki keluarga, teman, dan putri yang dicintai dan disayanginya meskipun bukan anak kandungnya. Caramella masih duduk di hadapan piano, ketika Tristan kembali muncul di sana. Wanita itu langsung berdiri dan terkejut. Ekspresi wajah pria itu sudah seperti biasa lagi, bahkan ia tersenyum kepadanya. Suasana hatinya cepat berubah pikir Caramella. "Maaf soal yang tadi. Apa aku tadi menakutimu?" "Sebenarnya iya." "Kamu berterus terang sekali. Aku suka itu." "Mr. Ram.... Tristan, aku...." "Lupakan saja kejadian tadi!" "Hah." "Aku tidak ingin mengingat-ingatnya lagi." "Baiklah." Hening. Tristan menatap mata Caramella. Lama keduanya bertatapan, menahan napas, tampak tenang meski di dalam bergejolak. Pikiran itu kembali muncul. Ia ingin menyentuhnya, mencicipi manisnya bibir wanita itu lagi, membenamkan diri pada keharuman tubuhnya, tapi ia harus kembali menahannya, karena Caramella belum siap menerimanya. Ia tidak ingin wanita itu lari ketakutan. Tiba-tiba sadar bahwa dirinya sedang diamati, Caramella menghindari tatapan Tristan. Mata pria itu mempunyai kekuatan magis. Setiap kali memandang mata itu, ia merasa dirinya akan bersedia mengikuti apa pun kemauan pria itu. "Kenapa tadi kamu tidak langsung pergi ke ruang kerjaku?" "Aku tidak tahu di mana ruang kerjanya. Aku lupa menanyakannya, jadi aku berada di sini. Ada apa kamu mencariku?" "Tadinya aku ingin mengajakmu ke pesta salah satu sepupuku malam ini supaya kamu tidak bosan selalu berada di rumah. Itu juga kalau tubuhmu sudah tidak sakit lagi." "Aku mau pergi." "Baiklah. Jam delapan tepat kamu sudah harus siap." Caramella mengangguk senang. Seulas senyum kecil tersungging di bibir pria itu sebelum pergi meninggalkan ruang musik. *** Margaret sedang berbaring di tempat tidurnya menikmati matahari sore yang masuk melalui jendela kamarnya. Matanya terpejam. Suara dering ponselnya berbunyi dan matanya terbuka. Tangan keriput itu mengambil ponselnya yang diletakkan di nakas samping tempat tidur. Tanpa melihat lagi siapa yang meneleponnya, ia langsung menjawab panggilan teleponnya. "Margaret Reyes di sini." "Selamat sore Mrs. Reyes! Ini aku, Jason Emerson." "Ah Mr. Emerson, apa kabar?" "Baik. Terima kasih." "Apa Anda sudah menemukannya?" "Belum. Aku rasa akan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menemukan wanita itu. Foto yang Anda berikan sudah sangat lama dan mungkin wajah wanita itu sudah berubah banyak." "Anda benar. Aku tidak memiliki foto Joana yang lain." "Itu sangat disayangkan, tapi jangan khawatir, aku akan meminta bantuan seorang teman untuk merekayasa wajahnya menjadi usia 45 tahun." "Aku menyerahkan semuanya padamu." "Aku pasti akan menemukannya." Ester masuk ke kamar ibunya dan ia tidak bersuara melihat ibunya sedang berbicara dengan seseorang di telepon. "Terima kasih Anda sudah mau membantuku untuk mencarinya." "Itu sudah tugasku. Aku akan segera menghubungi Anda lagi." Sambungan telepon terputus. Ester menatap ibunya dan menghela napas kesal. "Jadi Ibu masih meneruskan mencari wanita iblis itu." "Iya." "Seharusnya Ibu tidak melakukan itu. Kasus itu sudah lama ditutup." "Ibu hanya ingin mencari keadilan atas kematian Karina dan George." "Apa Tristan tahu?" "Dia sama sekali tidak tahu. Aku tidak ingin dia tahu kejadian yang sebenarnya. Biarkan dia tahu bahwa mereka meninggal kerena kecelakaan mobil dan kamu harus tutup mulut. " Wajah Ester memberengut. "Selama bertahun-tahun aku sudah tutup mulut." "Kali ini jangan sampai keceplosan bicara." "Aku tahu." "Semoga wanita itu segera ditemukan dan membayar atas semua yang sudah ia lakukan kepada keluarga kita." "Sebaiknya jangan bicarakan wanita itu lagi. Aku punya kabar untuk Ibu. Ini tentang Tristan dan Caramella. Mereka berdua akan pergi ke pesta malam ini." "Oh ya." "Tristan yang mengajaknya. Sungguh