Ponsel Tristan berbunyi ketika ia hendak akan turun tangga. Ia tersenyum melihat nama Ailana dan segera menjawab panggilan telepon itu sambil menuruni tangga.
"Halo Sayang!"
"Apa kabar, Ayah?"
"Ayah baik-baik saja. Ada apa meneleponku?"
"Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih pada Ayah atas hadiahnya."
"Jadi kamu sudah menerima hadiahnya?"
"Iya. Finn kemarin malam baru saja mengantarkannya padaku."
"Apa kamu menyukainya?"
"Iya. Ini laptop yang selama ini aku inginkan."
"Ayah senang kamu menyukainya. Pergunakan dengan baik!"
"Tentu Ayah. Sekali lagi terima kasih. Ayah memang Ayah yang terbaik yang aku punya. Aku sayang Ayah."
"Ayah juga."
Tristan menyimpan ponselnya disaku celana dan menemui neneknya yang sudah berada di teras belakang sambil menikmati cahaya sinar matahari pagi. Ia mengecup pipi neneknya yang keriput.
"Pagi Nenekku Sayang!"
Margaret tersenyum melihat Tristan, lalu ia duduk di samping neneknya.
"Hari ini aku senang melihat Nenek yang sudah sehat kembali."
"Itu semua berkat kamu, karena kamu sudah mengobati kerinduan Nenek padamu."
Tristan kembali tersenyum. "Aku janji setelah aku kembali ke London, aku akan sering-sering menelepon."
"Nenek akan pegang janjimu."
"Hari ini sangat indah bukan? Hari yang cocok untuk pergi jalan-jalan. Apa Nenek mau jalan-jalan sebentar denganku?"
"Tentu."
Tristan mendorong kursi roda neneknya dan berkeliling halaman belakang yang banyak ditumbuhi oleh pepohonan dan juga bunga-bunga yang sedang bermekaran. Angin berhembus membawa aroma wangi bunga.
"Sherly sudah pergi kemarin sore. Sebelum pergi ia berpamitan kepadaku."
"Dia sama sekali tidak berpamitan kepadaku."
"Sepertinya dia terlihat bahagia sekarang."
"Mungkin karena ia akan segera menikah dengan kekasihnya."
"Semoga saja perpisahan kalian akan membuat hidup kalian bahagia terutama kamu."
"Aku sudah hidup bahagia."
"Benarkah? Jangan bohong pada Nenek! Kamu tidak bisa membohongi Nenek. Kamu terlihat kesepian dan kamu membutuhkan cinta yang hangat dalam hidupmu."
"Aku sudah mendapatkannya dari Nenek."
"Itu tidak sama jika kamu mendapatkannya dari wanita yang kamu cintai. Setelah kamu resmi bercerai, carilah pengganti Sherly! Dan segeralah menikah. Sudah waktunya kamu memiliki keturunan yang sah."
"Soal ini aku tidak bisa janji pada Nenek, karena pernikahan bukan perkara mudah.
Aku akan menikah dengan wanita pilihan hatiku."
"Semoga saja Nenekmu ini masih ada saat kamu menikah nanti."
Bayangan bahwa neneknya akan meninggal membuat Tristan tiba-tiba murung dan ia tidak suka itu. Sejak orang tuanya meninggal ketika ia berusia 7 tahun, karena kecelakaan mobil, neneknyalah yang selama ini merawatnya. Baginya neneknya adalah ibu kedua bagi Tristan. Ia mengehentikan laju kursi roda dan berjongkok di depan neneknya.
"Jangan berkata seperti itu! Nenek pasti akan sehat-sehat saja dan Nenek akan melihat aku menikah lagi."
"Nenekmu ini sudah sangat tua. 72 tahun hidup di dunia ini dan sudah menyaksikan dan mengalami banyak hal."
Tristan meraih kedua tangan neneknya dan mengecup jari jemarinya.
"Kalau begitu Nenek harus hidup lebih lama lagi agar dapat menyaksikan lebih banyak hal lagi."