berani dia. Semoga acara kencan mereka berhasil." "Apa pergi ke pesta disebut berkencan juga?" "Tentu saja. Aku rasa Tristan benar-benar menyukai Miss Hewitt. Bagaimana menurut Ibu?" "Jika Tristan menginginkannya, dia boleh menikah dengannya. Aku rasa Miss Hewitt wanita baik-baik, meskipun aku belum bertemu dengannya." "Ya ampun, aku lupa mengenalkannya pada Ibu sepertinya Tristan juga lupa." "Sudah tidak apa-apa nanti juga kami bertemu." Ester mengangguk, lalu ia teringat sesuatu. "Ibu, aku harus pergi. Ada yang harus aku lakukan." Ester pergi dengan terburu-buru. Margaret mengeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Ester. *** "Miss Hewitt,"panggil seseorang. Caramella tersentak dan menoleh ke belakang. Pengurus rumah berdiri di sana sambil membawa kota panjang. "Ini untuk Anda." "Apa itu?" "Saya tidak tahu." Kotak persegi panjang berwarna pink itu diberikan pada Caramella. "Terima kasih." Pengurus rumah itu hendak keluar kamar, tapi Caramella memanggilnya kembali. "Tunggu!" Ia menyimpan kotak itu di atas tempat tidur. "Aku belum tahu siapa namamu?" "Mrs. Hardley." "Anda boleh pergi." Setelah Mrs. Hardley pergi, Caramella membuka kotak itu dan sudah tidak sabar apa isinya. Ia membuka kertas tisu yang membungkus sesuatu di dalamnya dan ia terkejut melihat sebuah gaun berwarna biru tosca yang sangat indah. Ia cepat-cepat mencobanya. Panjang gaun itu di bawah lutut dan punggungnya terbuka. Kain gaun itu sangat halus. Meskipun modelnya sederhana, tapi terlihat mewah dan elegan. Caramella penasaran siapa yang sudah memberikan gaun ini kepadanya. Ia mencari semacam kartu ucapan di dalam kotak itu dan ia menemukannya. Pakailah gaun itu di pesta malam ini! Tristan Caramella tersenyum. Tidak menyangka pria itu akan memberikan sebuah gaun yang indah kepadanya. Ia sudah tidak sabar menunggu malam tiba. *** Tristan menunggu Caramella di bawah dengan tidak sabar. Ester yang melihat kegelisahan keponakannya itu cepat-cepat menghampirinya. "Sabarlah! Pasti dia akan segera turun. Kamu kan tahu wanita perlu berdandan lebih lama." "Aku tidak mengerti kenapa wanita selalu berdandan sangat lama." "Supaya terlihat lebih cantik sepertiku." Tristan menahan senyumnya. Ester cemberut. "Apa Bibimu ini tidak terlihat cantik?" "Bukan begitu. Bibi terlihat cantik." Ester tersenyum mendengar pujian itu. Mata Tristan Kemudian terpaku pada sosok yang baru saja turun tangga, bahkan pria itu seakan berhenti bernapas. Ia terpesona melihat Caramella. Matanya tak berkedip. Ester juga terpesona melihat kecantikan Caramella. "Maaf sudah lama menunggu." Tristan masih berdiri terpaku sehingga Ester harus menyenggol tubuhnya. Pria itu tersadar. "Apa yang kamu katakan tadi?" Maaf sudah membuatmu lama menunggu,"ulangnya sekali lagi. "Tidak apa-apa. Ayo kita pergi sebelum terlambat." Caramella mengangguk. "Selamat bersenang-senang!"seru Ester. *** Sesampainya di tempat pesta, Caramella merasa takjub dengan kemeriahannya dan betapa mewahnya pesta itu. Lampu-lampu kandelir dengan ratusan ribu kristal bersinar terang di atas ruang dansa berdinding kaca yang sangat luas. Para tamu sudah ada yang berdansa berputar-putar sesuai irama musik waltz. Pintu-pintu Prancis ganda yang menuju balkon dibiarkan terbuka sehingga angin sepoi-sepoi bisa berembus masuk. "Pestanya sangat meriah." "Aku senang kalau kamu suka. Bersenang-senanglah!" "Terima kasih sudah mengajakku ke sini." "Berhati-hatilah terhadap pria penggoda di sini!" "Aku akan berhati-hati." Caramella mulai memisahkan diri dari Tristan dan pria itu segera mencari tuan rumah. Caramella melihat-lihat suasana pesta yang begitu meriah dan tanpa sadar ia sudah berjalan terlalu jauh dari ruang pesta. Suasana disekitarnya nampak sepi. Ia bermaksud untuk kembali, tapi tanpa sengaja ia menabrak seorang pria yang