"Bawa Nenek masuk!"
Tristan kembali mendorong kursi roda dan membawa neneknya masuk. Ester sudah menunggu mereka.
"Kalian dari mana saja?"
"Kami baru saja jalan-jalan,"jawab Tristan.
"Sarapan pagi sudah siap."
Mereka pergi ke ruang makan. Suasana ruang makan nampak sepi. Suami bibinya sedang dinas keluar kota sejak seminggu yang lalu dan anak-anaknya tinggal di Perancis ada yang kuliah dan bekerja di sana. Pelayan membawakan kopi dan s**u untuk mereka.
"Apa sarapan pagi untuk Miss Hewitt sudah diantar ke kamarnya?"tanya Tristan pada pelayan itu.
"Sudah Tuan."
"Kamu boleh pergi."
"Siapa Miss Hewitt?"tanya neneknya.
Ester dan Tristan saling pandang. Mereka lupa memberitahu neneknya soal Caramella.
"Dia adalah pengacara yang mengurus perceraianku,"jelas Tristan.
Ester kemudian bercerita apa yang terjadi kemarin siang. "Jadi untuk sementara sampai dia sembuh akan tinggal di sini."
Neneknya mengangguk mengerti. "Apa dia wanita yang cantik?"
Tiba-tiba Tristan tersedak oleh kopi yang sedang diminumnya. Ester tersenyum geli.
"Miss Hewitt sangat cantik dan sepertinya Tristan sudah terpesona kepadanya. Bukan begitu Tristan Sayang?"goda Ester.
Rona merah menyebar ke seluruh wajah pria itu.
"Bibi Ester, jangan bicara seperti itu!"
"Lihat Bu, Tristan malu."
"Ester, kamu jangan menggodanya lagi."
Ester kecewa karena kesempatan untuk menggoda keponakannya hilang begitu saja. Tristan cepat-cepat menghabiskan makannya dan berdiri.
"Aku harus mengecek laporan keuangan dulu."
Ia mencium neneknya sebelum pergi. Setelah Tristan pergi, Ester mendekatkan wajahnya pada ibunya. "Aku yakin Tristan menyukai Miss Hewitt."
"Menurutmu seperti itu?"
"Iya. Andai saja Ibu lihat saat Tristan mencemaskan Miss Hewitt."
"Bukannya semuanya juga mencemaskannya."
"Itu benar, tapi ini beda. Tristan terlalu berlebihan mencemaskannya. Sepertinya ada sesuatu diantara mereka. Aku akan menyelidikinya."
"Jangan berlagak seperti seorang detektif dan Jangan campuri urusan mereka! Nanti dia akan marah."
"Aku tidak mencampuri urusan mereka. Aku hanya ingin tahu saja,"jawabnya dengan wajah cemberut.
"Ester,"seru ibunya penuh peringatan. "Ibu tidak mau terjadi keributan diantara kalian dan jangan membuat masalah."
"Ibu tenang saja. Tidak akan terjadi apa-apa."
Ester kembali melanjutkan makannya lagi, sedangkan ibunya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
***
Caramella merasa bosan berada terus di kamar dan berbaring di tempat tidur. Ia bangun dan mengganti pakaiannya. Ia juga senang badannya sudah tidak sesakit kemarin. Cuaca di luar begitu cerah dan cocok untuk kembali berjemur di tepi kolam renang Yang ia lihat dari jendela kamarnya. Ia pun memutuskan untuk berjemur di sana.
Area dapur terdengar riuh dan tercium Aroma kopi, daging panggang, roti panggang, dan kue pai menguar di udara begitu Caramella telah berada di dekat dapur menuju halaman belakang yang ada kolam renang. Ia melangkah menuju pintu geser kaca menuju halaman belakang yang langsung mengarah ke kolam renang. Sesampainya di sana ia berhenti jalan, mempertimbangkan kembali keputusannya, tapi ia melihat ada kursi berjemur di tepi kolam yang nyaman. Ia yakin tidak akan ada yang mengganggunya dan bisa bermalas-malasan dengan tenang.
Tristan yang sedang berdiri di dekat jendela di ruang kerja, memandang ke arah kolam renang yang tidak berada jauh dari tempatnya berada. Sesekali ia menyesap isi botol bir dingin di tangannya. Matanya membelalak lebar melihat Caramella berada di kolam renang. Wanita itu mengenakan bikininya dan berjemur di sana.
Tristan membuka kaca jendela yang merangkap sebagai pintu geser kaca. Ia berjalan cepat menuju kolam renang.
"Apa yang Anda lakukan di sini, Miss Hewitt?"
Caramella melonjak terkejut mendapati Tristan berada di tepi kolam. Ia mengira pria itu akan marah, karena ia tidak berada di kamarnya lagi, tapi pandangan matanya tidak memperlihatkan sorot kemarahan sebaliknya nampak lembut. Caramella hampir bisa bersumpah kedua mata itu mampu membelainya. Sorotnya yang hangat bagai ditumpahkan ke sekujur tubuhnya dan ia menyukai perasaan yang ditimbulkannya, meskipun malu mengakui reaksi tubuhnya.
Ia merapatkan kedua kakinya, lalu menopangkan kakinya yang telanjang pada kaki yang satunya lagi. Pria itu tersenyum malas.
"Aku sedang berjemur."
"Tapi Anda belum sehat."
"Aku sudah merasa lebih sehat."
"Sebaiknya Anda segera pergi ke kamar."
"Aku merasa bosan berada di kamar terus."
Tristan nampak kesal. Itu karena ia mencemaskan Caramella. Ia tidak ingin wanita itu jatuh sakit lagi, karena hal itu membuat hatinya sedih.
"Caramella, aku mohon."
Ini pertama kalinya Tristan memanggil namanya dan itu cukup mengejutkannya. Perutnya mendadak mulas mendengar namanya meluncur dari bibir pria itu.
"Sinar matahari bagus untuk kesehatan tubuh."
"Aku tahu, tapi sepertinya kamu sudah terlalu lama berjemur dan itu tidak baik."
"Tapi Mr. Ramsey biarkan aku berjemur sebentar lagi."
"Aku ingin mulai sekarang kamu panggil aku Tristan saja, karena sikap formal kita cukup menggangguku."
Caramella mengedip-ngedipkan matanya tak percaya.
"Aku tahu kalau aku hanya salah satu klien, tapi apakah kita bisa bersikap sebagai seorang teman. Aku akan sangat senang jika kita berteman. Bagaimana?"
"Baiklah."
"Terima kasih."
"Sekarang masuklah ke dalam. Ini demi kebaikanmu sendiri. Jika kamu sudah sembuh kamu boleh berjemur sesukamu, aku tidak akan melarangmu."
Diantara semak-semak Rhododendron yang dipangkas rapi yang tak jauh dari kolam renang, Ester mengintip mereka berdua dan tersenyum.
Caramella mendesah gemas. Tidak punya pilihan lain, ia menuruti kata-kata Tristan meskipun dengan hati dongkol. Ia tidak mungkin menghabiskan waktu liburan di
dalam rumah terus. Di kamar, ia berbaring telentang di tempat tidur, lalu ia pergi ke kamar mandi. Sehabis mengguyur tubuhnya di pancuran kamar mandi, ia keluar mengamati bayangan tubuhnya di cermin kamar. Warna kulitnya yang mulai kecoklatan terlihat manis dan agar kulitnya tidak mengelupas, ia mengolesinya dengan krim cair beraroma buah-buahan. Setelah melepaskan handuk dari kepalanya, ia mengibaskan-ngibaskan rambutnya, lalu merapikannya dengan sisir.
Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Ia buru-buru membuka handuk yang melilit tubuhnya dan cepat-cepat berpakaian. "Tunggu sebentar!"
Setelah selesai berpakaian, Caramella membuka pintu kamar. Seorang wanita pengurus rumah yang ia jumpai saat pertama kali datang ke rumah ini memasang wajah tak bersahabat .
"Ada yang bisa aku bantu?"
"Tuan Ramsey menyuruh Anda untuk menemuinya di ruang kerjanya."
"Baiklah. Aku akan ke sana sebentar lagi."
Pengurus rumah itu pergi begitu saja. Caramella menatapnya heran dan ia baru ingat, ia tidak tahu di mana letak ruang kerja tadi ia lupa menanyakannya.
"Apa lagi yang diinginkan pria itu?"gumamnya.
Caramella keluar kamar setelah menyisir rambutnya yang masih basah. Ia berjalan menyusuri rumah, mencari ruang kerja. Tidak ada pelayan yang lewat untuk ditanyainya.
"Kenapa rumah ini begitu besar?"rutuknya kesal.
Satu persatu ia membuka ruangan yang ia temukan dan secara tidak sengaja ia menemukan ruang musik. Ruangan itu berbentuk lingkaran dihiasi jendela-jendela berteralis. Dindingnya berwarna krem dan emas. Ia melihat sebuah grand piano berada di tengah ruangan di dekat jendela. Cahaya sinar matahari menimpa piano itu yang tampak mengkilap. Caramella masuk dan duduk di depan piano. Ia mencoba mengingat kapan terakhir kalinya ia memainkan piano. Sewaktu ia masih duduk di bangku SMU itu terakhir kalinya ia bermain piano untuk acara kelulusannya.
Ia ingin mencoba memainkannya dan semoga saja jari-jemarinya tidak kaku. Dengan ringan jemarinya menari-nari di atas tuts. Ia memainkan karya Bach- Lou Ni, lagu yang mendayu-dayu yang mengalun dari jiwa piano itu. Ia sudah lama tidak memainkannya, tapi ia masih bisa mengingatnya dengan jelas, karena musik ini sering dimainkan oleh ayahnya ketika ia masih kecil. Sambil menutup mata, Caramella memainkannya dan kemudian sesuatunya memaksanya membuka mata. Musik itu berhenti, terkunci dalam tangannya yang membeku. Tristan berdiri beberapa meter dari sana. Ada ekspresi aneh di wajahnya, seolah-olah ia baru saja mendapatkan kejutan mengerikan. Pria itu berjalan mendekatinya dan menatap Caramella tidak suka.
"Jangan mainkan musik itu!"bentaknya. Mata birunya berkilat-kilat berbahaya.
Caramella terkejut nyaris tidak menemukan suaranya.
"A-aku minta maaf, jika tidak suka dengan musik yang aku mainkan. Aku tadi tidak ada niat untuk memainkan piano, tapi aku ingin coba memainkannya lagi setelah sekian lama."
Tristan menyadari kesalahannya dan ia merasa bersalah, karena sudah membentak Caramella. " Maaf tadi aku tidak bermaksud untuk memarahimu."
Caramella menatap pria itu entah ada apa dengan musik ia mainkan. Musik itu pastilah berarti sesuatu bagi Tristan.
"Kamu boleh memainkan musik apa pun kecuali yang tadi."
Caramella pun menjadi penasaran. Kenangan apa yang dibangkitkan oleh musik yang tadi ia mainkan? Ia ingin bertanya, tapi tidak jadi.
"Baiklah."
Tristan berbalik dan berjalan pergi. Seseorang yang sejak dari tadi mengawasi mereka, masuk ke ruang musik. "Bibi Ester."
"Sepertinya kamu sudah terlihat lebih sehat."
"Benar."
"Maafkan dia ya. Tristan tidak bermaksud memarahimu."
"Aku mengerti."
"Musik yang kamu mainkan tadi membawa kenangan buruk untuknya."
"Jadi begitu."
Ester pergi dari ruang tamu. Perlahan-lahan Caramella kembali duduk di hadapan piano. Ia memikirkan Ekspresi wajah Tristan ketika ia memainkan musik itu. Ia kemudian ingat tujuan awal ia mencari Tristan. Pria itu sepertinya ada sesuatu yang ingin disampaikan kepadanya.