sudah mulai sedikit mabuk dan wine yang dipegang pria itu tumpah dan mengenai pakaiannya. "Lihat apa yang sudah kamu lakukan!" "Maafkan saya!" Pria itu masih tidak terima atas ketidak sengajaan itu dan hendak marah, tapi niatnya untuk marah tidak jadi. Pria itu tersenyum dan mencoba menggodanya. "Apa kamu datang sendirian? Maukah kamu menemaniku?" "Maaf. Aku sedang sibuk. Permisi! Tapi pria itu menahan tangan Caramella saat akan hendak pergi. "Kamu tidak bisa pergi begitu saja setelah membuat pakaianku kotor." "Soal itu aku akan mengganti biaya cucinya." "Bagaimana kalau diganti saja dengan menemaniku malam ini?" "Maaf aku tidak bisa." Pria itu nampak kesal, tapi tidak kehilangan akal untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. "Kamu harus ikut denganku." Pria itu menarik dan menyeret Caramella. "Lepaskan aku! Kalau tidak aku akan berteriak." "Berteriak saja kalau kamu mau." "TOLONG AKU! ADA PRIA GILA YANG MAU MENCULIKKU!" Tapi teriakan Caramella teredam oleh suara musik yang sangat keras dan disekitar mereka tidak ada orang. Pria itu langsung membekap mulutnya dengan tangan. Ia seharusnya tidak pergi terlalu jauh dari ruang pesta. *** Tristan berada di kerumunan ketika tiba-tiba-tiba Clare, Grace, istri sepupu-sepupunya muncul di hadapannya dan bicara dalam waktu yang bersamaan. "Kami mendengar kamu datang ke sini dengan seorang wanita,"kata Clare. "Siapa dia? Apa dia kekasih barumu?"tanya Grace. "Rohan memberitahuku kalau wanita itu adalah kekasihmu." "Kami juga mendapat kabar kalau wanita itu wanita yang sangat cantik,"kata Clare lagi. "Tristan, tolong katakan pada kami siapa dia dan berasal dari nama?"tanya Grace lagi. Tristan bertekad akan mencekik kedua sepupunya, Rohan dan Owen yang sudah menyebarkan gosip pada istri-istri mereka bahwa ia adalah kekasih Caramella. Seharusnya tadi ia tidak memberitahu mereka. Ia menunggu dengan tenang dan membiarkan mereka berhenti bertanya. "Aku nanti akan memperkenalkannya pada kalian." Tristan tidak dapat menahan senyumnya dan pergi meninggalkan mereka. Ia menemukan Rohan di teras sedang berbicara dengan seorang pria separuh baya. Ia menunggu Rohan menyadari kehadirannya. Rohan melihatnya kemudian mengangguk, lalu melanjutkan perbincangannya dengan pria itu dan ia juga melihat Owen sedang berbicara dengan dua orang pria mengenai saham. Owen pun melihat Tristan dan mengangguk, tapi ia tidak menemukan Caramella di mana pun. Setelah tiga kali menelusuri lantai dansa, Caramella tidak berada di sana. Ia mulai mencemaskan wanita itu. Ia pergi ke serambi. Udara malam terasa sejuk dan lembab. Sepotong rembulan muncul dari balik kegelapan awan untuk memancarkan sedikit cahaya. Caramella pun tidak ada di sana, kemudian kedua sepupunya datang. "Apa yang sedang kamu cari?"tanya Owen ketika melihat Tristan mengedarkan pandangannya ke segala penjuru arah." "Sejak dari tadi aku tidak melihatnya." "Maksudmu pengacara cantikmu itu?"tanya Rohan sambil tersenyum dan menggoda sepupunya itu. "Iya. Aku tidak menemukannya di mana pun." "Mungkin sekarang dia sedang bersenang-senang di pesta. Kamu tidak perlu khawatir,"kata Rohan. Tristan akhirnya menatap kedua sepupunya. "Kenapa kalian menyebarkan gosip pada istri kalian kalau Caramella adalah kekasihku?" "Aku kira dia kekasihmu, jadi bukan kekasihmu?"tanya Owen sambil tersenyum dan matanya mengerling menggoda Tristan. "Bukan. Kami hanya teman saja." "Tapi kamu menginginkannya sebagai kekasihmu. Ayo mengaku saja." Tiba-tiba terdengar suara teriakan minta tolong. Spontan mereka bertiga terkejut. Tristan mengenali suara itu. Jantungnya berdebar sangat kencang. "Itu suara Caramella." Kedua sepupunya terkejut. Tristan berlari mencari arah suara itu. Kedua sepupunya menyusul di belakangnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN